Film Bidaah yang menampilkan Walid memang fenomenal. Pro dan kontra pasti ada, ketika sebuah fenomena di angkat ke permukaan. Yang pro dengan film tersebut akan berpikir : ah, emang brengsek kok Gus/Kiai yang meraup untung dengan menjual agama. Sampai2 merusak anak2 gadis yang masih polos-polos. Yang kontra : film itu merusak citra orang-orang salih. Masyarakat umum akan beranggapan di dunia ini udah gak ada wali Allah yang bisa nuntun ummat ke jalan benar.
Keluarga besarku, sudah gak asing lagi dengan istilah Gus dan Kiai. Alhamdulillah, selama beririsan dengan keluarga pesantren, banyak hal-hal baik yang kami dapatkan. Walau kami miris dengan pemberitaan di media massa : ya Allah, kok ada ya yang seperti itu (naudzubillah…manusia memang bermacam2).
Ibuku pernah bercerita sebuah kisah. Di Yogya dulu, ada seorang kiai sangat sederhana, disebut kiai khos (karena memiliki kekhususan tertentu). Beliau jarang bicara, sekalinya berbicara bentuknya sanepo (perlambang) dan gak semua orang paham. Suatu saat beliau pernah mencoba berlari di samping rel kereta api. Orang gak paham apa maknanya, ternyata gak jauh dari waktu itu gunung Merapi meletus dan orang berlarian mencari selamat seperti ingin berkejaran dengan kereta api.
Beliau pernah belanja ke pasar, lalu menggunting uang. Gak lama dari waktu tsb, Indonesia devaluasi.
Cucokologi? Wallahu a’lam.
Dari pengalamanku mendengar cerita nenek, ibu dan keluarga besar terkait dunia pesantren tradisional beserta Gus/Kiai, (yang sekarang rame dengan istilah Walid) sesungguhnya kita bisa kok mengecek apakah Gus/Kiai tersebut masih .
1. Nasab yang jelas.
Siapa ayahnya, siapa kakeknya, bagaimana keluarga besarnya. Hal ini bisa menjadi pertimbangan ketika kita memutuskan ingin bergabung, mengabdi atau menitipkan anak di sebuah pesantren. Walau ini tidak menjamin 100% mutlak. Karena ada Kiai yang baik, anak-anaknya yang menggunakan label Gus tidak sesalih ayahnya.
2. Kenali pesantrennya.
Tidak semua pesantren sama. Ada pesantren modern yang yang menggabungkan pola pesantren tradisional dengan pendidikan akademik. Ada pesantren yang benar-benar murni untuk pembersihan diri (lebih banyak dzikir dan tirakat). Ada pesantren yang bertujuan menyembuhkan (pesantren narkoba). Ada pesantren yang bertujuan untuk menyediakan lingkungan kondusif (pesantren skizofrenia).
Aku sendiri berharap suatu saat bisa punya satu lahan luas di tempat tenang, mendirikan pesantren-shelter- mental health center yang menjadi tempat orang melarikan diri sesaat ketika punya masalah
3. Silaturrahim dengan pengasuh, pengurus dan keluarga Kiai/Gus
Walau keluarga Kiai seolah2 menempati kasta tertentu, golongan langit yang tak bisa tersentuh, sejatinya mereka keluarga yang biasa-biasa juga. Ketika mereka membuka diri, maka kita bisa menilai.
Ibuku selalu mencoba silaturrahim ke rumah Kiai sebelum memutuskan untuk bergabung dengan pesantrennya. Bagaimana sikap Kiai pada istri, pada anak-anaknya, pada santrinya; menjadi poin-poin tertentu untuk memutuskan.
Kalau Kiai/Gus terlalu menutup diri, orang luar tak mudah mengakses kehidupan yang sesungguhnya, silakan putuskan sendiri. Walau ada yang tetap berpendapat : ah, lagian ngapain bongkar-bongkar urusan keluarga Kiai. Gak level banget!
4. Teliti ajarannya.
Ada ajaran Kiai/Gus yang sesuai sunnah Nabi. Ada yang jauh dari itu. Singkat cerita, dulu ayahku pernah mengalami sakit panjang yang tak dapat dijelaskan. Anggota2 keluargaku juga. Hasil tes medis dan kondisi fisik menunjukkan hasil sangat berbeda.
Sebagai ikhtiar, keluarga kami berobat ke dokter dan kiai. Apapun saran orang, kami coba lakukan (saat itu belum kenal metode ruqyah syar’iyyah). Nah, sampailah ke sebuah ajaran dari kiai yang meminta ibuku beli ayam cemani, cari bambu wulung dan segala macam. Awalnya ibu menurut, tetapi lama2 mulai merasa aneh. Alhamdulillah…bisa terlepas. Sejak saat itu, kami lebih berhati-hati. Namun semua kami syukuri sebagai sebuah jalan mencari kebenaranNya.
Sampai kemudian bertemu metode ruqyah syar’iyyah. Masih teringat banget ucapan sang kiai : metode ruqyah ini percuma dilakukan kalau anda sendiri jarang salat berjamaah!
Nah, kalau ajarannya masih selaras dengan Quran & Sunnah, masih dapat dibenarkan. Seperti sedekah, wirid/dzikir, berbakti pada orang tua, silaturrahim, dsb. Untuk itu kita juga perlu belajar agama lebih mendalam, ya.
5. Bersedia diskusi
Beberapa ajaran Kiai/Gus kadang terdengar tak masuk akal. Namun, kita harus berani menanyakan hal yang tak jelas. Kalau beliau menjawab dan terasa sreg di hati, maka lanjutkan. Kalau ada yang terasa janggal, silakan pertimbangkan kembali.
Suatu saat, keluarga kami sedang menghadapi musibah. Kami bertanya kepada seorang kiai bagaimana cara mengatasi musibah yang sangat mendadak dan seolah tak ada jalan keluarnya?
Kiai yang kami tanyai, memberikan saran agar kami mencari orang terdekat yang sangat membutuhkan. Entah itu tukang sampah, satpam, atau siapapun yang dekat dan membutuhkan. Sebisa mungkin sedekah kepadanya dengan uang yang ada kelipatan 7. Misal Rp. 170.000. Kami bertanya, kenapa kok harus ‘7’ ? Menurut santri2 beliau, memang beliau sering menyarankan kalau sedekah dan punya hajat tertentu cobalah di angka 7. 127.000, 77.000 atau berapapun. Karena angka 7 adalah angka ganjil kesukaan Allah dan 7 dalam bahasa Jawa artinya pitu (singkatan dari ‘pitulungan Gusti’ pertolongan Tuhan).
Kalau ada amalan tertentu yang disarankan dan masuk akal seperti dzikir 1000x, 5000x, silakan ditanyakan atau kalau yakin; lakukan saja. Tapi kalau semisal disuruh masuk ke kamar berduaan; hal-hal semacam ini wajib berani ditanyakan. Atau bahkan langsung ditolak!
6. Salat istikharah/+salat hajat
Banyak di antara kita yang mungkin bingung memutuskan mau ke kiai/gus mana, ke pesantren mana. Salat istikharah insyaallah bisa membantu untuk memantapkan hati.
Mungkin ada yang bertanya-tanya : emang ngapain sih datang ke Kiai, Gus, Walid? Gak bisakah diselesaikan sendiri?
Ada hal2 yang dialami seseorang atau satu keluarga yang gak bisa dicari jawabannya secara general, atau cukup googling saja.
Sebagai contoh, keluarga besar kami. Keluarga besar kami mengalami hal2 sangat sulit yang susah diuraikan, segala cara sudah dicoba. Baik hal2 wajib atau sunnah. Atas saran banyak orang, diminta datang ke Kiai/Gus. Barulah disitu kami paham ada ‘dosa masa lalu’ yang perlu diselesaikan. Termasuk permasalahan waris yang terbengkalai dan carut marut.
Semoga bermanfaat, ya. Mari ambil hikmah dari Walid – Bidaah. Yang bagus terapkan, yang buruk tinggalkan.
Silakan share pengalaman unik yang lain terkait Kiai, Gus, Walid di kolom komentar.
#kiai #gus #walid #bidaah #bidaahseries #bidaahmalaysia