Apa yang terbayang dalam benak anda ketika mendengar kata Psikologi? Orang gila, tes IQ, Psikoanalisa Freud yang nyeleneh, atau apa?

Awalnya, ketika ingin kuliah lagi di sastra, Suami tidak membolehkan. “Ngapain, Mi? Kalau Psikologi kan bagus buat ilmu mendidik anak-anak.”

Begitulah, setengah terpaksa saya duduk di sana, belajar tentang sejarah Psikologi dan ‘nenek moyang’ Psikologi : Filsafat ( Filsafat Umum, Filsafat Manusia, Filsafat Ilmu & Logika).

Semester I dan II, masih belum tahu mau kemana sekalipun IP Alhamdulillah, 4. Semester III dan IV terus berjalan. Lama-lama semakin penasaran, pun saya tak hanya menelan apa yang diberikan dosen. Literatur lain dari para ulama muslim, kliping koran, jurnal-jurnal psikologi saya coba fahami dan telaah. Belajar, belajar dan terus mencoba mengkaji.

Di semester V inilah sedikit demi sedikit aplikasi Psikologi mulai dipelajari setelah 2 tahun sebelumnya lebih banyak teori-teori yang terkadang terus terang : memusingkan. Sungguh patut direnungkan. Jika asal kata Psikologi adalah Psyche & Logos yang berarti ”Jiwa ” & ”Ilmu”, secara luwes dikatakan sebagai Ilmu Jiwa; mengapa bukan dunia Timur yang kental dengan nilai-nilai spiritual memimpin ilmu ini? Mengapa justru Indonesia banyak menyerap Behavioristik –Amerika? Coba kita simak sejarah yang mencengangkan . Jauh, jauh, jauh sebelum Wilhem Wundt mendirikan Laboratorium Psikologi I 1879 di Leipzig, Jerman; maka ratusan tahun sebelumnya, Turki di masa Dinasti Utsmaniyah (Ottoman) telah memiliki rumah sakit jiwa yang membagi pasien menjadi dua golongan besar : Tibb al Aql dan Tibb Al Qalb!

Imam Ali ra, Ibnu Sina, Ibnu Misykawaih, Al Ghazali dan masih banyak lagi ulama telah meletakkan dasar-dasar ilmu psikologi yang jauh lebih menyembuhkan dibanding terapi Psikoanalisa-Behavioristik-Humanistik yang terkadang masih terdapat lubang di sana sini. Pertanyaannya : mengapa justru terapi Psikologi mengandalkan jurus-jurus Eropa/Barat yang seringkali menafikkan hubungan transendental ? Kembali pada sejarah, setelah terkubur selama ratusan tahun akibat banyak hal, dunia barat memang memimpin mulai abad 18 hingga sekarang. Mereka serius meneliti, sabar menghabiskan waktu puluhan tahun menekuni bidang garap hingga menghasilkan teori yang dapat dipertanggungjawabkan.

Jika anda ingin tahu bagaimana perkembangan anak-anak, nama Piaget dengan tahap-tahap pra operasional-operasional-psikomotorik-abstrak adalah tahapan yang sangat dikenal luas. Berapa lama Piaget meneliti? Lebh dar 20 tahun, bahkan ia mengamati sendiri anak-anaknya tumbuh berkembang. Bagaimana cara Sigmund Freud menghasilkan teori Psikoanalisa yang terkenal? Ia mengamati secara detil seorang pasien wanita yang mengalami histeria, mencatatnya secara teliti dan jadilah – id, ego, superego. Sigmund Freud punya murid-murid yang terus mengembangkan penelitiannya, baik yang pro maupun kontra.

Erikson, memiliki masa lalu traumatis. Dengan bekal inilah ia mengadakan penelitian yang luarbiasa hingga menghasilkan 8 tahap perkembangan manusia yang saling berlawanan seperti basic trust X basic mistrust; autonomy X shame & doubt; initiative X guilt; industry X inferiority ; identity X role identity; intimacy X isolation; generativity X stagnation; ego integrity X despair.

Tidak cukup hanya disitu; para pakar yang beranggapan bahwa manusia adalah makhluk bermoral mengembangkan psikologi yang menilai manusia berdasar perkembangan moralitas seperti Kohlberg dan Robert Selman. Dasar Psikoterapi Pada akhirnya, penelitian para psikolog yang membagi manusia berdasar struktur kepribadian menjadi dasar-dasar psikoterapi. Sekalipun Freud banyak ditentang; masih banyak terapis menggunakan Psikoanalitis sebagai cara terapi selain Humanistik, Behavioristik dan Kognitif.

Bagaimana anda menangani seorang anak SD kelas 5 yang masih mengompol? Psikoterapi memiliki jawaban berdasar madzhab. Psikoanalisa akan mencari jauh ke dasar , apa penyebab ngompol (mungkin punya adik baru, mungkin punya masalah di sekolah, mungkin ayahnya pindah tugas ke luar kota). Behavioristik akan mencari frekuensi perilaku (berapa kali ngompol? Apa ibunya punya pola asuh yg tepat misal mengajaknya pipis dulu sebelum tidur?) Humanistik mengajak si anak memahami kemampuannya mengatasi masalah ( anak pasti mampu tidak ngompol, bila diberi tanggung jawab) Kognitif membangun pemikiran yang benar pada anak ( ajak ia memahami bahwa ngompolnya akan merugikan banyak pihak).

Begitulah. Dari Filsafat yang memunculkan kegelisahan pada Plato dan Aristoteles (keduanya menelorkan faham psikologi Belajar); beranak pinak menjadi hiptesa-teori- pendekatan-pendekatan terapi. Hasilnya? Memang, sebagian besar mereka yang sakit jiwanya dapat diterapi dengan pendekatan-pendekatan ilmu yang telah ratusan tahun menjadi milik Jerman , Amerika dan negara-negara barat.

Islamic Psychoterapy – Al Ilaj An Nafs

Kalau begitu, dimana letak Psikologi Islam jika Psikoanalisa-Behavioristik-Humanis telah mampu menjawab? Ilmu Pengetahuan terus berkembang, manusia terus mencari, manusia ingin terpuaskan tuntutan dan dorongannya. 3 madzhab semula cukup. Okelah. Lalu bagaimana anda menjelaskan beberapa kasus ini :

• ibu dan anak yang terpisah jarak tapi masih dapat saling merasakan keadaan si anak (misal sakit) • kondisi schizofren, histeria, depresi parah yang tak dapat diterapi secara biasa • kondisi sosial yang semakin tak tertanggungkan ( kriminalitas, prostitusi, korupsi dsb) • anak-anak & remaja yang tampaknya sehat walafiat tetapi ternyata tak memiliki budaya ketimuran yang santun – hormat orangtua- sayang sesama- tepo seliro? • bagaimana mengatasi keluarga yang dalam kondisi zero : bapak ibu berantakan, selingkuh, penuh kekerasan dengan anak-anak yang brutal, rusak akhlaknya dan tak memiliki sama sekali keinginan untuk hidup sesuai standar normal masyarakat pada umumnya?

 Madzhab IV Psikologi

 Beberapa pakar mulai beralih ke dunia timur yang tampak lebih menjanjikan bagi ilmu jiwa : ketentraman, kedamaian, pencapaian luhur manusia. Buku spiritual Ajahn Brahm dan Handaka Vijjananda diserbu sebagai suntikan rasa haus mereka yang membutuhkan pencerahan. Para psikolog Islam tampaknya harus meniru ketekunan para ulama dahulu seperti Imam Ghazali yang menulis 50 lembar perhari – tanpa laptop, tanpa listrik, tanpa email.

Coba simak tahapan perkembangan yang diteliti oleh para ulama Islam dibawah ini.

Ibnu Sina (980-1037) membagi masa manusia menjadi : • bayi – 2 tahun • masa kanak-kanak • masa 14 tahun ke atas. Anak-anak usia 6-14 tahun harus mempelajari Quran, budaya Islam, tokoh pemimpin, kaligrafi, seni, sastra. Seni akan melembutkan hati manusia untuk lebih mudah meneyrap kebenaran (tak heran, para ulama dan cerdik pandai zaman dahulu banyak yang sastrawan)

Ibnu Khaldun (1332 – 1406) membagi pengetahuan menjadi pengetahuan tradisional dan pengetahuan rasional. Bayi seumpama bahan mentah yang harus diisi barang berguna.

Imam Ghazali (1058 – 1111) membagi masa manusia menjadi tiga : • usia remaja – tertarik pada lawan jenis • usia 20 tahun – rindu menjadi pemimpin • usia 40 tahun – rindu kesenangan, kedekatan , pengetahuan akan Tuhannya.

Bahan Penelitian

Ivan Pavlov menggunakan anjing, yang menghantarkan Classical Conditioning sebagai peraih nobel. Watson, Skinner, dan beebrapa peniliti menggunakan tikus, kucing, merpati, simpanse dengan alasan masing-masing. Penelitian ini dikritik sebab dianggap tidak menghormati hak-hak binatang (beberapa tikus dibedah otaknya) tetapi juga dianggap melecehkan karena menyamakan manusia dengan binatang.

Terlepas dari pro dan kontra, prosedur penelitian ilmiah tampaknya menjadi standar operasi keilmuan termasuk psikologi. Sesuatu yang bisa dirunut secara jelas baik kronologis hipotesa hingga fakta dan penarikan kesimpulan dapat mejadi teori kemudian. Bagaimana dengan kita? Ujicoba pada diri atau lingkungan sekitar Mengerikan? Tampaknya demikian. Kita tentu tidak berani mengambil sample binatang. Eksperimen dengan manusia pun ada batasannya. Lalu bagaimana membuktikan sesuatu benar atau salah?

Pengalaman saya di bawah ini mungkin bisa dipertimbangkan. Dari 4 anak saya, 2 laki-laki. Ayyasy dan Ahmad punya dua gaya dalam mentaati perintah sang ibu, yaitu saya. Adzan, ke masjid, itu salah satu pokok ajaran. Ahmad sang adik, akan segera berwudhu bergegas ke masjid, bahkan dalam kondisi demam panas iapun ke masjid. Hanya jiak sangat lelah ia tak pergi. Hati ibu mana yang tidak bangga? Ayyasy, sang kakak adalah tipe penggoda. Suka menggoda kakak, adik, bahkan umminya. Jika di suruh ke masjid (terutama isya’) ia justru menggelosor sembari bilang, ” Bismika Allahumma ahya…” yang berarti malah mau tidur! Sabar? Tentu iya.

Tapi, masak terus-terusan sabar? Apa nggak sekali-sekali Ayaysy perlu dimarahi? Dan lazimnya perempuan, saya mengomel sering sekali tiap kali berurusan dengan masalah masjid. Suatu saat, kemarahan naik ke ubun-ubun karena begitulah alasan Ayyasy ketika disuruh ke masjid : lari ke kamar mandi. Berkata mau BAB padahal dari tadi tidak sakit perut. Untung, pada hari itu saya mendapatkan kuliah Psikoterapi. Intinya adalah belajar kembali dan mere-konstruksi pemikiran. Kepala yang sudah senut-senut, meradang, mendidih, saya coba pelan-pelan tenangkan. Ayyasy saya panggil. Usai mengatur nafas.

”Ayyasy tahu kalau ke masjid wajib?”

”Tahu.” Gubrak! Pingin tambah ngamuk.

Tapi tunggu dulu… ”tahu dari siapa?”

”Dari Ummi.”

”Ayyasy percaya Ummi?”

 ”Ya, percaya laah…”

”Pernah baca gak hadits itu?” Ayyasy menggeleng.

”Pernah dengar ustadz menyampaikan hadits itu?” Ayyasy menggeleng lagi. Aku terbelalak. ”Masak sih?” ”Mungkin…aku pas nggak masuk, Mi….”

”Kalau begitu Ayyasy tahu wajibnya ke masjid dari Ummi dan belum melihat sendiri atau mendengar sendiri haditsnya?” Maka saya menarik nafas panjang. Tiba-tiba menyadari kesalahan. Jangan-jangan selama bertahun-tahun ini saya hanya bilang ke anak-anak : itu wajib, ini haram, itu sunnah, ini nggak boleh, tapi nggak pernah menjelaskan bagaimana duduk perkara yang sesungguhnya? Maka saya mencba mere konstruksi pemikiran Ayyasy bahwa ucapan itu bukan hanya ucapan Umminya tetapi hadits shohih dan seterusnya. Inilah suatu ujicoba pada anak-anak kita yang insyaAllah tidak berbahaya untuk diterapkan.

Banyak sekali azas psikoterapi yang dapat diterapkan kepada anak-anak agar mereka mencapai kesetimbangan, terutama dalam memahami nilai-nilai Islam. Tentu, jika anda belum faham betul dapat mengontak psikolog yang dapat anda percayai bagaimana tahapan-tahapan konseling dan psikoterapi.

Antara Klinis dan Pendidikan

Di antara sekian banyak ragam psikologi, tampaknya klinis dan pendidikan menarik perhatian. Saya ingin menjadi klinisian yang memahami betul teori, konsep, langkah-langkah menggunakan aspek Islami. Sebagai contoh, kita yakin 100% Quran adalah petunjuk dan penyembuh. Bagaimana cara menggunakannya pada penderita schizofren? Diperdengarkan, dibacakan, dipilihkan ayat-ayat tertentu yang merangsang alam bawah sadarnya atau diperdengarkan berulang 30 juz? Apakah orang yang gila karena ditinggal selingkuh lebih baik mendengarkan berulang surat Ar Ruum? Bagaimana cara menterapi penderita schizofren dengan Quran : mereka ditidurkan, dibawa hingga ke gelombang theta, diperdengarkan Quran seharian penuh? Bagaimana cara menggunakan Quran sebagai terapi bagi orang-orang depresi, frustasi, drug abuse, dsb? Pasti, Quran adalah obat.

Sekarang perlu dipikirkan cara dan langkah-langkah tepat agar berdaya guna; juga pencatatan yag teliti dari tahun ke tahun sebagai bukti empiris sebagaimana Piaget secara tekun mencatat penelitiannya selama puluhan tahun. Inilah salah satu penelitian yang ingin sekali saya kuasai.

Pendidikan juga tak kalah menarik. Menghafal Quran meningkatkan kecerdasan. Salah satu unsur kecerdasan adalah kemampuan memory (decoding –memelihara- recall). Bagi anak-anak dengan IQ di bawah 80, mereka yang debil-imbisil-idiot; bagaimanakah cara mengajarkan Quran yang mulia ini?

 Pertentangan Panjang Dunia Psikologi

Engkau lebih tahu tentang duniamu. Hikmah adalah miliki kaum muslimin yang tercecer. Ucapan Rasulullah Saw tersebut sering kita dengar.

Sebagian orang beranggapan Psikologi haram sebab berasal dari Filsafat yang juga bukan dari dunia Islam. Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd pun sempat menghadapi kritik tajam karena menterjemahkan karya-karya filsuf Yunani ke dalam dunia Islam. Tak semua bagian dari ilmu Psikologi adalah sampah; sebagian penelitian panjang ilmuwan barat dapat dimanfaat seperti tahapan perkembangan, psikometri, dan beberapa test yang masih relevan. Kita mungkin dapat mereduksi apa yang tidak sesuai dan memperkaya, menyempurnakannya dengan pendapat para ulama yang juga sangat berharga. Jika Psikoanalisa beranggapan bahwa id adalah tuntutan dan dorongan manusia yang menimbulkan gairah, maka Islam menjadikan id sebagai sebuah ibadah. Sex, makan, minum, menghirup udara adalah ibadah selama sesuai syariat. Id bukan sesuatu yang kotor dan harus di repress, tetapi perlu di salurkan pada tempat yang memang seharusnya. Jika Behavioristik beranggapan manusia seperti mesin, maka berkacalah pada sebagian besar ulama yang tidak hanya menggunakan reward & punishment; reinforcement positif dan negatif. Ada niat dalam diri manusia, ada fithrah yang harus dijaga. Jika Kognitif beranggapan pembelajaran harus terus diperbaiki, bukan itu saja, sebab niat pun harus senantiasa diperbaharui. Banyak orang mengenal baik buruk , tapi enggan melaksanakan. Memangnya orang tidak tahu kalau korupsi itu jahat, memanipulasi itu jelek? Humanistik, mungkin lebih manusiawi. Tetapi kita perlu melengkapi. Ketika Maslow mengatakan 7 tangga piramida ( semula 5), kebutuhan tertinggi adalah kebutuhan transenden setelah semua kebutuhan terpenuhi, masuk akal juga. Bagaimana orang bisa kuat ibadah jika perutnya senantiasa kelaparan? Bagi kaum muslimin, kebutuhan transenden bukan hanya di puncak tertinggi. Ia adalah kebutuhan di tiap tangga. Manusia butuh Tuhannya di saat lapar, kenyang, miskin ataupun kaya.

Impian ke depan

Saya memiliki sebuah mimpi, yang mungkin masih jauh dari genggaman.

Welcome to The Islamic Crisis Centre.

Anda bisa menggunakan terapi Quran atau terapi sholat. Anda ingin memilih rekonstruksi ala Ibnu Sina, Ibnu Misykawaih, atau Al Ghazali? Anda ingin mendidik anak-anak dengan pola belajar otodidak macam Ibnu Sina dan Fakhruddin Arrazi atau belajar pada banyak guru macam Imam Syafii?

Welcome to The Islamic Crisis Centre

Anda bisa datang kapan saja saat anda merasa memiliki jiwa yang sakit dan hati yang keras. Silakan singgah di lahan kami yang teduh dan rindang, diiringi lantun nasyid Atau anda memilih iringan murottal Sudais, Al Mathrud, Hani Rafai

Welcome to The Islamic Crisis Centre

Silakan datang ke tempat kami Semoga usai ini, hari-hari anda akan jauh lebih bahagia Anda lebih tangguh, kuat dan juga bermanfaat bagi banyak orang

Welcome to The Islamic Crisis Centre

Pusat Kesehatan Mental Islami

Ah. Semoga suatu saat cita-cita ini tercapai (mohon maaf jika belum runut, melompat-lompat sebab terlalu bersemangat. Sedang berlajar membuat tulisan ilmiah setelah bertahun-tahun terbiasa menulis fiksi  )

0 thoughts on “Islamic Psychoterapy – Al Ilaj An Nafs”
  1. great article mbak…

    Welcome to The Islamic Crisis Centre <— anggap saja ini impian kita bersama
    boleh saya tau sampai dimana proses realisasinya? sp tau bisa secara kolektif mengerjakannya 🙂

  2. Gwann : sampai sekarang tahap realisasinya …saya masih kuliah psikologi dan mencoba beragam teori dan terapi dalam menangani masalah anak-anak. Semoga sedikit demi sedikit pengalaman membuat impian ini makin berkembang 😉

  3. semoga sukses ya mbak…
    kapan2 boleh sharing sama mbak gak? utamanya mengenai Psikologi?

    *aduh saya manggilnya apa ya, bunda aja ya biar lebih akrab? hehe.. swear awalnya saya gak tau ini bunda sinta penulis itu..hehe, soalnya nyasar dr mbah google

    1. Panggilan buat saya banyak kok dek : Ummi, Ibu, Bunda, Mbak, Tante. Monggo……yang penting jiwanya tetap muda! 🙂 Wah, seneng banget kalo mau sharing psikologi. Ayuk !

  4. Hmm… menarik sekali bahasan Mba Sinta tentang Psikologi, mengobati dahaga saya tentang ilmu Psikologi. Ingin kuliah Psikologi tapi takut jadi bingung atau pusing jika tidak dibarengi pemahaman Islam yang baik dan menyeluruh. Kapan2 sharing lagi ya mba…
    Yus sedang mengendapkan pemahaman tentang kebutuhan Psikologi dan membulatkan keminatan pada Psikologi yang sudah lama sekali saya impikan. Mohon doanya ya…^_^

  5. Sebagian besar dari disiplin ilmu Psikologi memang hadlarah yang mesti dipilah dan dipilih oleh kaum Muslim. Alih2 mempelajari Psikologi, hanya mendapatkan kesesatan yang didapat. Begitulah yang sy lihat dari sebagian rekan2 sy yang mendalami Psikologi dengan tanpa bekal pemahaman Islam yg komprehensif.

    Membaca esay Ibu ini, sy jadi merasa seperti membaca mimpi2 diri sy sendiri sejak saat itu; sejak saat masih di bangku kuliah ketika sy merasa ada ketidakbenaran dalam hampir semua disiplin ilmu yang lahir dari Barat, yang mencakup Sosiologi, Psikologi, dan ilmu pendidikan. Sy memikul tanggungjawab yang besar kepada objek pendidikan sy meski mereka cacat. Ya, tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, autistik, dan lain2nya, yang memang keterkaitan pembelajaran maupun terapinya begitu dekat dengan Piskologi. Karena itulah sy mulai merangkai dan membangun mimpi2 sy itu untuk mengembalikan mereka pada fitrahnya: Islam.

    Semoga mimpi2 kita bisa terealisasikan dengan segera ya, Bu. Sebab, Islam itu memang rahmatan lil’alamin yang mesti kita usahakan. Tidak ada bidang sekecil apapun yang aturannya diatur oleh Islam.
    Kapan2, semoga kita bisa (dan Ibu bersedia, tentunya) bertukarpikiran lebih banyak lagi ya, Bu 🙂

    Salam,
    aemtemite 🙂

    1. Mas/ Mbak Mite…? Saya barusan berkunjung ke pelataranrumah.wordpress.com. Lantaran saya rada-rada gaptek…ingin sekali comment disana tapi belum bisa. InsyaAllah next time. Impian kita ttg Psikologi Islam semoga dpat terealisir. Saya yakin! Sebab Islam satu-satunya agama yang menekankan manusia dari sisi ruhiyah, disaat agama yg lain mengaburkannya. Psiogolig = Psyche- jiw, tentunya lekat dengan pesan2 ruhiyah. Keep in touch! 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *