Bu Widya namanya. Posisi dan pengalaman beliau tak dapat dijabarkan dengan curriculum vitae seperti biasa. Takdir sebagai pendamping suami membuatnya tinggal di Seoul untuk sementara waktu. Ketika ditanya, beliau pernah tinggal di negara mana saja, beliau lupa. Sejak kakek nenek, orangtua, hingga beliau suami istri dan kakak adik serta putra putri beliau; melanglang ke berbagai negara. Amerika, Swiss, atau negara-negara Asia Afrika pernah beliau jajagi. Ketika pertemuan keluarga besar, tak lagi dapat dibedakan anak-anak atau cucu-cucu sekarang menggunakan tradisi yang mana. Apakah barat yang egaliter? Apakah timur yang santun dan pemalu? Apakah timur tengah yang sangat strict?
Bu Widya, diusianya yang paruh baya sangat cantik dan sederhana (sayangnya beliau tak bersedia difoto hehe). Gaun lengan panjang dan jilbab kain yang melilit kepala, tanpa beragam perhiasan mencolok bergemerincingan. Diskusi dengannya mengalir mudah di sela-sela buka puasa di Saetgang, KBRI senja itu.

Satu ungkapan beliau yang simple namun menohok, ketika saya bertanya apakah anak-anak, cucu-cucu, keluarga besar yang tinggal di beragam negara tidak mengalami culture shock atau kejutan budaya?
“Ketika kami tinggal di beragam wilayah negara, atau kembali berkumpul, kami hanya mengenakan identitas Islam. Titik. Itulah identitas yang paling mudah untuk dikenakan.”
Wow.
Identitas Islam.
Betapa indah dan mudah. Ketika kita tinggal di barat yang serba terbuka, egaliter, permisif; Islam menjadi rambu-rambu yang membatasi namun mempersilakan manusia mengambil ilmu seluas-luasnya. Gaya barat yang berbicara terus terang, apa adanya, tak memperhitungkan kasta; tak masalah selama mereka menghormati kebebasan kita beribadah dalam segala aspeknya.
Ketika tinggal di Korea dan Jepang yang dikenal pekerja keras, berbahasa penuh filosofi dan kesantunan layaknya orang timur; tak masalah juga. Selama kita dapat mengikuti karakter bekerja dan belajar tanpa menanggalkan identitas utama.

Mau makan roti tawar atau roti ish, mau ditawarkan soyu atau sake, mau sakura Jepang atau kaktus gurun Sahara; ketika waktunya Ramadan ya berpuasa. Ketika waktunya sholat, ya tegakkan. Ketika belanja, belajar, bekerja ya kenakan busana menutup aurat sesuai musim. Ketika menemukan halal haram ya pisahkan.
Tinggal di 4 musim?
Tak perlu bingung dengan baju bulu di musim salju, atau tank top dan hotpants di musim panas, baju musim semi atau musim gugur. Kenakan pakaian seperti biasa, yang menyerap keringat, yang lembut di kulit. Tinggal tambahkan jaket tebal bila musim dingin tiba dan jangan lupa kerudung yang menutup kepala bagi perempuan untuk segala musim. Model, bahan, corak, motif, keluaran butik Indonesia atau italia; terserah saja.
Tak ada benturan Amerika atau Jepang, Indonesia atau Maroko, Malaysia atau Korea; sepanjang indentitas Islam dikenakan. Ketika harus lentur mengikuti karakter budaya tertentu, wajarlah, apalagi bila minoritas berada di tengah mayoritas.
Terkesan pula dengan cerita teman-teman FLP Hong Kong yang semuanya bekerja sebagai BMI. Bagaimana mereka menjelaskan Ramadan kepada majikan.
“Oh, aku sarapan kok, Bos! Cuma lebih pagi. Makan malam seperti biasa. Hanya makan siang aja yang gak dilaksanakan.”
Penjelasan seperti itu membuat si bos mengangguk, dan tidak khawatir pekerjanya mati kelaparan. Identitas Islam tetap dapat dikenakan oleh buruh seperti BMI atau ibu-ibu pejabat seperti bu Widya.
Kalau suatu saat, kita mendapatkan kesempatan melanglang buana dan tinggal di berbagai negara; jangan lupa, identitas Islam adalah identitas yang paling mudah dikenakan.