Belum pernah nih, saya dapat pertanyaan unik macam begini!
Acara macam ini biasanya diminati oleh para muda-mudi usia 20 tahun ke atas yang sudah mulai memasuki usia nikah. Persiapan pra nikah menjadi pembahasan yang sangat dinamis serta menimbulkan banyak pertanyaan misterius. Biasanya, seminar pra nikah memunculkan pertanyaan-pertanyaan seperti apa dan bagaimana memilih jodoh, bagaimana meyakinkan orangtua, bagaimana belajar mencintai, apakah karier atau rumah tangga dulu dst.
Kali ini, di Rumah Keluarga Indonesia, Bangkalan, saya dapat pertanyaan menarik yang membuat makjleb dari peserta.
Masyaallah, Subhanallah…peserta yang masih berusia muda ini ternyata memiliki pemikiran matang dan sangat bijaksana. Saya sampai terkaget-kaget mendapat pertanyaan demikian.
3 pertanyaan unik yang diajukan mereka adalah :
- Perempuan kan posisinya menunggu. Bagaimana cara kita bersabar menerima takdir ketika mungkin, hingga meninggal kita tidak menikah?
- Biasanya seorang muslimah memilih lelaki sholih. Kalau saya tidak. Saya justru ingin mendapatkan lelaki yang biasa-biasa saja, dan ingin membimbingnya. Salahkah keinginan itu?
- Apakah pernikahan yang sudah berjalan 23 tahun, dapat dikatakan pernikahan yang barakah?
Beberapa buku saya yang berisi tentang jodoh, cinta dan perempuan
Gadis Menunggu atau Mengajukan Diri?
Paradigma bahwa perempuan atau gadis menunggu dan menanti untuk dipilih, dipahami oleh masyarakat kita sebagai tindakan pasif. Padahal, dalam sejarah Islam, perempuan tidak selalu wajib menunggu. Contoh paling dikenal adalam masyarakat Islam adalah ketika bunda Khadijah mencari suami dan memilih nabi Muhammad Saw. Bunda Khadijah mengutus pembantunya untuk mencari tahu tentang pemuda Muhammad.
Apakah tindakah bunda Khadijah tercela? Tidak.
Bahkan tindakan beliau sangat mulia. Beliau mencari lelaki sholih, tidak peduli usia dan status sosial. Pemuda Muhammad saat itu belum menjadi Nabi dan beliau masih berstatus pedagang. Meski dikabarkan sebagai pedagang sukses, tentu secara kekayaan pemuda Muhammad belumlah sama seperti bunda Khadijah. Dalam hal ini, perempuan tidaklah diharamkan mengajukan diri kepada lelaki tetapi tetap melalui kaidah-kaidah syari. Ada beberapa kisah nyata dalam dunia sehari-hari.
Kisah 1
Sebut saja namanya Ayu. Ayu, berasal dari sebuah desa kecil di Jawa. Ia mengajukan diri untuk dinikahi oleh Umar, teman satu kampusnya. Tentu saja Umar terkejut dan dapat dipastikan, pemuda itu menolak. Muslimah berjilbab, aktivis rohis, kok mengajukan diri minta dinikahi? Kayak kebablasan, gitu! Tetapi Ayu rupanya bukan akhwat iseng yang main tembak ikhwan. Meski ditolak, Ayu mengajukan diri lagi untuk dinikahi Umar. Beberapa kali terjadi tolak menolak, Umar akhirnya penasaran mengapa Ayu berani mengajukan diri. Jawaban Ayu membuat Umar takluk.
“Umar, saya berasal dari sebuah desa kecil. Besar harapan saya saya kembali ke desa, dan membangun desa saya. Di kampung, hanya saya satu-satunya yang sekolah sampai tinggi. Kalau saya menikah dengan pemuda lain daerah, saya akan dibawa pergi. Sebagai istri yang taat tentu saya akan mengikutinya kemanapun. Tetapi saya sangat berharap bisa kembali ke kampung halaman, maka saya mencari tahu siapa pemuda kampung terdekat yang juga sekolah tinggi. Ternyata saya menemukan nama kamu, Umar. Maka saya mengajukan diri untuk dinikahi. Kalau kamu kembali ke kampungku, berarti saya juga bisa membangun desa saya yang masih tertinggal.”
Masyaallah.
Sungguh, cita-cita Ayu bukanlah cita-cita rendahan.
Ia menembak Umar bukan lantaran ia aktivis, cakep, terkenal di kampus, dambaan para gadis dan seterusnya. Kejujuran Ayu membuat Umar mantap untuk memilihnya. Alhamdulillah mereka kemudian menikah.
Kisah 2
Sebut namanya Ina.
Iapun mengajukan diri untuk dinikahi. Tetapi berbeda dengan Ayu, ia tidak punya calon untuk dituju. Kemiripan dengan Ayu adalah mereka sama-sama orang kampung yang kental dengan segala ragam tradisi, termasuk dijodohkan. Ina, selepas kuliah, tahu-tahu harus pulang kampung karena orangtuanya menjodohkannya dengan seorang pria. Tentu saja, Ina yang tengah belajar menjadi muslimah sejati, kalang kabut. Bagaimana ia dapat menerima pilihan orangtuanya? Jangankan memahami Islam secara kaffah, kebiasaan merokok dan melalaikan sholat masih dilakukan pemuda itu. Akhirnya Ina mengontak teman lelaki di kampusnya.
“Adakah ikhwan yang bersedia menikahi saya? Secepatnya melamar pada orangtua saya. Sebab saya dalam kondisi terdesak.”
Masyaallah…kesungguhan Ina untuk menjaga dirinya ternyata didengar Allah. Dia menggerakkan hati seorang pemuda sholih untuk segera melamarnya, hanya selang sehari ketika permintaan Ina terdengar di telinga para ikhwan. Alhamdulillah…Ina dan pemuda sholih itupun menunju pelamainan dan langgeng hingga kini.
Pembaca,
Tentu tidak semua gadis seberuntung Ayu dan Ina yang ketika meminta mengajukan diri, pemuda yang dituju berkenan meluluskan. Stigma masyarakat bahwa ketika perempuan minta dinikahi pasti ada “apa-apanya”. Naksir berat, tidak laku, atau bahkan sudah MBA. Wajar bila masyarakat melihat demikian, sebab di belahan dunia Timur, lelaki masih memegang tampuk kepemimpinan dengan gaya maskulin. Ngapain ngejar-ngejar nikah kalau bukan kepepet, kalau bukan karena punya maksud tersembunyi?
Namun kita bukan sedang membahasa bab feminisme di sini. Kita membahas kemaslahatan. Kadang, seorang pemuda memiliki banyak pertimbangan dan tidak melihat dari sisi yang lain. Sementara seorang gadis melihat dari sisi yang lain pula. Tidak megnapa seorang gadis membantu seorang pemuda untuk melihat dari sudut pandang lain bahwa kebutuhan menikah harus disegerakan karena berbagai hal : menjaga agama, tuntutan keluarga, kebutuhan diri sendiri dan seterusnya. Selama hati mencoba tulus dan jujur serta bersungguh-sungguh, Allah akan bukakan jalan. Dan, berhati-hatilah ketika seorang gadis mengajukan diri. Kaidah syari tetap dijaga, jangan melampaui batas dan menggunakan jalur tertutup atau rahasia. Tidak menembak di depan umum apalagi di media sosial!
Lalu bagaimana ketika lelaki yang diinginkan belum kunjung tiba?
Selalulah bersandar pada Allah.
Saya teringat seorang ustadz penghafal Quran yang memebrikan nasehat di kelas, ketika saya mengikuti kelas pembukaan menghafal Quran :
“Allah akan menepati janji sampai seorang hamba benar-benar mencari ilmu dan mengamalkannya.”
Saya baru akan jadi penghafal Quran kalau bersungguh-sungguh mencari ilmu tentang menghafal Quran sekaligus mengamalkannya. Insyaallah Dia akan bukakan jalan dalam penemuan jodoh impian ketika seorang manusia bersungguh-sungguh mencari ilmu dalam menyempurnakan ½ diin sekaligus mengamalkannya : mengamalkan cara berkomunikasi, mengamalkan cara besabar dan mengalah, mengamalkan cara mandiri finansial dst. Sebab ketika ilmu itu tidak dipelajari dengan sungguh-sungguh dan diamalkan, lalu terjadi pernikahan; akan terjadi pernikahan dan pembangkangan. Terjadi pernikahan dan ketidak pedulian. Terjadi pernikahan dan keegoisan. Terjadi pernikahan dengan segala unsur kerusakan. Dalam proses penantian itu, hari demi hari adalah tabungan pahala, tabungan keindahan balasan, tabungan berita gembira bagi seoarng hamba yang taat menjauhi maksiat demi meraih ridhoaNya dalam menjadi pangeran dan putri impian.
Memilih Lelaki Biasa-biasa saja
Di awal acara, ditayangkan liputan patah hati netizen ketika Muzammil Hasballah menikah dengan Sonia. Duuuuh, sedihhhh. Cowok seperti itu jarang banget stoknya di atas muka bumi. Maka ketika sold out, hiks-hiks, hati patah deh…
Namun, ada seorang muslimah yang berani berpendapat : kalau saya ingin menikah dengan lelaki yang biasa-biasa karena ingin membantunya memahami agama, apakah salah?
Hm, Pembaca, segala sesuatu pasti ada konsekuensinya.
Punya suami atau istri penghafal Quran sangat membanggakan. Tetapi bukan berarti tidak ada tantangan. Seorang penghafal Quran, sebut saja namanya ustadz Sholih, sangat berhati-hati memilih makanan. Istrinya nggak bisa memasak sembarangan, membeli makanan pabrik di toko, sebab istri harus menjaga ustadz Sholih dari makanan tidak halal, bahkan makanan syubhat. Ustadz Sholih ini hanya mau makan masakan istrinya yang sudah terjamin kehalalannya. Repot kan? Nah, ternyata punya suami hafidz tetap aja ada ujiannya. Jangan dipikir enak, melejit followers, dipuja sana sini ketika punya suami hafidz!
Punya istri hafidzah juga begitu.
Ada seorang suami yang punya istri hafidzah. Ia menyadari betul keutamaan istrinya, maka ia rela mengerjakan seluruh pekerjaan rumah sembari menjadi pengusaha. Pekerjaan utama istrinya adalah menghafal Quran. Sebab, memang butuh waktu spesial untuk memelihara 30 juz. Dan , sang istri yang hafidzah itu lebih sering menerima undangan untuk mengisi pengajian. Eit, bukan berarti sang istri yang hafidzah ini menindas suami. Bukan, ya!. Ia juga rajin membantu usaha suami, rajin berbenah juga. Tetapi ketika pagi hari, saat dhuha para istri atau ibu biasanya sibuk memasak dan mencuci; sang hafidzahjustru sibuk murojaan Quran. Ia mengerjakan pekerjaan rumah di waktu yang lain. Tentu, memiliki istri hafidzah membanggakan, tetapi seorang suami juga harus siap dengan konsekuensinya.
Bagaimana dengan punya suami biasa-biasa saja?
Ini juga bukan pilihan jelek, apalagi diniatkan untuk membimbing lelaki yang belum tahu agama menjadi tahu agama. Bayangkan pahala yang didapat seorang istri, semisal mampu mengajak suaminya yang bertatto untuk rajin ke masjid. Atau bagaimana punya suami perokok untuk jadi penyuka shaum sunnah. Atau yang tadinya suka nge mall, dugem, lalu suka main ke masjid dan mendengar kajian kitab. Besar banget pahal istri seperti ini kan? Tetapi seorang gadis harus siap. Bahwa memiliki suami yang biasa-biasa saja, ia harus berkorban banyak hal, terutama kondisi emosional. Lelaki yang biasa mungkin belum tahu hijab, sehingga kedekatannya dengan beberapa perempuan membuat istri cemburu. Lelaki biasa belum tahu syubhat dan halal, sehingga main terobos sana sini ketika cari uang. Lelaki biasa-biasa saja mungkin masih harus dibangunkan untuk sholat, di saat istri ingin sekali diimami sholatnya dan mendengarkan bacaan Quran yang tartil.
Memiliki suami hafidz atau suami biasa-biasa saja, tetap ada konsekuensinya!
Yang pasti, luruskan niat dan patuhi syariat.
Apakah Pernikahan yang Tahan Lama itu Berarti Barakah?
Ini benar-benar pertanyaan menohok!
Disaat acara seminar pra nikah, saya dan suami diminta testimoni tentang perjalanan taaruf hingga menikah dan bertahan hingga sekarang (doakan ya Pembaca, kami langgeng hingga berkumpul di jannahNya ya…aamiin yaa Robbal ‘alamin).
Maka suami bercerita tentang proses taaruf yang singkat, disusul khitbah dan menikah. Saya pun bercerita tentang kondisi suami yang sesungguhnya masih sangat minim penghasilan ketika menikah dan hingga sekarang kami mencoba untuk tetap sabar dalam kejujuran sebagai pegawai negeri. Alhamdulillah, kami bisa bertahan hingga 23 tahun pernikahan dengan segala badai, gelombang, suka duka, tangis dan tawa.
Lalu bertanyalah seorang pemuda : “apakah 23 tahun itu bermakna barakah?”
Sungguh, saya dan suami bertatapan mata ketika ditanya seperti itu. Salut dengan pertanyaan kritis dan menohok hingga ke ulu hati.
Kalau dibilang pernikahan sukses, kami tak berani mengakuinya. Sebab kesuksesan hanya dapat dilihat di akhir, di ujung, di titik semua berhenti : kematian dan yaumil akhir. Kami baru akan disebut pasangan suksses bila telah bersama-sama menapaki JannahNya sembari membawa anak cucu kami masuk ke istana syurga. Dan itu sungguh masih rahasia ribuan tahun ke depan yang hanya diketahui Allah Swt. Namun bila bicara keberkahan, saya menysukuri betapa Allah Swt rasanya melimpahkan keberkahan.
Barakah atau berkah, adalah kondisi ketika sesuatu baik yang berifat materi (uang, barang) atau immateri (waktu) memiliki nilai tambah atau nilai lebih dibanding nilai yang sesungguhnya. Misalnya, ketika anak kami masih kecil-kecil, saya berhitung secara jujur berapa seharusnya jumlah penghasilan suami dan saya bila ingin hidup “normal“ : nyicil rumah, nyicil sepeda motor, menyekolahkan anak-anak di sekolah Islam, makan makanan bergizi, dan seterusnya. Maka dicapai angka fantastis : puluhan juta! Dengan 4 anak dan tinggal di kota Surabaya, kami harus punya pengahsilan puluhan juta untuk hidup layak. Apalagi ketika suami ditempatkan di luar kota, seharusnya penghasilan berlipat-lipat lagi. Nyatanya penghasilan suami tidak sampai sekian.
Namun, alhamdulillah, kami senantiasa cukup.
Ada saja rezeqi yang Dia berikan.
Salah satunya adalah rezeqi anak-anak yamng insyaAllah, sholih-shalihah. Anak-anak yang bisa diajak prihatin. Anak yang tahu kalau ayahnya adalah pegawai negeri yang mencoba jujur.
Dulu, waktu anak saya yang pertama usia SMP, ia hanya bawa sangu 5000. Itu sudah teramsuk transport, makan siang, dan jajan. Tetapi di akhir bulan ketika kami sedang 0 uang, si kakak masih ada tabungan yang bisa digunakan untuk menyambung hidup. Sampai sekarang, kakak dan adik-adiknya terbiasa menabung dari uang jajan mereka yang jumlahnya jauh di bawah jumlah teman-temannya. Mereka kalau butuh beli alat gambar, sketch book, komik, buku, sepatu atau kebutuhan lain; tahu-tahu punya uang. Bahkan alhamdulillah, si kecil bisa punya HP dari hasilnya menang lomba menulis. Anak-anak bertekad untuk punya laptop, HP dan barang-barang bukan dari hasil mereka memitna orangtua.
“Lho, kok kamu bisa beli sepatu, Mas?” saya nanya ke abang nomer tiga.
“Aku dua minggu ini gak jajan sama sekali, “ katanya.
Bahkan, dua anak lelaki kami ketika SMA masih naik sepeda onthel sementara teman-temannya telah naik sepeda motor mengkilat bahkan sepeda motor ninja yang mahal harganya. Mereka tidak kehilangan harga diri, tidak kehilangan teman, tidak kehilagnan kebahagiaan meski harus bersabar. 4 anak kami terbiasa saling menasehati satu sama lain, saling memberi motivasi. Ketika yang satu punya masalah, maka yang lain akan mendengarkan dan memberi masukan. Bagi kami, situasi ini adalah keberkahan yang merupakan karunia Allah Swt.
Keberkahan yang lain adalah ketika kami bisa membeli rumah ditahun 2011, dengan sepenuh perjuangan. Rumah yang cukup luasnya, dengan cicilan yang terjangkau gaji suami. Saya memang berdoa kepada Allah : “ya Allah berikan kami rumah yang kami mampu mencicilnya, dekat masjid, dikelilingi tetangga yang sholih shalihah, fasilitas memadai seperti air-sampah dll.” Saya berdoa sedetil itu dan alhamdulillah, kami dapat rumah yang sekarang kami tempati. Setiap kali bertemu teman atau supir taksi online, mereka bertanya tentang rumah saya dan terbelalak : “Ibu beruntung sekali! Rumah gede segitu harganya murah banget.”
Itulah keberkahan Allah Swt.
Masih banyak lagi keberkahan-keberkahan yang lain.
Ketika anak-anak di bangku SMA, teman-teman mereka sudah ikut les ini itu sejak awal kelas 3. Kami belum mampu meleskan mereka. Alasannya dapat ditebak. Rata-rata anak kami baru les menjelang ujian kelulusan. Alhamdulillah, si sulung dapat masuk UGM dan nomer dua di ITS. Itulah keberkahan. Bahwa ketika tidak tersedia uang untuk les ini itu, Allah Swt berikah rizqi berlipat dari sisi lain : anak-anak yang mau belajar meski harus pontang panting cari pinjaman soal.
Dalam hubungan suami istri, saya pun merasakan keberkahan.
Jangan dikira saya dan suami tidak pernah berselisih paham. Namanya suami istri, tentu ada hal-hal yang membuat kami berselisih dan marah satu sama lain. Namun alhamdulillah, kami biasanya marah sehari dua hari. Jarang sekali sampai tiga hari. Rasanya tidak betah, tidak nyaman kalau tidak bertegur sapa. Maka nanti salah satu akan memulai berbaikan sembari saling menyindir hehehehe.
Yah, inilah keberkahan.
Saya bukan perempuan paling cantik dan paling hebat.
Suami tentu juga bukan lelaki super seperti Thor, Captain America, Hulk atau Iron Man. Tetapi kami saling mencintai, insyaallah. Kalau hanya fisik, yah, saya sudah terdepak jauh-jauh hari. Jujur sajalah, lelaki ketika di kantor bertemu banyak perempuan yang jauh lebih mempesona. Bukannya saya tidak merawat diri, ya. Kata suami saya perempuan cantik (gomballlll…biar deh! Saya juga selalu memaksa suami supaya bilang saya yang paling cantik, kwkwkwkwk!) tetapi godaan di luar sana besar. Termasuk saya juga yang sering menjalani aktivitas di luar rumah.
Tetapi itulah keberkahan yang Allah Swt titipkan di keluarga kami hingga masih bertahan hingga sekarang dan semoga bertahan hingga maut menjelang : sedahsyat apapun orang yang kita temui di luar sana, semempesona apapun, bagaimanapun ia membuat hati kita jadi deg-degan dan berbunga-bunga; tetap saja, pasangan cinta yang telah menjalani hidup sekian lama adalah belahan hati terbaik yang pernah ada bagi diri kita.
Mungkin dia tidak lagi membuat deg-degan.
Tidak membuat berdesir-desir.
Tidak membuat mabuk kepayang seperti saat awal nikah dulu.
Tapi rasa bahagia, hangat, tenang, itu tetap ada dan itulah keberkahan. Betapa banyak pernikahan yang terasa dingin, hambar, tak ada cahaya sama sekali dan tak ada lagi yang pantas dipertahankan dalam hubungan itu kecuali memang tinggal kunci perceraian yang menyelesaikan.
Rasanya, inilah keberkahan yang Allah titipkan.
Semoga, banyak pasangan di luar sana yang usai pernikahannya mencapai 20, 30, 50 tahun dan lebih; bukanlah pernikahan dalam keterpaksaan namun pernikahan dalam keberkahan. Aamiin yaa Robbal ‘alamiin…
Mbak shinta masyaAllah, inspiratif banget T_T btw ternyata bukan aku aja ya istri yg kdg maksa suami utk bilang cantique hahaha >_< berasa ada teman deh hihi
Ah tulisanya bagus bgt deh
Indah sekali, Mbak.
Jadi bangga sekaligus cemburu dengan semuanya!
[…] oleh Bunda Sinta Yudisia […]
makasih Mbak buat tulisannya!!