Panic Attack : adakah solusinya?
Abah : ibadah 17, 8, 11
Abah : ibadah 17, 8, 11
Kami memanggilnya ‘Abah’ , kebiasaan keluarga besar suami memanggil ayah. Seorang lelaki yang luarbiasa, sangat sabar, mampu menahan diri dengan baik, berkata-kata secukupnya, penyayang terhadap istri, anak, menantu dan cucu-cucu.
Kasih sayang Abah terhadap Ummi sungguh luarbiasa. Walau dalam kondisi renta dan sakit, Abah masih setia mendampingi Ummi dan melayani keperluan Ummi. Baik Abah Ummi dalam usia senjanya lebih banyak menghabiskan waktu di pembaringan.
Aku teringat cerita Ummi terkait Abah dan suamiku.
“Dulu, Abah pingin punya anak pertama lelaki. Karena dikabulkan Allah, maka Abah gak putus selama 40 hari sholat malam dan membaca yassin setiap malam.”
Alhamdulillah, anak-anak Abah Ummi berhasil semua. 4 anaknya lulus kuliah, dekat dengan agama dan telah berkeluarga. Abah hanya supir rendah pegawai Puskesmas. Tahulah berapa gajinya…
Ilmu Parenting?
Abah Ummi tak punya. Tapi tahu betul tanggung jawab sebagai orangtua. Sekalipun kerja keras banting tulang sebagai supir, saat suamiku SD, Abah mengantar suami dengan mengguunakan sepeda ontel untuk sekolah madrasah yang berisi pelajaran bahasa Arab dan ilmu agama. Di zaman itu belum ada TPA, TPQ, boarding school, pesantren modern dan SIT seperti sekarang. Sekolah umum benar-benar hanya akademik belaka. Kalau mau tambahan ilmu agama, ya harus sekolah madrasah dan sejenisnya di sore hari.
Yang mengharukan adalah…
Abah mengantar setiap sore, menunggui suamiku sekolah madrasah sampai selesai dan suamiku akhirnya menjadi satu-satunya siswa madrasah tersebut karena semua muridnya akhirnya rontok.
Saat suamiku tugas belajar, aku tinggal bersama Abah Ummi. Ketika aku hamil anak kedua, Abah mengantarku melahirkan naik sepeda motor dan mengadzani putraku Ibrahim Ayyasy Kholilullah. Itu sebabnya, Ibrahim menangis sesenggukan ketika belia wafat dan bertanya padaku , “Bolehkah aku mengadzani Kakek seperti Kakek dulu mengadzani aku ketika aku lahir?”
Apa makna judul 17-8-11?
Sejak muda hingga renta dan tak bisa bangkit dari tempat tidur, Abah mencoba sholat tepat waktu di masjid. Selelah apapun beliau sebagai supir, beliau ke masjid. Sholat rawatib tak tinggal. Dan yang luarbiasa adalah….beliau rutin Dhuha 8 rakaat dan Qiyamullail 11 rakaat. SETIAP HARI!
Semua sholat sunnah itu gugur hanya ketika beliau sudah mulai pikun dan tak berdaya berdiri. Ketika sakit, sulit bergerak, beringsut pun nyeri; kata yang keluar dari lisan hanyalah : Allah…Allah…Allah.
85 tahun usia beliau.
Hari itu, 1 Oktober adalah hari ulang tahun Ummi.
Abah di pagi hari mendadak seperti masuk angin, lalu lunglai ketika dibawa ke rumah sakit. Dzuhur tertidur dan jam 14.00 dinyatakan wafat.
Apakah di antara kami ada yang mendapati tanda-tanda beliau akan wafat?
Putriku, Nis, bermimpi suatu malam Abah tengah bermain layangan di sebuah taman luas.
Aku?
Aku punya kebiasaan saat baca Quran, setiap ganti satu halaman makan kukirmkan 1 al fatihah untuk orang-orang terkasih. Halaman yang kubuka dan kubaca kuanggap sebagai ilham dari Allah terkait suami, anak-anakku dan orangtua kami. Saat giliran mengirim al fatihah untuk Abah, jatuhlah pada halaman surat Qaaf (50) : 3-4
ءَاِذَا مِتْنَا وَكُنَّا تُرَابًا ۚ ذٰلِكَ رَجْعٌۢ بَعِيْدٌ
Apakah setelah kami mati dan sudah menjadi tanah (akan dikembalikan)? Itu adalah pengembalian yang sangat jauh.”
قَدْ عَلِمْنَا مَا تَنْقُصُ الْاَرْضُ مِنْهُمْ ۚوَعِنْدَنَا كِتٰبٌ حَفِيْظٌ
Sungguh, Kami telah mengetahui apa yang dimakan bumi dari (tubuh) mereka karena pada Kami ada kitab (catatan) yang terpelihara baik
Deg!
Rasa jantungku tiba-tiba tergodam.
Rupanya, memang itulah isyarat yang Allah berikan bahwa usia Abah tak lama lagi.
إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّآ إِلَيْهِ رَٰجِعُونَ
“Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan hanya kepada-Nya kami akan kembali.”
Semoga, kami bisa meneladani beliau menjadi orang tua yang mampu menahan diri ketika berucap, memperbanyak tirakat ketika ingin mencapai sesuatu, melipatgandakan yang sunnah sebagai penguat sendi-sendi keluarga.
Love you, Abah.