Waktu di rumah saja, membuatku sempat untuk menata barang-barang yang selama ini hanya ditumpuk begitu saja di dalam kardus. Aku menemukan baju anak-anak ketika mereka masih begitu kecil : rok ukuran sekitar 30 cm, saat putriku baru bisa merangkak. Kaos bergambar Power Ranger, Ben Ten, Naruto, dll. Ada baju TK, baju SD, baju SMP. Kaos dan celana mungil yang membuatku terpana dan tertawa, betapa cepatnya waktu berlalu. Anak-anakku yang sekarang sudah jauh lebih besar tubuhnya dariku dulu pernah begitu kecil dan rapuh. Terbayang saat mereka menggelendot di kaki dan menangis saat butuh dukungan.

Kuperlihatkan sebuah baju seragam, dengan tulisan nama anakku di dada.
“Nak, ini kamu waktu SD dulu. Memori apa yang masih membekas?”

Aku bahagia membongkar kenangan masa lalu anak-anakku. Aku gembira, bercampur aduk rasa haru dan sukacita. Tapi tidak demikian dengan anakku. Wajahnya sendu.
“Terus terang, aku nggak punya kenangan manis,” ungkapnya.
Terkejut. Itu reaksiku. Sebab kupilihkan sekolah terbaik bagi anak-anakku.

“Tapi…guru-gurumu begitu baik. Apa kamu nggak bisa menyebutkan salah satu guru yang membuatmu terkesan?”
“Kalau itu ada,” ia mengaku. Ia sebutkan nama beberapa guru yang kutahu, memang demikian telaten menghadapi murid-murid, terutama anakku.

“Teman-temanmu?” aku memancing.
Ia menggeleng dan kembali mengulang ucapannya bahwa tak ada teman yang mengesankan. Ya, mungkin sudah pernah kubahas bahwa beberapa anakku pernah mengalami kasus bullying sementara aku sebagai orangtua terlambat mengetahui. Namun, setelah tahun-tahun berlalu, apakah luka itu masih menganga? Ternyata memang masih meninggalkan bekas. Utamanya saat ada barang atau kejadian yang mengingatkan pada kasus masa lampau. Misal saat aku beberes seperti ini.

Aku meletakkan pekerjaanku.
Berusaha untuk menyelami jiwa anakku yang sekarang tenggelam dalam ingatan masa kecilnya , yang menurutnya pahit untuk dikenang.
“Nak, kamu masih dendam pada temanmu?”
“Aku sudah pernah membalas dendam pada temanku,” ia mengaku.
Aku menahan nafas. Membayangkan ia mengamuk dan memukul temannya.

“Tapi ternyata membalas dendam tidak menyelesaikan masalah,” ia menyimpulkan.
“Jadi kamu masih dendam?”
“Kan aku sudah bilang, balas dendam gak membuatku puas,” ia terlihat jengkel.
“Terus gimana kamu memaafkan temanmu?”
“Aku berusaha melupakannya. Aku nggak mau mengingat-ingat lagi.”

💔💔Aku dan anakku berusaha untuk menjembatani masa lalu itu meski ada luka, perih, kemarahan, kekecewaan, kebencian. Ada perkataannya yang mengejutkan ketika aku melemparkan pertanyaan.
“Bagian mana dari masa kecilmu yang paling menyedihkan?”
Aku berpikir dia akan mengungkapkan kasus pembully-an, atau mungkin ketika guru-gurunya tidak menyadari telah terjadi kasus perundungan. Maklum, anakku ini termasuk berinteligensi tinggi dan memiliki nilai jauh di atas rata-rata terutama untuk mata pelajaran sulit.

“Dulu, aku sekolah sampai sore. Aku nggak punya waktu banyak dengan Abah Ummi.”
Kadang, kita merasa ketika anak sekolah sampai sore, sebagian besar kewajiban orangtua telah terpenuhi. Apalagi di rumah, orangtua akan kembali mengingatkan apa saja tugas di rumah seperti mata pelajaran yang harus diulang serta pelajaran untuk esok hari. Orangtua lupa, semakin sedikit waktu untuk bermain bersama anak-anak.
“Nak, kamu kan pinter. Kamu sering dibanggakan guru. Kamu sering ikut olimpiade. Apakah ini nggak meninggalkan kenangan manis bagimu?”

Dia terdiam.
💯🅰️“Ummi, nilai akademis itu tidak bisa dibandingkan dengan interaksi antar manusia,” sahutnya bijak.
Meski juara, meski dapat nilai 100, meski paling menonjol; namun jika tidak ada interaksi manis dengan orangtua, guru, antar teman – semua itu tidak akan menjadi jejak mengesankan dalam ingatan. Demikianlah kira-kira.

✍️Aku belajar banyak dari anakku hari itu.
Selalu saja, aku belajar banyak dari mereka.
Kadang, sebagai orangtua merasa kalau anak cerdas dan pintar pasti mampu mengatasi setiap permasalahan. Bahkan ketika dibully pun akan bisa mengatasi masalah, karena dengan kecerdasan ada self esteem yang tetap kuat dimiliki. Ada self respect lantaran berprestasi. Meski dikucilkan masih bisa bilang: “ah, aku kan punya kelebihan kepintaran dibanding teman-temanku.”

Nyatanya tidak demikian.
Beberapa hal yang kusimpulkan :
♥ Saat anak jarang di rumah karena sekolah sepanjang hari, kita berarti kehilangan masa-masa manis bersama mereka. Dan entah bagiamana caranya, waktu emas itu harus ditebus. Lockdown seperti ini salah satunya
♥ Jangan anggap anak pintar mampu mengatasi semua. Seringkali, anak pintar mengalami kesulitan bersosialisasi dan kita harus mendampingi mereka agar mendapatkan teman yang sesuai

Semoga kamu semakin dewasa dan bijak dengan segala bekal perjalanan kehidupan yang serba pahit manis ya, Nak ♥

#GoodwillMovement
#lawancoronavirus
#lawancovid19
#family #keluarga
#parenting #orangtua
#dirumahsaja

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *