Berapa lama sudah langkah kaki membersamai kebaikan?
Masih terasa baru saja hari kemarin kajian-kajian rutin di SMA saat aku cekikikan dengan teman-teman, mencuri pandang ke arah kakak Rohis cowok yang good looking. Pertanyaan-pertanyaan khas remaja pada umumnya.
“Apa?? Gak boleh pacaran?”
Alamak, kita hidup di abad ke berapa?
“Harus pakai jilbab?!?”
Huhu. Saat itu rok jins dengan kaos lengan pendek berkerah sedang tren, juga celana jins dengan hem yang lengannya digulung. Rambut berpotongan layer di samping ala Jennifer Aniston – Friend, potong pendek ala Demi Moore – Ghost, atau potong bob pendek se leher dengan ujung rambut menjuntai kanan kiri pipi.
“Musik gak boleh!!”
Ow, kemana harus kulempar the Final Countdown, Wild Frontier atau lagu-lagu romantic Richard Marx dan Tommy Page?
Saat itu nasyid belum se booming sekarang. Belum ada Maher Zein, Sami Yusuf, Opick, Izzatul Islam, dll. Jilbab juga masih sangat jarang dipakai, pilihannya pun sangat-sangat konvensional kalau nggak bisa dibilang –maaf, ndeso. Sekarang, setiap gadis muslimah bisa memilih pakaian sesuai kepribadiaannya : sporty, casual, elegan, feminine dsb. Mau tetap berjubah pun oke, mau pakai rok, tunik….asal syari.
Dari tasawwuf, garis keras hingga pengajian rutin
Pengajian yang rajin kuikuti selain Rohis di sekolah adalah tasawwuf. Saat remaja, kita ingin mencicipi segala macam sisi kehidupan. Kupikir, tasawwuf sangat menentramkan. Tapi yang kuikuti sangat jauh pemahamannya dengan rubric tasawwuf Republika yang diasuh Prof. Nazaruddin Umar. Disini akhirnya kufahami, ilmu dan agama bila beriringan mampu menciptakan pemahaman, amalan yang insyaAllah benar. Tasawwuf yang ditulis Prof. Nazaruddin Umar benar-benar membuat kita memahami bahwa salik, mursyid, peran Nabi dsb tidak membuat manusia menyepi.
Tasawwuf yang kuikuti dulu, membuatku mengasingkan diri. Benar-benar menyerahkan semua pada Allah SWT, termasuk urusan ibadah, akhlaq dll. Kalau dikehendaki Nya kita akan mudah sholat, akan mudah sedekah. Hidup tak perlu susah-susah amat, semua sudah diatur. Awalnya memang menentramkan, tapi kemudian banyak berbenturan ketika statusku mahasiswi. Aku hanya berdzikir, tidak pernah belajar, dengan alasan : semua kehendak Allah. Kalau baik, aku akan tetap di kampus. Sepanjang jalan, dimanapun aku berdzikir. Mungkin pemahamanku yang salah. Dzikir itu baik, tetapi seharusnya tidak meniadakan usaha manusia.
Perlahan, aku meninggalkan kajian tersebut.
Lalu aku beralih pada sebuah kelompok yang sangat hitam-putih.
Aku sempat mengikutinya beberapa kali, tetapi hatiku tercabik oleh orasi sang ustadz yang demikian keras. Hatiku patah, merasakan bahwa tak ada tempat bagi orang sepertiku yang masih begitu banyak dosa.
Satu yang membuatku bertanya-tanya saat itu adalah, ceramah sang ustadz mencaci maki seorang ulama Mesir. Aku sendiri belum kenal betul dengan ulama Mesir tersebut , tapi seingatku, ajaran agama yang paling asasi adalah : jangan meng ghibah. Apalagi mencaci maki orang dengan bahasa yang memerahkan telinga. Musa as, Harun as, tetap menggunakan kalimat baik sekalipun di depan Firaun. Dengan ulama lain yang mungkin berbeda madzhab, apakah diizinkan untuk menghina, menyumpah, mencerca, mencaci maki dengan kalimat tak pantas?
Pemuda, the agent of change
Apakah dunia kampus yang kondusif mengubahku menjadi pribadi Islami?
Oho, nggak secepat itu. Jubahku panjang, jilbab lebar, dzikir kemana-mana, menangis ketika sholat tapi aku masih bertanya : aku ingin ikut pengajian, tapi apa ini yang benar? Aku loncat kesana kemari, sampai-sampai sang ustadz yang membina mengatakan
“..Sinta nggak usah sama saya ya.”
Hehe. Kesal mungkin.
Bila mengingat beliau yang hari ini entah dimana, rasanya ingin sekali berterima kasih atas kesabaran ustadz dan istrinya yang membimbing di tengah kesederhanaan.
Saat itu usiaku belum 20 tahun. Tetapi suatu kesadaran mulai timbul, bahwa dimana-mana pemuda selalu menjadi agen perubah. Lihatlah kemerdekaan Indonesia. Bung Karno, Bung Hatta, Serikat Islam –HOS Cokroaminoto dll; semua memberikan kontribusi positif yang merubah nasib bangsa ketika mereka muda. Semangat, idealism, organisasi, segala lini ditempuh demi kemerdekaan. Lapangan Tiananmen digenangi darah pemuda ketika menuntut reformasi
Tahun 90an, Indonesia dalam kondisi yang rawan.
Saat kuliah, sempat beredar issue “mukena melayang”, kabar yang beredar seorang perempuan kaya mencari khadam jin ketika naik haji agar kekayaannya berlipat. Konon, ia meninggal di tanah suci tetapi perjanjiannya dengan alam ghaib telah terjalin sehingga khadam jin itu tetap ke Indonesia. Jadilah “mukena melayang” menghantui jalan-jalan. Para muslimah berjilbab tak berani keluar malam, padahal biasanya usai magrib atau usai isya masih rutin menyambangi adik-adik tingkat. Bukan karena kami takut “mukena melayang” tetapi khawatir bahwa beberapa wilayah orang bersikap brutal terhadap mereka yang dianggap wakil “pembuat makar”. Entah bagaimana ceritanya, mukena dan jilbab disamakan hingga kami berhati-hati bila keluar rumah.
Belum lagi issue “kolor ijo” , Ninja pembantai, atau pencuri berjilbab yang beredar di kampur-kampus (orang ini memakai jilbab tetapi aslinya hanya kedok agar bisa leluasa mencuri di masjid-masjid kampus)
Semangat mudaku dengan energy lebih dan pemahaman yang semakin syumuliyah –menyeluruh; membuatku faham bahwa Islam yang selama ini kufahami dan kulakukan masih setengah-setengah. Islam adalah dzikir, sekaligus prestasi. Islam adalah pakaian, sekaligus seni. Islam adalah Quran dan nasyid, film dan juga sastra. Islam adalah pendidikan juga ekonomi dan teknologi. Islam adalah keluarga, juga masyarakat.
Islam adalah segala.
Bila selama ini Islam serasa tak sesuai, mungkin ada yang salah.
Langkah salah
Pernah, sekali waktu, begitu bersemangatnya berdakwah (ilmuku yang masih sangat dangkal pula) aku memaksakan kehendak. Jilbab wajib, music tinggalkan! Semua haram, kalau tidak : neraka. Sembari mengutip ayat-ayat yang mendukung.
Akibatnya terlihat. Adik-adik muslimah mengenakan jilbab, tetapi satu demi satu , bertahun kemudian melepas jilbabnya. Aku lupa meletakkan pemahaman adalah langkah pertama. Mereka yang berubah demikian cepat dan radikal, dapat kembali ke asal demikian cepat pula.
Sekarang bila mendakwahkan masalah jilbab, maka yang pertama adalah mengutip ayat-ayat tentang jilbab seperti dalam An Nisa & Al Ahzab. Lalu menyampaikan bahwa jilbab adalah identitas, martabat dan satu paket kemusliman seseorang. Bila belum bisa berjilbab (takut, malas, dll), apakah harus dipaksa?
Dakwah adalah jalan panjang. Dengan sekali pengajian, mungkinkah bisa merubah hati seseorang?
Menurut Ibnu Sina, hati seseorang harus dilembutkan dulu sebelum siap menerima kebaikan. Untuk mengajak seseorang betul-betul menerima jilbab mungkin seseorang butuh paparan bukti jilbab dari kakak kelas : aktivis, akhlaq manis, prestasi akademis.
Latar belakang seseorang, sangat berpengaruh.
Mereka yang tumbuh dalam situasi hangat, mungkin akan siap menerima perubahan tanpa gejolak. Tetapi individu yang tumbuh dalam situasi sulit, akan resisten terhadap dunia luar, membenci pihak lain yang dianggap beruntung dan menentang apapun yang dianggapnya mengganggu. Mendakwahkan tentang jilbab misalnya, butuh jalan panjang.
Dititik ini, dakwah adalah seni untuk menyampaikan, bagaimana seseorang dapat
menerima keindahan Islam dan kelak menyadari, Islam tidak hanya indah dan berisi janji-janji surga ; Islam juga meminta tanggung jawab dan kontribusi, keterlibatan dan pengorbanan.
Patah hati dan kecewa
Percayalah.
Pernahkah kita selalu puas dan bahagia dalam hidup ini?
Setiap kejadian yang bertentangan dengan kehendak, tidak harus berujung pada rasa putus ada dan frustrasi, apalagi sampai kesimpulan fatalis.
“Alaaah, ustadz ternyata sama saja,” ketika kita melihat bertahun silam seorang ustadz kondang diberitakan menikah untuk yang kedua kali. Ia dihujat, terutama oleh kaum perempuan. (Kita lupa , setiap hari ada saja berita artis selingkuh, cerai, mengganggu hubungan orang lain)
Pernah kecewa, ketika seorang ustadz yang kemudian kaya karena jabatan, berubah akhlaqnya (kita lupa, ustadz macam itu hanya beberapa gelintir. Allah SWT masih menitipkan sekian banyak ustadz yang tak tersebut namanya oleh media massa, tetapi rela mengorbankan apapun demi dakwah Islam)
Pernah marah, ketika seorang ustadz berkedudukan tinggi, tak menyapa dan tersenyum padahal ia sangat mengenal kami (kita lupa, masih banyak ustadz; yang bahkan yang setingkat wakil gubernur pun main ke rumah, sederhana-hangat, menitipkan uang untuk anak-anak. Masih banyak ustadz yang rajin memberikan hadiah kepada tetangga dan teman-teman)
Ya.
Sayangnya kita fatalis. Bila menemukan kesalahan, maka beranggapan semuanya akan seperti itu.
Mengapa kita tidak seperti saat muda dulu, menjadi the agent of change?
Saat Indonesia dihantam badai korupsi dan pengkhianatan, kita yakin, kita adalah salah satu yang bisa menyelamatkan bangsa ini. Ketika perjalanan dakwah Islam tidak semulus yang dibayangkan, orang-orang yang berada dalam kapal besar inipun harus melampaui sekian banyak ujian : ujian individu, ujian keluarga, ujian harta jabatan, ujian persaudaraan dll. Bila para ustadz atau saudara kita terjebak kesalahan, semangat the agent of change itu janganlah meluntur : kita pergi saja, sudah tidak ada harapan. Bertahan, berbuat baik, kemungkinan ke depan kita lah yang akan menggantikan peran mereka.
Bila Indonesia dipenuhi korupsi, pulau-pulaunya tergadai dan terjual, tambangnya telah dibeli asing, apakah kita akan memutuskan pindah saja ke Singapura atau Australia? Rasanya tidak. Kita memilih mendidik anak-anak dan mengatakan : ini Negara kita, milik kita, suatu saat harus kalian kelola kembali apa yang menjadi milik bangsa dan rakyat Indonesia.
Bila, kita ternyata tak memiliki ambisi kebaikan, tak memiliki semangat perubahan, lebih nyaman tidak terlibat dakwah (yang memang penuh resiko dan perjuangan lahir batin).
Masih ingat teori Evolusi Darwin , Survival of the Fittest yang sebelumnya dikemukakan Herbert Spencer? Frase “survival of the fittest” atau “natural selection” telah mengalami banyak penyimpangan dibandingkan makna aslinya tetapi seringkali frasa tersebut digunakan dalam situasi-situasi pertarungan & pertempuran (ekonomi, politik, kondisi alam dsb)
“Dalam pertarungan hidup yang abadi, hanya varietas/ras yang memiliki keuntungan dalam struktur, konstitusi, naluri yang akan bertahan. Natural selection (seleksi alam) memiliki ide yang sama dengan survival of the fittest.”
Survival of the fittest memiliki makna : mereka yang bertahan adalah yang layak, pantas, tepat dan siap. Bukan yang paling besar atau paling kuat, tetapi yang paling adaptif.
Tampaknya, pendapat Spencer dan Darwin ada benarnya dalam ranah dakwah.
Inspiratif !
Berdakwah memang sebaiknya perlu disertai dengan kelenturan sikap, people skill yg baik.
Dakwah memang butuh softskill yang harus terus diasah ya Pak. Keep movin’!
Sepertinya soft skill ini kelemahan banyak pendakwah kita mbak sehingga banyak orang yang terhalang untuk mendapat hidayahNya
Di Indonesia pada umumnya, softskill memang masih terpisah dari dunia pendidikan ya, sehingga berimbas pada banyak hal
Menggugah! Kembali setiap jejak kenang terungkap :’)
Reblogged this on Elam Sanurihim Ayatuna and commented:
Begitulah memori dakwah, sesakit apapun, selalu manis untuk dikenang… :’)
Memori Dakwah…waaah, bisa jadi buku yang bagus tuh. Seru!
Steven Covey mengajukan konsep “Emotional Bank Account” yang kiranya sejalan dengan konsep “Melembutkan Hati” yang digagas Ibnu Sina tersebut. Suatu sinergi yang indah saat seseorang melakukan penyetoran ke rekening bank emosi orang lain sambil melakukan berbagai macam kebaikan semaksimal mungkin sesuai syariat 🙂
Mestinya, ketika melakukan kebaikan, pasti ada ujiannya ya, mas Nahar. Tapi insyaAllah dibalasNya koq
Benar kata Pak Iwan… Inspiratif…!
Super sekali bu Sinta…