Pernahkah anda melakukan perjalanan da’wah dengan nikmat, santai, menyenangkan, terpenuhi segala fasilitas?
Suatu saat memang Allah SWT akan memberikan kemudahan, tetapi sebagaimana tabiat da’wah yang selalu dinaungi oleh kesulitan dan sedikitnya rijaaluda’wah (pejuang da’wah), begitupun da’wah kepenulisan di FLP.
Saya dan Vidi berangkat dengan travel dari Surabaya jam 15.00 kurang lebih. Dalam bayangan saya, travel adalah angkutan yang mengantar dan menjemput hingga sampai tempat tujuan dengan nyaman dan aman. Tapi travel yang ke Sumenep, Madura ini sangat special. Bukan L 300 atau avanza; tetapi sebuah colt biru tua tanpa AC. Dan…kami berkumpul bersama tabung-tabung besar minuman bersoda dan barang-barang lain. Tak apa, yang penting travel, jadi pasti sampai di tempat InsyaAllah.
Lalu kami mulai menjemput penumpang lain dalam kondisi Surabaya yang masyaAllah….panase puoll.
Lalu lewatlah kami jembatan Suramadu yang terkenal itu, salah satu kebanggan anak bangsa. dari sini kami bisa menikmati keindahan Selat selain pantai Kenjeran yang konon kabarnya bukan pantai tapi hutan bakau sehingga dipenuhi lumpur. Hm, ternyata laut biru, langit luas, titik segitiga kecil layar-layar kapal, jaring-jaring jembatan, adalah pemandangan yang indah dinikmati di kala senja. Dan sampailah kami di Bangkalan menjelang maghrib, disambut tanah merah : warna tanah khas Madura yang konon gersang adanya.
Bangkalan , Sampang, Pamekasan dan sampailah nanti ke wilayah Sumenep.
Hanya dipisahkan selat, hanya dipisahkan oleh jembatan Suramadu; Surabaya dan Madura sangat jauh perbandingannya. Jika sepanjang Kenjerean, Kedinding hingga Suramadu (dari arah Surabaya) pohon lampu menyala begitu banyaknya; tak demikian halnya di Madura. Demikian bersahaja wilayah ini; kita akan menemukan banyak orang lalu lalang dengan menggunakan sarung dan kopiah sekalipun naik sepeda motor. Pesantren juga tersebar kemana-mana. Kesedehanaan dan kesunyian yang jauh dari hiruk pikuk mengingatkan saya pada kota nun jauh di Jawa Tengah : Tegal, kota asal suami. rasanya, Tegal saja masih jauh lebih ramai.
Kami tiba di Sumenep jam 20.00 an; Subhanallah, disambut oleh keluarga mbak Ani yang berada di wilayah Kebonagung dengan hangat. Makan malam lengkap disiapkan. Beginikah kehidupan yang jauh dari situasi metropolis? Hangat, akrab, tulus?
Kami tidur nyenyak dan esok pagi, jalan-kalan ke Asta Tinggi, kompleks pemakaman para raja di Sumenep. Foto-fotonya saya lampirkan disini.
Adik2 FLP Sumenep pun luarbiasa bersemangat.
Rata-rata mereka bertanya bagaimana cara menulis dan mencari referensi , mengingat mereka tinggal di daerah yang tak memiliki akses lengkap. Bahkan di pesantren terkadang tak diperbolehkan internet, televisi koran masuk. Saya memahami, mungkin sang kiai berusaha melindungi para santri dari pengaruh buruk dunia luar. Sekalipun bagi mereka yang sangat haus pengetahuan kondisi ini mungkin membuat sedih. Bagaimanapun, tinggal di pesantren adalah sebuah kebahagiaan dan perjuangan tersendiri.
enak bunda ya….
bisa da’wah kemana – mana.
rasanya gmn??
bisa berjihad di jln fisabilillah
ASSLMUALAIKM……FLP SUMENEP SUDAH ADA BLOG KHUSUSNYA BLUM???
wah.. saya pengen gabung blog FLP sumenep.. ada blognya tadi saya cari, tapi kok gak update?
Kalau mau bergabung di FLP Sumenep bisa kontak kak Urnoto 0877 50462812 atau mbak Ais 0878 50207415