Sang ayah Abd Rabbihi, memberikan nasehat kepada Jalal.
“Kunasehatkan kepadamu untuk tidak menikahi perempuan yang kaucintai,” kata ayahnya bersimpati. “ Dan, jangan mencintai perempuan yang kaunikahi. Puaslah sekedar mendapat teman dan kasih sayang, dan menjauhlah dari cinta. Cinta itu perangkap!”
(Harafisy – Naguib Mahfoudz)
Kalimat ini menarik mata, kustabillo merah sebagai penanda bahwa suatu saat, akan kubaca, kubaca dan kubaca lagi.
Menyedihkan apa yang dialami Abd Rabbihi, si tukang roti yang tinggal di flat bawah tanah, menikahi Zahira yang cantik jelita, cerdas, selalu memburu kekayaan. Ungkapan Abd Rabbihi yang merana karena ditinggalkan istrinya; sang kekasih hati berganti-ganti dalam buaian cinta dan pujaan dari Aziz yang pedagang kaya benih padi-padian, Muhammad Anwar pedagang kaviar, Nuh Al Ghurab sang pemimpin suku, Fuad Abd al Tawwab, inspektur polisi.
Abd Rabbihi kecewa akan cintanya yang mendalam pada Zahira, Zahira pun kecewa sepanjang hidupnya karena selalu memburu harta. Ketika pada akhirnya ia menjadi istri kedua Aziz, Muhamaad Anwar kalap membunuhnya.
Begitukah cinta?
Sesuram itukah cinta seperti kisah 7 turunan dalam Harafisy?
Aku bersyukur membaca novel ini, memberikanku gambaran dan kesyukuran, bahwa Allah SWT Yang Maha Agung telah memberikan anugerah pada pernikahan kami.
25 Desember 1994…..
PDHI di alun-alun dengan menu lontong sayur, kue sederhana dan minuman. Dengan gaun putih sederhana aku resmi menjadi istri Agus Sofyan. Aku menangis : terharu, bingung, bahagia, takut juga J Apa dia mencintaiku? Apa dia akan baik padaku? Apa ia sayang keluargaku? Kami sama sekali belum mengenal, hanya bertukar biodata lewat ustadz masing-masing. Tetapi hanya bersandar pada Allah SWT, aku titipkan hidupku pada lelaki yang belum kukenal, yang satu jaminannya kupegang : kata ustadz ia pemuda baik dan sholih, insyaAllah.
Bagi Elizabeth Hurlock pakar psikologi perkembangan, metode pernikahan kami adalah ancaman bagi pernikahan. Salah satu penyebab gagalnya pernikahan adalah masa pacaran yang singkat. Berarti yang pacaran 10 tahun sudah bisa dipastikan langgeng? Tentu tidak. Sebab pernikahan bukan hanya berbekal masa pacaran, pernikahan berbekal orientasi, motivasi dan juga pondasi.
Pernikahan kami selama 15 tahun bukan bahtera yang berlayar di lautan tenang.
The calm sea never made a strong sailor.
Gelombang, badai, angin, hujan, mengiringi langkah kami seiring titipan amanahNya : Inayah, Ayyasy, Ahmad dan Nisrina.
Ada masanya kami menangis.
Ada masanya kami bertengkar dan berselisih.
Ada masanya kami tak bertegur sapa.
Ada masanya kami saling menyakiti.
Tetapi,…
Tak sampai tiga hari kami saling mendiamkan.
”Mas kemana saja?” tegurku suatu saat ketika tak mendapatinya seharian.
”Di masjid, tilawah.”
Lalu aku menangis, meminta maaf dan keridhoaannya karena telah bersikap keras hati, iapun memeluk dan memaafkanku.
Pernikahan ternyata tak hanya butuh penyesuaian selama 3, 5, 7 tahun. Tetapi sepanjang usia kita. Dulu aku menyesuaikan diri dengan suamiku yang bersikap keras, tegas, disiplin, teguh, tak kenal kompromi. Sekarang ia lebih luwes, tetapi kami harus sering bertukar pikiran bagaimana menghadapi anak-anak kami yang beranjak remaja.
”Abah nggak suka Inayah nonton musik!”
Sikap kerasnya menurun pada putriku yang cerdas dan kritis. Inayah, sekarang sekolah di SMP negeri yang mau tak mau harus bergaul dengan teman-teman dari dunia yang sangat berbeda ketika dia di SDIT. Menurutku Inayah masih memelihara beberapa adab keislaman seperti tilawah di sekolah, jilbab lebar, berhemat, tak memiliki hape, sholat 5 waktu. Disamping itu kegemaran Inayah membaca membawanya pada sikap yang kadang membuatku dan suami tercengang.
”Masa aku nggak boleh nonton musik? Aku nggak pernah nonton tivi!”
Betapa dag dig dug jantungku. Berada di titik tengah antara Inayah dan suamiku.
Kubawa suamiku ke kamar, kuajak berdiskusi.
”Mas tahu? Inayah sedang dalam masa pubertas. Berat baginya mampu bertahan di sekolah dengan nilai2 yang kita tanamkan. Hargai ia, ajak diskusi banyak. Jangan langsung menerapkan tak boleh-tak boleh tanpa alasan jelas. Aku sefaham syariat harus ditegakkan, tapi memaksa – bukannya memberikan pemahaman- hanya akan membuatnya takut tapi tidak mengerti.”
Kepada Inayah, kudampingi ia menonton televisi.
“Kamu suka Rain, mbak In?”
Inayah menggeleng.
”Aku nggak suka yang …terlalu cinta-cintaan trus agak mesum, Mi.”
Ooh, aku mengangguk.
Kudampingi ia menonton musik di Pro 2. Berisi tangga lagu Jepang, Cina dan Korea.
“Ummi tahu kenapa aku suka lagu Jepang?” tanya Inayah.
Aku menggeleng.
“Aku suka lagu Jepang sejak suka baca Conan. Aku suka mempelajarai bahasanya, Mi.”
Dan kuamati apa lagu kesukaan Inayah.
Salah satunya Tanabata Matsuri (aku salahkah?). Dinyanyikan Duo Jepang, dengan penyanyi latar dan penari anak-anak. Bercerita tentang musim panas yang baru tiba.
”Kamu tahu In, Jepang inovatif sekali ya? Lagu tentang musim aja bisa begitu indahnya. Indonesia baru bisa bikin lagu cinta melulu, sinetronnya juga begitu.”
Kuajak Inayah memahami kenapa musik diharamkan, terutama musik yang melenakan. Kenapa ia tak boleh sembarangan nonton film saat teman-temannya menonton Twilight, New Moon, 2012, Avatar, Transformer. Pada akhirnya Inayah mengerti dan belakangan ia tak lagi berkeras hati ketika kami tegur untuk tak terlalu berlena diri dengan musik ataupun film. Kami membolehkan menonton televisi seperti Upin Ipin, Rahasia Sunnah, Halal, Laptop si Unyil, Dunia Bawah Air, film pengetahuan dan berita tentunya.
Begitulah sekelumit perjuanganku, perjuangan kami, menanamkan apa yang kami yakini kebaikannya kepada putra putri kami.
15 tahun….
Kuajak suami berdiskusi tentang aktivitas da’wahnya yang padat luarbiasa. Alhamdulillah aku kuliah lagi di psikologi sehingga tahu sedikit tentang psikologi perkembangan, tentang psikologi sosial dsb. Teori yang sekalipun masih mentah, setidaknya membuatku tahu bagaimana harus bersikap ketika suamiku berkeluh kesah tentang kesulitan yang dihadapi.
Saat ia marah-marah kenapdaku dan anak-anak dengan emosi tinggi, kuajak ia menyendiri dan kutanyakan :
”Mas sedang stress ya? Ada tekanan apa?”
Lalu ia bercerita tentang kantor, da’wah, dll.
Aku menjadi pendengar yang baik, menelan semua ceritanya, memberikan sedikit nasehat dari ilmuku yang sedikit dan mengajaknya untuk melihat dari sisi positif. Kadang, seorang suami tak tahu harus bagaimana ketika menghadapai masalah. Kemarahan adalah salah satu jalan untuk membuka sumbat yang sudah penuh tak tertahankan.
Aku tahu, semakin lama beban bukan semakin sedikit. Beban da’wah makin beragam dan variatif; anak-anak beranjak dewasa , membutuhkan penanganan yang jauh lebih rumit dibandingkan ketika kami masih hanya diributkan susu dan popok.
15 tahun…
untuk urusan domestik yang berkaitan dengan fisik, mungkin aku semakin mahir. Mencuci, memasak, dsb insyaAllah sudah trampil. Tetapi ruhani dan aqal tampaknya harus selalu mengembang dan mengembang.
Aku harus memelihara diri agar segar dan cantik, sebab di usiaku yang sekarang, suami semakin matang, lingkungan kerjanya menawarkan 1001 kesenangan yang tak perlu diburu, justru datang sendiri.
Aku harus lebih bijaksana, sebab kemarahan suami dapat berarti malapetaka bagi surga dunia kami.
Aku harus lebih pandai, pintar, lembut, dalam mengutarakan pendapat yang benar agar suami tak merasa digurui dan disalahkan.
Aku juga harus lebih bisa membuka diri dan berterus terang, menyadari bahwa suamiku bukanlah Abubakar, Umar, Utsman, Ali dan sahabat yagn dijamin masuk surga. Suamiku punya segudang kelemahan yang dengan aku disisinya, insyaAllah kami saling mengisi.
Aku juga bukan Khadijah dan Aisyah, ilmu dan kepandainku jauh dari memadai tetapi itu bukan alasan untuk tak berusaha berbakti.
Kesulitan dan kemudahan
Tak akan terlihat mudah, segala sesuatu sebelum menempuh kesulitan.
Kami membangun mahligai atas prinsip da’wah, bukannya tanpa halangan. Tetapi kesabaran selalu berbuah manis, dan Dia tak pernah buta apalagi mengabaikan hambaNya. Secara materi, tak perlu menyamakan suamiku dengan pegawai kantor pajak yang lain. Rumah, mobil, peralatan elektronik yang lengkap kami belum punya. Tetapi kami punya yang lebih dari itu.
Sekarang aku bisa berbagi, berdiskusi dengan Inayah.
Kami bicarakan apa permasalahan ummat, aku berpendapat begini , Inayah berpendapat begitu. Aku bersyukur, Alhamdulillah, Inayah tumbuh sebagai gadis remaja yang sekalipun masih manja, memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap keluarga dan pemikiran yang jauh ke depan tentang agama. Ia suka membaca, suka menulis, mealahap koran dan buku setiap hari. Aku bahkan kesulitan menghadapi kritiknya tentang berbagai hal.
Kami juga memiliki Ayyasy, anak kedua yang suka menggoda anggota keluarga hingga kaku dibuatnya, tetapi ia seorang yang cepat tersentuh dan disukai teman-teman.
Kami juga memiliki Ahmad, yang begitu cepat pergi ke masjid dan suka mengaji, yang melankolis, demikian menyayangi kakak dan adiknya.
Kami juga memiliki Nisrina yang centil dan lincah, bercita-cita menjadi dokter ustadzah. Nisrina yang tinggal satu atap denganku, sering bergumul satu ranjang denganku, suka menulis surat untuk abah umminya, dalam keadaan senang ataupun sedih. Jika ia marah menulis surat, jika ia bahagia juga menulis surat untuk kami. Kalau ia ingin memberi nasehat kepada kakak-kakaknya ia juga menulis surat.
Alhamdulillah, Allah SWT memberi kami harta yang tak ternilai di usia pernikahan kami yang ke sekian.
Suamiku, adalah anugerah yang tiada henti pula kusyukuri.
Kami saling membangunkan di waktu malam, saling mengingatkan ketika waktu sholat tiba, saling mengingatkan jika salah satu menjadi bakhil, saling mengingatkan ketika merasa lelah dengan da’wah masing-masing. Aku sering minta taujih dan nasehatnya tentang materi agama yang belum kupahami.
Pernikahan dan cinta kami bukan seperti anggapan Abd Rabbihi.
Suamiku suka menggodaku ketika menonton televisi, sengaja mengusili anak-anak. Ketika melihat iklan sabun, shampoo atau yang lainnya, suamiku berkata
”Puber! Putih bercahaya…iih, cantik yaaa…”
Aku cemberut.
Anak-anak mengejarnya, menghadiahi pukulan.
Jika Ayyasy atau Ahmad sedang makan atau mandi, mereka berteriak,
”Nis! Titip pukulan buat Abah! Pokoknya Ummi yang paling cantik.”
Ketika anak-anakku berkumpul di depan televisi dan melihat iklan cantik, mereka sontak berdiri, menutupi layar dan berkata,
”Jangan sampai Abah lihat!”
Hanya Inayah yang rasional.
”Sudahlah, Mi! Nggak usah cemburu. Abah itu cintanya hanya buat Ummi, emang sukanya Abah godain Ummi kok…”
Pada akhirnya aku tersenyum dan memang menyadari, suamiku sengaja menggoda semua orang. Aku yakin pada cintanya. Aku yakin pada cinta kami. Semoga Allah SWT senantiasa memberkahi bahtera sederhana, dengan awak kapal yang fakir dan lemah, dengan badai yang selalu siap menghantam, dengan perbekalan yang masih terus kami kumpulkan; menuju sebuah negeri impian yang jauh di sana. Jauh, dalam sebuah perjalanan panjang yang titik akhirnya pasti kami capai.
Semoga bahtera ini selamat hingga tujuan, menghantarkan para awaknya dalam keadaan selamat sentosa kembali pada sang Pemilik.
Subhanallah, barakallah, mbak……. haru, seru dan inspiring banget…. terima kasih….:)
Jazakumullah atas doanya dek…;-)
barakallah, mbak sinta..
JAzakumullah mbak Fety…semoga rumahtangga kami langgeng hingga khirat nanti ya..
assalammualaikum
izin mbaca mba, terimakasih,,,
salam kenal
Aku, baru setengah tahun….^_^
gimana kabarnya dek? Lama tak bersua ^_^
Subhanalloh. Matur nuwun mba, jazakumullah khair. Baarokallahulakum.. Taujih pagi yg nendang banget… Buat qt yg msh br belajar. So touching… Salam buat 4 ‘harta tak berharga’ yg amazing it… 🙂
Ass…Bunda Sinta…
Masih ingat dengan saya? saya arief yang ikut workshop dan training FLP Banjarmasin kemaren.Hmm…setelah saya ikuti seminar FLP kemaren,banyak pelajaran yang dapat saya petik,dan saya akan selalu mengasah kemampuan menulis saya agar dapat mewujudkan impian menjadi Penulis dan sastrawan yang handal,do’akan saya ya Bunda…
Oh ya,thank’s ya Bun atas buku “Meraih Mimpi”nya,bagus sekali isinya tuh,saya sangat senang,Mohon tuk sudi untuk kunjung balik ke-blog Arief,Wass…
laikdis mba sinta; 🙂
dari dulu sya pembaca buku mba. dan selalu jatuh cinta dibuatnya 🙂
lautan istigfar…tenggelamlah kau di dalamnya