“Nak, ada uang?”
“Dek, sudah gajian?”
“Anak kita butuh sepeda motor.”
“Rumah kita mau disita.”
Beribu masalah yang mungkin akan menjadi setebal buku telepon kuning zaman baheula untuk mendaftar permasalahan setiap keluarga, setiap pasangan suami istri, setiap anak manusia yang berjuang untuk tetap hidup.
Kali ke3 saya ke Hong Kong, tetap tak dapat menghapus kekaguman –dan keperihan- melihat sekian banyak anak manusia yang hampir seluruhnya perempuan (kalau tidak dapat dikatakan 99, 99 % perempuan) berjuang demi keluarganya.
Enak ya di luar negeri?
Ya.
Sekilas enak.
Dengan penghasilan sekitar HKD $ 4500 atau sekitar 6 juta sekian rupiah. Dikurangi cicilan 6 bulan tagihan ke PJTKI, seorang pekerja perempuan masih dapat mengirimkan sejumlah uang dalam jumlah lumayan ke tanah air.
Tidak percaya rezeki?
Rezeki milik Allah Swt. Kenapa harus jauh-jauh ke negeri orang? Berpisah dari anak dan suami? Lalu akhirnya bercerai dan anak-anak terbengkalai.
Oh, cobalah datang ke Hong Kong sendiri dan nikmati situasi pagi akhir pekan di Keswick Street, KJRI, daerah Causeway Bay. Ratusan perempuan mengular memperpanjang paspor. 163.000 pekerja perempuan yang legal (belum yang ilegal) bertarung setiap menit , setiap jam, setiap hari untuk dapat tetap sehat dan bekerja demi menghidupi keluarga. Akhir pekan adalah waktu mendebarkan untuk mengurus surat-surat perpanjangan.
Apakah mereka tidak percaya rezeki Allah ada di Indonesia?
Mereka percaya. Mereka telah mencoba sejauh ini.
Tetapi ada kejadian-kejadian pahit serta kritis yang membuat manusia bersimpuh di hadapan RobbNya sembari berkata : bila ini jalanku, jalan untuk berjuang demi keluarga dan mengorbankan diri, maka akan kutempuh.
Tak ada satupun perempuan yang berangkat pergi keluar negeri sebagai BMI dengan tawa dan kebanggaan : ini lho aku kerja di luarnegeri.
Mereka menangis meninggalkan keluarga, tahu apa konsekuensinya berpisah dengan suami minimal 2 tahun (cerai atau berselingkuh adalah realita yang dihadapi). Tetapi apa yang dapat dilakukan ratusan ribu perempuan dengan tingkat pendidikan nol, SD, SMP dan paling tinggi SMA ini? Dengan kebutuhan hidup yang membelit semakin rumit dari hari kehari?
Ada yang rumahnya disita karena suaminya kecelakaan dan habis biaya operasi puluhan juta.
Ada yang ayahnya di PHK dan ia merupakan anak tertua dari 4 bersaudara. Lulusan SMP dapat gaji berapa? Mungkin hanya 1 juta. 1 juta untuk 6 mulut?
Ada yang ditinggalkan suami, disia-siakan, kelabakan mengurus anak-anak yang kecil lalu memutuskan harus keluar negeri ketika kerja-kerja serabutan di dalam negeri tidak menutupi bahkan untuk kebutuhan sehari-hari dan sekolah anak.
Ketika perempuan menjadi tulang punggung keluarga, besar taruhannya.
Suami mereka menuntut cerai.
Atau berselingkuh.
Atau mereka tetap berstatus menikah tapi entah apa hak dan kewajiabn , serba tak jelas.
Apapun itu, saya tetap salut para perempuan-perempuan ini : mereka segera mengambil tali kendali keluarga ketika ayah, suami, abang laki-laki, adik laki-laki; tak bisa menjadi sandaran. Bukan sedikit yang mereka korbankan.
“Saya sadar saya salah, Mbak,” ungkap X. “Makanya, saya bercerai dari suami dan dia saya izinkan nikah lagi. Anak saya diasuh suami. Saya pergi ke Hong Kong karena penghasilan suami sebagai tukang tidak mencukup. Kami keluarga besar, ada ibunya dan saudara-sadaura. Sampai sekarang, suami masih mengandalkan saya. Saya beli sepeda motor untuk anak, dipakai dia. Alhamdulillah hubungan kami baik.”
“Ibu saya terlibat hutang, bapak saya kena PHK. Saya masih kelas 2 SMA ketika itu. Saya setahun di pondokan PJKTKI. Sebagai anak tertua saya harus ambil alih tanggung jawab keluarga sampai sekarang.”
“Suami saya sering melakukan KDRT, saya hamil anak kedua dia selingkuh. Jangankan uang , penganiayaan sering terjadi. Akhirnya saya memutuskan berpisah, dan suami menantang apakah saya bisa mengasuh 2 anak saya? Saya pernah bekerja dalam keadaan tak punya uang sepeserpun dans aya berdoa pada Allah. Allah menjawab, sore hari ada seseorang mengirim sup ke kontrakan saya. Awalnya saya kerja di Jakarta tapi memang tidak cukup. Akhirnya saya kerja di Hong Kong.”
Hanya sedikit ksiah yang bisa saya tuliskan.
Airmata dan keringat tak cukup sebagai tinta pena untuk menuliskan perjuangan perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga.
Ya, mereka memang berdosa karena meninggalkan keluarga di tanah air.
Tapi apakah cukup kita mengancam dengan dosa, memaksa 163.000 BMI itu kembali ke tanah air? Mengancam dengan tuduhan ini itu sementara hidup kita bersama keluarga demikian nyaman, memiliki suami yang pengertian serta mencukupi nafkah? Memang, menjadi BMI bukan pekerjaan terbaik. Karenanya saya bangga, banga sekali. Sekian banyak BMI yang saya kenal setelah bekerja 4, 5, 7, atau 10 tahun berhasil mengumpulkan uang. Mereka menabung. Betul-betul menabung. Menyimpan bekal dan modal untuk membuka usaha bengkel, bakso atau apalah di tanah air.
Mereka tetap berhasrat pulang.
Meski Indonesia adalah negeri kaya yang menggoreksan luka perih dalam hidup dan perasaan, mereka tetap kembali. Tetap mengirimkan devisa ke tanah air. Sekalipun para suami tak sanggup mendampingi perpisahan itu, mereka menyadari ada titik dimana perasaan bukan satu-satunya yang pantas diperhatanakna. Mereka sadar, kebahagiaan berada di samping anak dan suami, adalah kekayaan yang demikian mewah. Namun ketika tiba harus memilih, apakah berbuat sesuatu yang tampaknya demikian mustahil, mengerikan, di luar ambang batas kemampuan; para perempuan ini memilih mengorbankan dirinya demi orang-orang yang dicintainya.
Kalau kita megannggap kiprah BMI di luar negeri sebagai satu dosa sebab meninggalkan suami dan keluarga demikian lama, doakan mereka dapat segera kembali. Sebab saat ini, ribuan atau bahkan puluhan ribu BMI kita di Hong Kong terancam dipidanakan akibat pemerintah Hong Kong mengambil kebijakan tegas terkait identitas BMI. Salah nama, salah tanggal, salah huruf; dianggap sebagai tindak pidana kriminal. Puluhan ribu BMI yang memiliki kartu keluarga atau E KTP tak sesuai dengan passpor; terancam masuk penjara. Bayangkan saja, bila ada kesalahan nama seperti Aisyah dan Aisah, maka pihak Hong Kong menganggapnya sebagai pemalsuan identitas. Apalagi, begitu banyak kasus pengaburan identitas. Begitu banyak perempuan usia 15 tahun, atau di bawah umur, diharapkan segera menjadi tulang punggung keluarga, dikirim ke luar negeri untuk bekerja demi keluarganya. Umur mereka dipalsukan beberapa tahun lebih tua. Dan sungguh, perjuangan perempuan Indonesia seperti tiada habisnya.
Saya bersyukur dapat membersamai teman-teman FLP Hong Kong dan BMI yang luarbiasa ini dalam acara buka puasa bersama yang digagas oleh LMI (Lembaga Manajemen Infaq) tanggal 19 Juni 2016. Puasa di Hong Kong sungguh berbeda dengan di Seoul. Cuaca 33 derajat, adik-adik BMI harus ksana kemari berjalan kaki di bawah terik matahari. Mereka hanya punya libur 1 hari dan tetap menjalankan ibadah puasa. Terkadang, mereka menggabung buka dan sahur sebab tak mampu bangun sahur akibat kelelahan.
Bagi perempuan BMI yang masih berjuang di luar negeri, sabarlah dan tetap semangat! Teruslah belajar dan timbalah ilmu.
Bagi yang telah 4 tahun ke atas, ayo, berpikir untuk pulang dan menjadi mengusaha di negeri sendiri.
aiih, jadi miris bacanya mba… sedih…
Saya selalu kagum dengan perempuan-perempuan tegar, Bunda. Saya selalu berdoa, jika kelak saya diperkenankan menikah, semoga saya dinikahkan dengan perempuan yang paham betul apa itu perjuangan 🙂
Aamiin 😀
Wah, segitu pahitnya ya mbak Shinta. 🙁
Ga kebayang perempuan yang pergi bekerja, padahal sebuah peradaban suatu bangsa dimulai dari tangan perempuan. Mereka yang *semestinya* mendedikasikan waktunya untuk mendidik anak-anak mereka, malah harus bekerja. Kewajiban Suami menjadi kewajiban sang istri. Haq Istri kepada Suami sudahlah hilang.
Semoga Allah Ta’ala mudahkan, karena mereka perempuan pasti rindu bangeeetan ama keluarga mereka di Indonesia.
Iya, semoga mereka segera dapat berkumpul dg keluarga ya…Aamiin
Jadi sedih dan terharu bacanya
ah.. sedih jadinya. Benar mba, menjadi BMI bukan pilihan terbaik. Tapi, apa daya jika hanya menjadi BMI satu-satunya pilihan. Semoga teman-teman BMI di HK, segera bisa pulang dan membuka usaha di tanah air.