Jauh sebelum gonjang ganjing jagad perpolitikan, keluargaku telah mengenal kiai dan ulama. Kami memanggil ulama itu dengan sebutan “pak Yayi, Gus, Kiai, Ustadz”. Tergantung kebiasaan santri masing-masing. Para kiai atau ulama yang kami sambangi, mungkin tidak setenar Habieb Rizieq, Hidayat Nur Wahid, Bachtiar Natsir, KH MA’ruf Amin. Tapi kehadiran mereka sungguh-sungguh kami rasakan demikian dekat, demikian mengayomi, demikian membantu. Ada beberapa peristiwa kritis dalam hidup kami yang ,tanpa bantuan alim ulama, entah hidup kami seperti apa jadinya.
- Ketika remaja, ayahku didagnosa penyakit diabetes namun rangkaian sakitnya benar-benar aneh. Kata orang-orang, ayah kami kena santet. Saat itu aku belum pakai jilbab dan agamaku masih jauh sekali dari cukup. Aku ikut saja mamah pergi dari satu kiai ke kiai yang lain. Umumnya mereka memiliki analisa sama : ayahku terkena santet. Satu yang mengesankan dan akan kukenang sampai kapanpun, para kiai tersebut mengatakan : “tidak usah dibalas santetnya. Biarkan saja. Yang penting Ibu rajin sholat.” Dalam bayangan anak kecil seprtiku saat itu : ngapain gak balas santetnya? Dikirim balik aja biar mereka juga mati dan merasakan sakit seperti ayah. Belasan tahun kemudian kusadari, para kiai itu mengajarkan hal sederhana kepada kami : bab aqidah. Serahkan saja pada Allah karena itu perkara ghaib. Lagipula, setan suka membuat makar : bilang kalau penyantetnya adalah si A, padahal bukan. Lalu kita kirim balik, maka kita akan mendapatkan dosa yang sangat besar.
- Ketika harta kelaurga habis sehabis habisnya. Masih dalam rangkaian santet. Semua asset keluarga tak bersisa. Rumah, mobil, perusahaan, tanah-tanah. Mamah pintar berbisnis. Beliau sempat menabung dan membelikan setiap anaknya rumah untuk masa depan. Belum sampai rumah itu dibagikan, semuanya ludes-des-des. Tidak ada yang tersisa bahkan perabot pun harus binasa. Entah terjual, hilang, atau diambil orang. Mama menyambangi satu kiai ke kiai yang lain. Jawaban mereka sama : sedekah, sedekah, sedekah. Mama awalnya nggak menyadari, denial Wong lagi susah kok malah sedekah. Belakangan b eliau baru sadar….selama ini harta sedemikian banyak tidak pernah dibersihkan dengan zakat, infaq, sedekah. Mama masi minim sekali pemahaman agamanya. Perlahan, dengan didampingi para alim ulama, pemahaman agama mama berangsur membaik dan beliau sering menyarankan pada anak-anaknya untuk memperbanyak sedekah.
- Setiap keluarga memiliki masalah kritis. Keluarga kami diuji Allah Swt dengan beberapa ujian yang bukan saja bab harta. Abang, sejak muda terlibat narkoba. Entah berapa kali sudah mama harus berurusan dengan polisi, rumah sakit, orang-orang yang mengamuk karena barang mereka menghilang (penderita narkoba akan melakukan apapun untuk membeli barang). Rumah ssakit hanya mampu mengobati sesaat. Kepolisian lebih meneyrahkan perkara itu untuk ditangani dengan cara kekeluargaan. Lalu, kemana seorang janda seperti mama yang telah habis ludes barang-barangnya mengobati abangku yang telah menjadi pecandu? JAwabannya adala pesantren dan para kiai atau ulama. Mereka mempersilakan mamaku yang tak punya uang untuk datang ke pesantrennya. Mereka memeprsilakan abangku untuk tinggal di pesantren-pesantren beliau. Betapa kehidupan ulama,s antri dan pesantren demikian “hidup” dan sederhana.
“Sin, Mama belum pernah makan seperti di pesantren X. Hanya pakai sayur jipang bersantan tapi enaaak banget, Masyaallah. Kalau di pesantren Y Mama cuma makan nasi sama teri. Ya Allah…kenapa makan di pesantren2 itu terasa nikmat banget ya?”
“Di pesantren A, kita jarang banget tidur, Sin. Tapi kok badan Mama jadi fit ya. Kita tidur seringkali sampai jam 22.00 atau malah jam 24.00. Nanti jam 02.30 sudah bangun untuk mandi wuwung –mandi keramas. Ternyata nikmat banget ya…habis itu sola tmalam. Lanjut Shubuh.”
“Di pesantren B Mama diajak shaum Daud. Mama gak pernah berpikir kuat puasa Daud, ternyata luarbiasa. Kamu harus coba, Sin!”
Ketika ada kerabat yang mengalami problematika rumah tangga luarbiasa, kami membawanya kepada para kiai. Para kiai dan ulama tersebut bukan psikolog, bukan konselor, bukan konsultan. Tapi ucapan-ucapan beliau sangat menohok hingga membuat orang-orang yang bermasalah itu menunduk, kadang bercucuran airmata.
Ini beberapa nasehat ulama yang menohok para saudaraku yang tertimpa musibah dalam pernikahannya.
“Gimana mau tentrem rumah tangganya? Rumahnya gak pernah dipakai sholat berjamaah!”
“Pernikahan itu, kalau suami istri gak mau saling mensyukuri, ya akan terus menuntut. Akan panas! Akan membuat rezeqi mampet!”
“Kalau suami sudah tidak bisa menjadi qowwam, lelaki yang seharusnya menjadi pemimpin dalam urusan agama, maka perempuan boleh menggugat cerai.”
“Nduk, berhati-hatilah ketika berbuat salah ya. Nanti membayarnya susah sekali…”
- Pengalaman nenekku, almarhum. Nenek ini orang yang luarbiasa, demikian cantik dan sabar serta sangat halus bertutur kata. Namun, bukan berarti beliau tidak pernah marah. Konon kabarnya, kalau beliau marah bisa takut orang-orang di sekitar. Ya, biasanya orang yang sabar sangat mengerikan ketika meledak! Putri nenek 4 orang , perempuan semua (mamaku putri beliau yang pertama). Nenek janda ketika mama masi sangat kecil, dapat dibayangkan pahitnya perjuangan beliau membesarkan 4 anak perempuan di era penjajahan Belanda, Jepang, maupun masa-masa sulit Indonesia di awal kemerdekaan. Menghadapi 4 orang putri yang luarbiasa tantangannya, sering membuat nenek menangis. Kemana nenek yang janda, dilanda kesulitan mulai anak-anaknya kecil hingga putrid-putrinya dewasa mencari bantuan?
Ke alim ulama.
Nenek bercerita padaku, “suatu saat, Nenek sangat sedih memikirkan mama kamu, Sin. Nenek lalu ke kiai A. Kata beliau : coba banyak-banyak baca Alam Nasyrah dan baca artinya.”
Waktu itu tafsir Quran belum seperti sekarang.
Nenek melanjutkan : “habis baca Alam Nasyrah, Nenek sadar. Allah telah melapangkan hidup Nenek. Selalu saja dilapangkan. Lalu dikasih ujian lagi. Dilapangkan lagi. Begitu seterusnya. Bacalah itu kalau kamu tiap kali merasa susah ya.”
- Sebagai konselor dan psikolog, aku selalu lari ke alim ulama. Mengapa? Sebagai terapis, aku tau bagaimana menjalankan tahapan psikoterapis mulai awal, mengakhirinya hingga psychological report writing. Tetapi di titik mana aku harus meningatkan klien-klienku untuk terus bertahan dengan masalah mereka atau segera move on, utamanya dalam kasus pernikahan? Tentu, fatwa para ustadz, alim ulama, telah membantuku dan menyelamatkan –atas izin Allah Swt- banyak keluarga-keluarga : teruskah mereka hidup bersama pasangan atau bismillah, berpisah?
Seorang alim ulama pernah memberikan nasehat yang menjadi panduanku dalam proses piskoterapis dan konseling, utamanya kasus pernikahan :
Bila pasangan murtad, maka otomatis lepaslah tali ikatan pernikahan
Bila salah satu pasangan bermaksiat (berselingkuh, berbohong, melakukan tindak criminal, KDRT pada pasangan dan anak, suami tidak mau mencari nafkah, gangguan orientasi seksual, dll) maka dikembalikan pada kekuatan pasangan apakah mau bertahan ataukah tetap terus. Tetap terus disini dengan niat semua tahapan untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan dengan upaya semaksimal mungkin memperbaiki kondisi yang ada. Misal, bila pasangan berselingkuh, apakah pasangan di satu sisi akan bertahan, memaafkan, memperbaiki kondisi dll? Sangat tergantung dalam proses konseling, psikoterapi dan perkembangan keluarga tersebut.
Sungguh, tanpa bantuan para ustadz, kiai dan alim ulama; apa jadinya profesi-profesi yang berkaitan hidup dengan orang banyak seperti dokter, psikolog, guru, PNS dan lainnya?
Teman-temanku para dokter, mereka sungguh berpegang pada fatwa ulama dalam menjalani profesi mereka. Teman-temanku para ibu dan istri, mereka sunggu berpegang pada fatwa ulama dalam memilih menjadi ibu rumah tangga dan meninggalkan karir yang gilang gemilang. Teman-temanku para perempuan bekerja, mereka berpedoman pada fatwa ulama bagaimana berdandan, tetap patuh pada suami, tetap membagi perhatian dengan anak-anak. Teman-temanku para pedagang, mereka berpegang pada fatwa ulama bagaimana cara berbisnis mulai dari promosi hingga jual beli. Teman-temanku yang berada di instansi pemerintah, dalam segala jajaran institusi, berpegangan pada fatwa alim ulama perihal gaji, uang syubhat, maupun insentif. Teman-temanku di segala penjuru yang menjadi konsumen, berpegangan apda fatwa ulama tentang produk halal : dari obat hingga cara pengobatan, dari makanan hingga bahan baku. Teman-temanku berpegang pada fatwa ulama bagaimana cara mencari jodoh, bagaimana jujur dalam studi dan bekerja, bagaimana menjaga adab di media sosial.
Tak bisa kubayangkan, seperti apa kerusakan bagi diriku pribadi, bagi keluargaku, bagi keluarga teman-temanku dan setiap individu bila mereka tidak dipandu dengan ilmu ulama dalam menjalani hidup ini.
Reblogged this on Pemulung Hikmah.
Perjalanan hidup yang dahsyat. Adakalanya kesadaran datang sesudah benturan… Ada juga kesadaran yang dirintis sejak awal…
Salam kenal…