“Hah? Anakmu 4?”
Dosen saya terbelalak. Beliau tak percaya saya bisa punya anak banyak. Maklum, badan saya kecil mungil. Waktu melihat ekspresi beliau yang seperti itu, sebetulnya saya ingin terus bilang : “aslinya saya ingin punya anak 6 atau 12 lho, Pak.”
Waktu putri sulung saya sekolah di SMP Negeri, dia juga sering menerima ungkapan terkejut dari teman-temannya.
“Hah, Adikmu 3? Banyak bangettt?”
“Padahal temanku ada yang bersaudara 9 ya, Mi, hahaha,” si Sulung tertawa.
“Coba dosen Ummi tau ada orang seperti Ustadzah Yoyoh Yusroh yang putranya 13,” sahutku pula.
Anak Sedikit : Pengeluaran Tak Banyak
Orang memilih punya anak 1 atau 2, dengan beberapa alasan. Ada yang alasannya kesehatan. Ada yang alasannya keuangan. Yang alasannya kesehatan; biasanya karena si ibu tak mampu melahirkan banyak. Bolak balik caesar. Yang pertimbangan keuangan, biasanya mengatakan ,
“Yah…tau sendirilah. Berapa harga susu. Berapa biaya sekolah. Berapa biaya anak sakit. Bukannya tak percaya rizqi Allah, tapi sebagai manusia kita juga harus usaha. Kalau puunya anak banyak tapi orang tua nggak mampu memberikan pendidikan dan kesehatan yang layak, akhirnya mereka tidak akan menjadi asset yang baik juga.”
Begitulah kira-kira.
Saya tak menyalahkan pendapat ini.
Sebab, memang dalam kenyatannya, ada teman-teman yang beranak banyak sudah berjuang sekuat kemampuan untuk memberikan pendidikan dan kesehatan yang layak pada anak-anak. Namun, karena situasi ekonomi dan kebijakan pemerintah tidak berpihak pada keluarga beranak banyak, akhirnya beban ekonomi dipikul hanya oleh keluarga yang bersangkutan.
Anak Banyak : Asset Keluarga dan Negara
Bagaimana dengan orang yang memilih beranak banyak?
Saya salah satunya. Alasannya klise : saya suka keluarga yang ramai, mengingatk keluarga saya dulu hanya 3 bersaudara. Saya punya abang 1, adik 1. Rasanya kok sepiiii kalau semua sudah sekolah dan pulang sekolah. Saya sering keluar mencari teman bermain, tetangga-tetangga sekitar. Saya iri waktu kecil, ada tetangga depan rumah yang punya anak 5. Sebel banget, kalau saya berantem dengan anak tetangga yang seusia; maka kakak-kakaknya akan membela dia sementara saya hanya seorang diri menghadapai konspirasi! #Jiaaah
Saya bertekad : awas ya, bseok saya mau punya anak banyak! Hehehe.
Menikah, awalnya saya ingin punya anak banyak.
Apalah daya, anak pertama keguguran. Alhamdulillah, anak-anak yang berikut muncul. Hanya saja, kesehatan saya sepertinya kurang menunjang hingga ketika kehamilan ke-5, dokter memutuskan agar saya tidak lagi mengandung.
Lalu apa rasanya punya anak 4?
Heroik bangettt laaah.
Sepeda Motor 1
Waktu itu satu-satunya kendaraan hanya sepeda motor. Maklum, suami menempuh studi D4 di Jakarta saat saya hamil anak ke-4. Jadi kalau keluar rumah, suami yang nyetir motor. Saya di belakang. Si sulung dan nomer dua di depan, saya memangku anak ketiga sembari hamil. Untung waktu itu badan suami dan saya masih kurus-kurus, jadi cukup aja motor kecil begitu heheheh.
Punya anak-anak kecil 4 itu antara nangis dan tertawa, bahagia dan jengkel.
Si sulung masih kecil saya titipi sebentar adiknya untuk belanja ke warung sayur. Kalau bawa anak 3 kebayang deh repotnya. Jadi saya titipi dia dengan adiknya. Pulang-pulang heboh.
“Ummiiiii…akuu digigit Mbaaak!” si adek nangis kekejer.
Yah, perebutan barang mainan atau makanan kecil. Si sulung gemes karena adiknya tak mau berbagi, lalu ia menggigit tangannya!
Banyak Insiden Menakjubkan
Punya anak 4 itu rempong. Anak 3 masih belum terasa capeknya, tapi 4? Itu benar-benar menguras tenaga. Maka kita harus bisa berbagi tugas dengan suami dan anak-anak. Dan berbagi tugas itu tidak selamanya mulus, sebab terkadang, malah justru semakin menambah ruwet!
“Mbak, tolong adik dimandikan ya,” aku minta si sulung memandikan si bungsu. Sama-sama cewek.
3 menit. 5 menit. 7 menit. 15 menit.
Kupikir main air, main sabun, atau main apalah.
Tahu-tahu!
Si bungsu yang saat itu masih sekitar usia 5 tahun, keluar cengar cengir. Pakai handuk. Si Sulung juga terlihat antara gugup dan tertawa.
“Kenapa?” tanyaku melihat mereka berdua.
“Ini gimana cara melepasnya, Mi?” si Sulung bertanya.
Aku menatap takjub pada rambut si bungsu yang terurai panjang. Ia memang anak cewek yang feminin, memelihara rambut panjang ketika itu. Si sulung mengeramasinya, lalu si bungsu menyisir rambut panjangya di kamar mandi. Rupanya, ia menyisir tak sampai ujung rambut bawah, sudah dikembalikan lagi ke ubun-ubun. 3x diulangi, sisir itu nyangkut,ruwet, uwel-uwelan di pangkal rambut! Kalau di ujung rambut, bisa dipotong saja. Tapi ini di pangkal? Mau dibotakin?
Hari yang sudah full akhirnya bertambah padat dengan upacara melepaskan sisir dari rambut. Kupotong dengan pisau yang dibakar api, kupatahkan kecil-kecil, tetap saja bundel semrawut gak karuan. Akhirnya, rambut si adek terpotong juga…
Si sulung memang suka bereksperimen dengan rambut. Sebelumnya, rambut adik laki-lakinya dipotong seperti di salon; hingga seperti keset . Panjang, pendek, botak tak beraturan.
Alhamdulillah… insiden-insiden yang terjadi tak sampai menimbulkan kecelakaan. Tapi aku sebagai ibu harus ngelus dada, sport jantung, siap waspada ketika salah seorang anak berteriak.
“Miiii!!”
Rasanya jantung ini melorot ke kandung kemih.
Alhamdulillah, bila anak mulai besar
Berbagi, Berdiskusi, Cari Uang Sendiri
Kata orang-orang tua, punya anak banyak itu repot pas kecil. Senang pas besar.
Saat anak-anak sudah mulai masuk sekolah usia SD, aku mulai merasakan senangnya punya anak banyak. Mereka dapat disuruh ke warung, buang sampah, membantu mencuci, menyapu dan saling menjaga satu sama lain. Semakin dewasa, saat usia SMP dan SMA; mereka mulai dapat diajak berdiskusi tentang segala sesuatu. Bahkan, mereka seringkali membagi cerita lucu yang membuatku dan suamiku tertawa terbahak. Kadang mereka mengkritik kami.
“Ummi harus dengan lagu Lukas Graham 7 years Old,” kata si Sulung, “Itu bagus banget, cara orangtua mendidik anaknya. Ummi juga harus lihat serial Ted di youtube, ada serial-serial tentang orangtua muslim mendidik anaknya di Eropa. Atau bagaimana cewek mempertahankan hijabnya.”
Si kecil pun sudah mulai berdakwah kepada orangtuanya, “Ummi kurang dengung tuh, baca Qurannya.”
Keempat anak kami, kadang kami minta untuk mengoreksi hafalan orangtuanya.
Apalagi ketika anak-anak mulai berprestasi dan menang lomba; mereka bisa punya uang sendiri.
Rasanya terharu sekali ketika mereka memberikan uang itu ke kami.
“Uang ini dipakai Ummi aja.”
“Ummi pinjam ya?” tanyaku.
“Nggak ussah pinjam, Mi. Buat Ummi aja. Aku juga sudah hutang hidup sama Ummi.”
Duh, kalau sudah begini terharu rasanyaaa.
Kalau ayah dan bunda dan adik-adik yang sudah (siap) menikah; pilih anak banyak atau anak sedikit?
Moslem family http://www.manchestereveningnews.co.uk/business/business-news/muslim-cleric-tortured-in-libya-for-months-874486
Lukas graham https://www.livenation.com/artists/98423/lukas-graham
daku kok ketawa ngakak mbak baca tragedi rambut antara si sulung dan si bungsu.
Sayangnya gak bisa berbagi foto karena aurat. Sekarang anaknya sudah baligh soalnya kwkwkwk….
Masa sih 4 banyak mbak sinta? Aku 4 bersaudara biasanya aja. Laki2 yg Sulung 3 cewek semua. Jadi kayak the corrs kita
Amiin….kalau sudah lihat lucu dan cantiknya sesosok baby, mbak Noni bisa pingin nambah kwkwkwkw
Banyak. Hehe