Meski ranking pertama, di kelas maupun paralel ketika SD, bukan berarti perjalanan akademisku tanpa cacat. Nyaris setiap hari terlambat sekolah, karena saat itu kami tinggal di Denpasar Bali. Angkutan hanya andong/dokar dan vespa ayah satu-satunya. Masih kuingat betul raport kelas 2 SD, masih sistem cawu (catur wulan) belum semesteran. Salah satu cawu, rankingku diturunkan ke peringkat ke-2 karena setiap hari terlambat, hingga di raport tertulis peringatan : Jangan sering terlambat!
Mau bagaimana lagi? Rumah kami jauh, sekolah Islam saat itu hanya SD Muhammadiyah I dan II yang posisinya belum dapat dideteksi google map. Meski ada penurunan ranking, guru wali kelasku –yang lupa siapa namanya- senantiasa menyambut dengan senyum ramah, ketika membuka pintu kelas. Ia mengantarkanku ke tempat duduk.
SMP, aku pindah dari Bali ke Yogya. Semua mata pelajaran oke-oke saja kecuali satu : Bahasa J-a-w-a. Nilai ujian pertamaku 0 yang sangat besar. Apa itu tembang dhandanggula? Apa itu hanacaraka? Apa itu tulisan pasangan? Hiks…nilai itu membuatku menangis, tapi di ulangan berikutnya…nilaiku melesat 8 dan 10 selalu! Apa pasal?
Guru bahasa Jawa kami baik kelas 1,2, 3 selalu cantik dan pintar nembang.
Kuneng gantyi kang winarni
Nenggih Dityo Sukasrana
Raden Sumantri Arine
Nalika marang pratapan
Oneng marang kang Raka….
Tembang Asmaradhana itu sering kukutip dalam tulisan, cerpen, maupun novelku. Indah betul lirik, syair maupun nadanya. Aku terpukau oleh kisah Sukasrana, sang adik berbentuk raksasa yang jelek rupa namun berhati luhur. Merindukan pertemuan dengan Raden Sumantri, ksatria tampan kebanggaan Prabu Arjuna yang tidak mau mengakui Sukasrana sebagai adik lantaran kejelekan fisiknya.
SMA?
Haha…yang ini pasti banyak kenangan. Nonton bareng, jalan bareng, bolos bareng, ngibulin guru.
Banyak kisah lucu, kuceritakan salah satunya.
Guru bahasa Inggris kami, sebut sama namanya Mrs. Sweety, berwajah ramah dengan dandanan jadul awal abad XX : rambut panjang dikepang dua dan diangkat ke atas, bertemu tepat di tengah-tengah. Beliau ramah, jago bahasa Inggris dan punya satu kesukaan unik : mengajar papan tulis.
Maksudnya, waktunya lebih banyak dihabiskan dengan menulis papan kayu hijau dengan kapur, dan hanya sekali-sekali berbalik ke arah kami. Guru-guru macam ini banyak sebetulnya, saat itu belum ada OHP apalagi LCD plus powerpoint.
Maka,
Setiap Mrs. Sweety menatap papan kayu (bukan whiteboard yang masih menampakkan bayangan murid di belakang), kami yang duduk di bangku masing-masing membuat ulah.
Melempar kaos kaki ke sembarang teman, siapa yang kena, yaaa…rezeki dia.
Melempar taplak.
Melempar kertas.
Atau berdiri, bukan duduk di kursi.
Atau berdiri, di atas kursi!
Kira-kira, waktunya kalimat in English mendekati titik, maka serentak murid duduk di kursi, memasang tampang innocent.
Suatu saat, yang namanya apes.
Seorang siswa cowok yang rajin, sholih, jarang berbuat onar, sebut saja namanya Dewo.
“Ayo, Wo! Berdiri! Masih lama tuh nulisnya!”
“Iya, cepetan!”
Dewo celingukan. Posturnya tinggi ramping, berbeda denganku yang bertubuh mungil. Aku belum pernah berani naik kursi, takut kenapa-kenapa. Tapi rata-rata teman cowok pernah. Yang tubuhnya tinggi besar, harus waspada, manakala kursi kayu patah atau kepelset.
“Ayo, Wo!”
Dewo lalu berdiri tenang, melihat kiri kanan, hup! Naik ke kursi, berdiri.
Dan Mrs. Sweety tibat-tiba membalikkan badan sebelum tulisannya slesai sampai di titik….
Kami duduk tenang, tanpa mimik bersalah dan membiarkan Dewo menanggung dosa besarnya sendiri. Kasihan Dewo hahaha…
Marahkah Mrs. Sweety?
Sama sekali tidak. Ia membiarkan kejadian itu , tersenyum, dan mempersilakan Dewo turun dari kursi, duduk kembali.
Kalau mengingat kejadian-kejadian saat SMA, benar-benar membuat wajah awet muda.
Sempat terpikir, apakah guru akan kehilngan muka ketika muridnya kurang ajar? Tidak ternyata. Guru-guru yang memang memiliki “isi” , meski kami suka berlaku seenaknya, jauh di lubuk hati mendapatkan kehormatan tulus dari kami.
Lihat saja komentar teman-teman .
“Eh, bu Cantik itu, rambutnya indah kayak iklan Sunsilk ya..”
“Iya. Dari belakang, asala jangan pas noleh….cling!”
Meski diolok-olok, tiap kali kami tidak mengerti bahasa Inggris, tetap menyambangi beliau karena ilmu yang melimpah ruah.
Ah, guru-guruku.
Tak ada seorangpun dari kalian yang menimbulkan jejak kebencian sekalipun ada rumor beberapa orang guru membuka les, dan memberikan bocoran soal kepada murid lesnya. Soekarno, Hatta, Soeharto, Habibie, dan semua presiden kita menempati posisinya karena melewati bangku-bangku yang di depannya seorang guru , tulus menyampaikan ilmu.
Saat kita duduk di kursi mobil sekarang, dalam kamar ber AC, dengan ponsel terbaru dan kesempatan keliling dunia; guru kita kemungkinan ada di rumahnya yang mungil. Bertubuh rapuh, dengan pensiun yang bahkan tak cukup untuk membayar cicilan motor, biaya kesehatan, listrik air dan kebutuhan sehari-hari.
Setiap hari aku bertemu guru-guru yang luarbiasa.
Tempat aku menitipkan anak-anakku sejak TK, SD, SMP dan SMA.
Kadang, seorang guru tahu lebih banyak dari ayah ibunya.
“Maaf, putra ayah bunda suka mukul temannya.”
Atau, “ Bunda, tempo hari ananda nilai matematika nya jelek, tapi sekarang Alhamdulillah dapat 9 terus.”
Gurukah engkau?
Putri pertamaku, si pemberontak cerdas dan suka membangkang, pembaca ulung yang telah menamatkan buku-buku spektakuler sejak ia SMP. Ketika aku dan suamiku sering bersitegang dengannya, maka masih kuingat, seorang guru favoritnya yang sering menjadi teman diskusi kami,
“dari dulu, sejak bertemu dengan ananda, saya tahu ia istimewa. Hanya saja, ada sesuatu dalam dirinya yang perlu ditaklukan.”
Gurulah yang membuat putriku bermimpi masuk Geografi, ingin menekuni sistem informasi geografi seperti pangeran William, suami Kate Middleton. Guru-guru anakku, yang membuatnya rela menghabiskan malam dengan belajar, sholat malam dan membuka cakrawala bahwa ia harus hidup jauh dari ayah ibunya bila ingin mandiri. Kalau sekarang putriku berada di UGM, fakultas psikologi, itu bukan karena aku menekuni dunia yang sama. Betapa seringnya putriku, berjam-jam di sekolah menghabiskan waktu berdiskusi dengan ustadz Y, ustadz X, ustadzah A, ustadzah B. Pulang ke rumah, kata-kata anak-anakku adalah
“Ummi, kata ustadz ini begini…kata ustadzah begitu….”
Tiap kali mengingat diskusi-diskusi itu, tiap kali mengingat guru-guru anakku maka aku berpesan pada putra putri kami.
“Suatu saat Nak, saat kalian jadi orang, jangan lupakan gurumu. Ustadz Y, ustadz X, ustadzah A, ustadzah B yang kenyang dengan kemarahanmu. Kenyang dengan pembangkanganmu. Muliakan mereka. Doakan mereka.”
“Iya Ummi,” kata anak-anakku. “Aku akan belikan ustadz ustadzahku mobil satu-satu dan menaikkan haji mereka semua.”
Bagiku, menjadi guru adalah pekerjaan yang membuat waktu sempit kita, menjadi bernilai amal jariyah. Maka kusisihkan di antara kesibukan dan kepadatan beragam jadwal, sehari dalam sepekan bertatap muka dengan murid-muridku. Berapa honornya? Banyak. Sangat banyak.
Sebab wajah-wajah murid-muridku yang haus ilmu, mengingatkanku saat kecil dulu, masa-masa aku duduk di kelas dan mengamati guruku dengan takjub.
Betapa cantik dan pintarnya dia!
Betapa dia tahu segala!
Betapa aku ingin seperti dia!
Sinta Yudisia
Guru
Masya Allah y mbak 🙂
Smoga guru2 kita semua semakin diberkahi oleh Allah, aamiin
Masya Alloh, guru memang selalu spesial.. Makasih Bu Sinta
Masya Allah, boleh saya share di FB ya mbak Sinta..