Lama sekali, aku ingin menuliskan buku terkait bakat dan minat anak. Semua bersumber ketika aku sendiri terlambat memahami tentang potensi diriku.
Sejak kecil aku suka berkhayal : menjadi ratu, pasukan paskibraka, penyanyi, wonder woman dan banyak lagi. Sama sekali tak terpikir bahwa kemampuan mengkhayal itu perwujudan dari kreatifitas membuat cerita baru berdasarkan informasi yang sudah ada. Meski sudah suka menulis diary sejak SD, nyatanya aku malah masuk kelas Fisika ketika SMA. Saat itu, kelas di SMA dibagi A1 (Fisika), A2 (Biologi) dan A3 (Sosial). Dulu masih ada kelas A4 (bahasa) tapi jarang juga tersedia. Karena saat itu multiple intelligence belum dikenal, orangtua dan lingkungan mendorongku masuk kelas Fisika. Kata mereka, aku pintar.
Anehnya, aku masuk kelas Fisika tetapi kuliah di Ekonomi Akuntansi. Bayangkan! Sangat jauh panggang dari api hehehe.
Semakin hari aku malah nggak mengerti dengan keinginan dan cita-citaku. Kenapa makin lama nggak suka dengan sains? Gak suka ekonomi? Ketika usiaku menjelang 30 tahun aku coba-coba buat cerpen dan berhasil! Aku ikut beberapa lomba tingkat nasional dan Alhamdulillah, menang. Ketika itulah aku baru mulai sadar : “Oh, aku punya bakat nulis, ya?”
Tidak pernah terpikir menulis menjadi sumber pemasukan.
Setelah 10 tahun menulis aku semakin yakin bahwa menulis adalah duniaku. Apalagi ketika tes minat RMIB, kecenderunganku ke arah aesthetic dan literasi. Klop dah.Terus terang aku terlambat mengetahui minat dan bakatku. Andai sejak kecil aku sudah tahu bahwa bakat minatmu menjadi seorang seniman, aku mungkin akan kuliah di ISI atau masuk fakultas sastra.
Anak-anak : Mereka harus berkembang lebih baik
Sekarang, aku tak ingin kejadian yang sama terulang.
Jujur, awalnya aku masih terperangkap dalam paradigma lama : anak-anakku harus masuk sekolah yang jurusannya sains. Nanti mereka bisa enak memilih. Toh nggak papa kuliah ekonomi bila berasal dari kelas MIA, bukan?
Tetapi, anak-anak ternyata menderita ketika mereka dipaksa masuk kelas sains padahal dalam diri mereka mengalir jiwa altruist, jiwa seniman, jiwa kebebasan. Perlahan, aku mulai belajar dari sana sini. Kebetulan aku kuliah psikologi saat sudah menjadi ibu, jadi aku mulai dapat membaca walau masih kabur, tentang potensi anak-anakku.
Aku melalap berbagai jurnal.
Artikel.
Majalah.
Buku Indonesia dan Inggris.
Karya antologi putri-putri kami. Kiri : ada karya Arina. Kanan : ada karya Nisrina
Pada akhirnya, aku menyelesaikan membuat buku 15 Rahasia Melejitkan Bakat Anak ini, sebuah buku yang sudah kuimpikan lama sebagai bentuk curahan perasaan dan pikiranku tentang bagaimana menemukan bakat terpendam anak-anak. Alhamdulillah, putri-putriku suka menulis. Tetapi bakat saja tanpa motivasi besar seperti mobil mewah tanpa bensin!
Kupikir semua anakku berdarah seni. Tetapi ada satu orang anakku yang baru kuketahui usia onsetnya, mahir merakit sesuatu saat SMP. Ia suka menabung dan membeli Gundam/ Gunpla.
Semoga buku ini bermanfaat bagi para orangtua di luar sana yang cemas, ingin tahu, kesal, marah; karena tak kunjung menemukan potensi anak-anak mereka yang sebetulnya memiliki innate talent atau hidden talent rrruaaarrrbiasa!
[…] Yang suka programming, menghasilkan buah karya aplikasi-aplikasi bermanfaat untuk menunjang berbagai kegiatan baik yang bisa diterapkan oleh seiswa, orangtua, juga guru. Yang DKV suka sekali menyalurkan ide-ide mereka ke bentuk tulisan, gambar, desain grafis atau apapun yang berbentuk komunikasi visual. Termasuk membuat tulisan-tulisan. Biasanya memang, seorang komikus senang membuat storyboard sendiri. Begitupun sebaliknya, seorang penulis suka merancang ilustrasinya sendiri meski ia tak mahir melukis. Jadi ingat seorang komikus webtoon – Lookism– yang nama dan hasil karyanya saya tuliskan dalam buku 15 Rahasia Melejitkan Bakat Anak. […]
[…] Ngisi acara sembari promosi buku 15 Rahasia Melejitkan Bakat Anak […]