Awal si sulung kuliah di kota lain, rasanyaaaa!
Anak cewek, belum terlalu mandiri, punya sakit maag. Melihat kos-kosannya yang minim fasilitas, mau nangis aja rasanya. Saya dulu pernah kos di Jakarta, pergi sendiri bareng teman-teman. Mengalami pahit getir jauh dari orangtua. Pernah nangis juga karena sakit, nggak punya uang, berentem sama teman…hehehe, romansa anak kos-lah. Tapi ketika yang mengalami anak sendiri, kok beda rasanya.
Kos anakku lumayan murah. Aksesnya juga mudah.
Tapi belum ada kasur (ya iyalah). Kulkas, kompor gas, mesin cuci, dispenser; gak tersedia. Aku bayangkan anakku sakit maag yang butuh minuman hangat; pasti sulit sekali buat dia untuk sekedar buat teh panas. Dia cewek tangguh, tapi sekalinya sakit karena datang bulan atau demam flu, bisa buat kelabakan ayah ibunya.
Yah, gimana lagi?
Dia pingin sekali kuliah di bidang sosial. Waktu mau masuk Geografi, ayahnya bilang : Jangan! Musliimah gak cocok disana. Kerja lapangannya di gua-gua berair. Gimana nanti pakai jilbab dan menelusuri daerah seperti itu? Bla-bla-bla. Okelah. Aku manut. Kukatakan pada putriku, jangan masuk kuliah yang kerja lapangannya dan kerja betulannya kelak; berbahaya bagi fisiknya. Maka ia memilih psikologi dan diterima di UGM. Alhamdulillah…kami bersyukur sebab ia diterima di fakultas yang diinginkannya.
Ayah yang belum bisa melepas anak lelakinya foto 1, foto 2
Maunya, Full Fasilitas!
Si bungsu Nis, saat kecil ruarrrr biasa lincah.
Hoby nyanyi, gambar, naik-naik pohon. Pindah ke Surabaya, mengalami gegar budaya dan gegar sekolah. Mau sih masuk sekolah, tapi sakarepe dhewe. Awal aku meninggalkan dia sekolah di TK, rasanya sedih dan gimanaaa gitu. Dia dibiarkan main sendiri di luar, main pasir sendiri dan naik-naik apapun yang dia suka. Sementara teman-temannya main di sentra keilmuan dan berbaris rapi. Sempat berpikir, mengapa bu guru nggak peduli sama Nis?
Tapi setelah kukonsultasikan, Nis memang sengaja dibiarkan pagi hari menghabiskan energi di luar agar ketika masuk kelas sudah dengan kapastias energi yang tidak overloaded lagi. Ah, si kecil yang masih kutimang-timang, kugendong, kuciumi; sekarang sudah harus masuk sekolah dan menghadapi guru-guru serta teman-teman yang mungkin sebagian menjadi sahabatnya. Sebagian menjadi rivalnya. Sebagian menjadi musuhnya.
Hari-hari pertama anakku sekolah di sekolah negeri….rasanyaaaa!
Aku khwatir ia terjebak narkoba, pornografi, pergaulan bebas, tawuran, bolos, keluyurankemana-mana. Maklum, bertahuan-tahun sekolah Islam yang lumayan ketat pengawasannya dengan kurikulum agama terpadu sejak pagi hingga pulang . Nanti gimana kalau tiba-tiba aku diberi laporan yang tidak-tidak terkait anakku? Bagaimana bila ia nggak bisa menolak ajakan buruk temannya? Bagaimana kalau ia difitnah, diperangkap , dikucilkan dan lain-lain?
Ahya.
Inilah realita dunia yang cepat atau lambat harus dihadapi anak-anak.
Dunia bukan hanya lapangan seluas rumah kita, dengan perlindungan dan kasih sayang di setiap ujungnya. Ada penghangat, ada pendingin, ada tempat bertelekan empuk dan segala fasilitas yang mudah diminta. Mereka harus tahu bahwa dunia sesekali keras, kejam, diluar batas, dan mengejutkan.
Si sulung mulai terbiasa minim fasilitas, mengatur keuangan dan mengatur pola kehidupannya. Sekali ia pernah masuk rumah sakit karena demam berdarah dan harus mondok di RS PKU di daerah Gamping Sleman. Ia juga bilang kadang-kadang kalau uang menipis, harus berhemat uang.
“Untung Yogya murah-murah, Mi. Nyari warung yang makannya 4000 rupiah masih ada. Nyari laundry yang baru sebulan kemudian diambil dan dibayar, ada. Nyari burjo, yang jual kacang ijo dan mie rebus dengan harga murah, ada. Sampai nyari fotokopi dan internet buat ngeprint murah meriah ada.”
Termasuk nyari wifi ngratis. Dimana mahasiswa cuma beli es teh tapi ngendon jam-jaman buat download jurnal serta you tube-an. Hahahah.
Anakku yang sekolah di negeri juga mulai terbiasa. Ada banyak kisah mengharukan, menggemaskan, dan membuat rasa campur aduk.
Ghasab salah satunya.
“Ummi kan tahu,” kenang si sulung. “Waktu di sekolah dulu, kita diajarkan untuk izin pada orang lain kalau mau pinjam barang. Kalau nggak ghasab namanya. Nah, aku pernah bilang ke guru kalau pensil sama penggarisku hilang, seringkali diambil teman tanpa izin. Ketika kau lapor malah ditegur – kamu kok pelit banget?”
Hah?
Ketika anak kita belajar di sekolah Islam, iman dan akhlaq menjadi tolok ukur utama : sholat, meminta izin, hormat pada guru, tidak mengambil barang orang lain. Di sekolah negeri yang basis keIslamannya tak terlalu kuat; hal-hal tersebut seringkali diabaikan.
Pernah, anakku mengingatkan temannya untuk sholat Jumat karena di sekolah Islam, saling mengiangatkan adalah hal biasa. Juga teman-teman bersikap positif ketika diingatkan. Maklum, sudah menjadi kebiasaan sekolah Islam untuk watawa shoubil haq, watawa shoubis shabr.
“Cerewet kamu! Banyak bacot!”
Tapi itu yang diterima anakku, dari teman-temannya.
Melihat itu, anak-anakku mulai belajar. Bahwa berada di likungkungan Islami dan sekolah negeri, ada gaya pendekatan berbeda ketika menyampaikan pesan.
1001 strategi orangtua
Berpisah dari orangtua pasti banyak pengalaman baru. Banyak masalah unik yang muncul, yang tadinya tidak terpikirkan. Orangtua pasti harus berpikir keras untuk menyelesaikan masalah yang ada, tanpa menimbulkan masalah baru.
- Kesehatan. Masing-masing anak kita punya identitas kesehatan berbeda. Ketika si sulung yang punya maag berpisah dari kami, aku belikan termos kecil yang bisa dibawanya kemana-mana dan dapat diisi air panas. Sewaktu-waktu maagnya kumat, ia bisa meneguk air hangat. Awal –awal kuliah; aku mengirimkan makanan kering sebagai stok seperti susu, milo, coklat, energen dan sejenisnya termasuk kue-kue kecil. Ketika ia sudah mulai mengenal lingkungan sekitar; ia bisa menyiapkan makanan sendiri.
- Relasi dengan orang di sekeliling anak. Guru-guru, teman-teman sekolah, orangtua teman, teman satu kos; haruslah dikenali orangtua. Walaupun tidak dapat menjalin relasi akrab dengan semua pihak; setidaknya jalin hubungan dekat dengan beberapa orang. Aku punya nomer kontak guru sekolah dan teman kos anakku.
Kadang ketika tidak bisa dihubungi aku bertanya :
“Ustadzah, anak saya dimana ya?”
“Mbak Shalihah, si sulung kok nggak bisa dihubungi dari kemarin ya?”
Dengan punya kontak mereka, kita dapat segera mengevaluasi bila sewaktu-waktu terjadi hal-hal diluar kendali. Sakit misalnya.
- Selain telepon seluler, telepon rumah, media sosial dapat menjadi sarana komunikasi. Instagram, line, whatsapp, facebook dapat menjadi sarana orangtua melacak jejak anaknya.
Aku pernah curiga dengan anak cowokku : kemana dia? Benarkah dia kuliah?
Maka aku cek instagramnya dan alhamdulillah…ia tengah mengerjakan tugas bersama teman-temannya. Sedang cek lokasi lapangan.
Saling berteman dengan anak kita di facebook, line dan instagram bisa jadi sarana positif dan negatif. Hahaha
Anakkua pernah ngeshare sebuah meme :
“Akhir dunia! Ibuku punya instagram!”
Aku tertawa, “jadi kamu ngerasa Ummi mata-matai ya lewat instagram?”
Anakku cuma meringis. Mungkin ia merasa dimata-matai tapi bukan itu saja perilaku yang kutunjukkan sebagai ibu yang memang melakukan pengawasan pada anak. Anakku suka menggambar, memposting gambar, membuat grafis berdasar wajah teman-temannya.
“Wah, pas ultah temanmu kamu buat grafis gambarnya sebagia hadiah ultang tahun ya? Ummi dibuatkan yang kayak gitu, dong.”
Media sosial bisa menjadi sarana kedekatan kita dengan anak-anak.
- Teman satu kos. Kakak tingkat, teman satu angkatan, teman satu daerah adalah orang-orang penting di sekeliling anak kita. Sebagai orangtua , menyimpan nomer HP mereka sangat penting untuk sarana berdiskusi berbagai masalah yang mungkin timbul. Tidak mustahil, anak kita yang masih dalam proses adaptasi dengan lingkungan sekitar justru menjadi trouble maker atau pemicu masalah. Dengan mendekati pihak-pihak yang dekat dengan anak-anak dan menjelaskan duduk persoalan; orangtua dapat membantu . Tentu bukan mengambil alih tanggung jawab ya.
Misal, si sulung suka sekali berkunjung ke rumah neneknya yang juga ada di Yogya. Kalau lagi betah di rumah neneknya, ia bisa berhari-hari disana dan tidak kembali ke tempat kos. Tentu teman-temannya panik. Apalagi si sulung ini orang yang malas mengontak terlebih dahulu. Maka, aku jelaskan pada kakak pengampu kos bahwa ia ada di rumah neneknya dan pintu rumah kontrakan bisa dikunci ketika jam malam tiba.
Sembari tentu mengingatkan si sulung : “kamu itu mbok ya jangan malas mengontak orang. Ingat, keselamatan kita bisa tertolong karena dikenali orang. Pernah kan Ummi cerita, ada anak kecelakaan dan kebetulan tetangga kita lewat? Langung aja tetangga kita mengenali dan membawanya ke rumah sakit. Kalau bukan tetangga kita yang mengenalinya mungkin sudah fatal akibatnya karena orang sekarang biasanya gak berani ambil resiko; malah takut jadi tertuduh. Dengan kamu ngasih tahu orang-orang terdekat; kalau ada apa-apa (naudzubillah…bukan berharap hal buruk) misal kecopetan atau diserempet orang; teman-teman terdekat bisa tahu”.
Perhatikan latar belakang budaya dan keluarga dari teman satu kos anak kita.
Mungkin, anak kita akan berbenturan dengan satu dua orang; dengan penjelasan yang masuk akal insyaallah anak akan mencoba berbesar hati dan mengalah ketika terjadi friksi.
- Rumahsakit, BPJS, asuransi kesehatan. Ini pengalaman genting yang kubagikan agar orangtua segera tanggap ketika anak mereka sakit.
Aku dikabari oleh kakak kelas si sulung , teman satu kosnya : “Ummi, Arina demam tinggi”. Awalnya kupikir flu biasa tapi setelah diberi parasetamol dan nggak sembuh-sembuh, aku mulai curiga. Langsung kubeli tiket kereata dan berangkat ke Yogya. Disana, anakku sudah terkapar lemas sekali. Aku periksakan darahnya, aku periksakan ke dokter sepsialis; beberapa dokter sepsialis bilang gak ada yang membahayakan. Paling hanya infeksi. Tapi antibiotik dan obat penurun panas sudah gak mempan. Demam anakku tinggi sekali, ditambah ia sangat lemas dan tak doyan makan apapun. Sesaat sebelum kubawa ke Surabaya untuk penangan intensif, sekali lagi aku cek laborat. Hasilnya : positif DB dan haurs segera rawat inap
Saat itu bulan Ramadhan dan sekalipun aku orang Yogya, aku sudah lama tidak tinggal di Yogya. Aku tanya kesana kemari tentang rumah sakit Islam, gak dapat-dapat. Akhirnya aku dapat di RS PKU gamping. Karena trombosit anakku saat itu masih di atas 100, maka anakku gak boleh pakai BPJS. Akhirnya, ia rawat inap lewat jalur umum.
Aku salut ketika di rumah sakit di Yogya, banyak bertemu anak-anak muda yang tengah mengantarkan temannya untuk rawat jalan atau rawat inap, berbekal BPJS. Anak-anak mahasiswa perantauan, ternyata saling bahu membahu ketika teman mereka sakit. Mereka antarkan ke rumah sakit, asalkan ada BPJS atau asuransi sehingga si teman pun tak kelabakan ketika ditanya pihak rumah sakit.
Wah Mbak Sinta, saya jadi dapat insight baru tentang sudut pandangan orang tua. Ternyata memang seperti itu ya kekhawatiran orang tua.
Semoga Inayah sehat selalu ya Mbak di Jogja. Jadi kangen ke Jogja lagi nih main2 sama FLP Jogja 🙂
Lho…sekarang mbak Fitri ada dimana?
Amiiiin….. 🙂