Sebut namanya Muslimah.
Usia 30an, manis sekali, berpostur sedang. Sekilas, bila kita bertemu dengannya di keramaian, mungkin akan menyangkanya perempuan kebanyakan.
Saya pun sempat terkecoh pertama kali bertemu. Menyangkanya perempuan biasa, namun ketika kami berbicara lebih jauh, barulah tampak siapa Muslimah sebenarnya. Mata kosong, wajah dingin tanpa sentuhan emosi, raut wajah tanpa ekspresi. Sesekali bisa berdiskusi resiprokal, namun di titik tertentu memori-nya tak utuh, dan perbincangan tak akurat.
Tempat kami magang, adalah rumah sakit bagi orang dg diagnosis severe mental illness, pasien2 Psikotik Fungsional dg 5 kategori : Psikotik Akut, Skizofrenia, Skizoafektif, Gangguan Bipolar, Gangguan Waham Menetap.
Jangan bayangkan pasien psikotik sbg orang compang camping, lusuh bau spt yg ditemui di jalan2. Sebagian mereka pandai, speak in english, orator, pintar menyanyi. Wajah tampan cantik, atau wajah kacau balau , beragam jenis disini. Remaja, hingga lansia diterima sbg pasien rawat inap atau rawat jalan.
Terkadang, kami susah membandingkan pasien dengan perawat, DM, mahasiswa magang, perawat magang. Baju relatif berwarna mirip antara pasien dan paramedis : abu-abu, biru , hijau, coklat. Jika tidak jeli melihat, siapa terapist atau yg diterapi, nyaris sama.
Yang membedakan secara fisik, semua pasien, mengenakan baju sebatas siku dan celana sebatas lutut. Warna pakaian tergantung ruang inap. Misal ruang A warna merah, ruang B kuning dst.
Lalu apa istimewanya Muslimah?
Perempuan psikotik fungsional, kemungkinan skizofren katatonik, berada di ruang sebuah rumah sakit jiwa? Apa istimewanya Muslimah, yg sehari2 masih harus dalam kontrol ketat terapi, mengenakan pakaian khas, berada di bawah pengawasan kamera CCTV 24 jam sehari?
Muslimah, istimewa bagiku.
Dengan baju sepanjang siku, celana sebatas lutut -SOP klien rumah sakit jiwa yg sering kabur, melakukan tindakan impulsif -agar lebih mudah dikenali dan diamankan-; Muslimah mengenakan kain kerudung di atas kepala.
Rapi.
Tertutup.
Kain segiempat, dilipat dua menjadi segitiga, dipasang di atas kepala, menutupi rambut sempurna, tersemat peniti tepat di bawah leher agar kerudung tak meleset kemana-mana.
Ya, ia Muslimah si Gila.
Yang mungkin harus menkonsumsi obat2 typical atau atypical seumur hidupnya. Mungkin selamanya tak akan mencapai RTA-reality testing ability yg baik, selamanya tak mampu memiliki self -image positif, selamanya harus dibantu melakukan self-help.
Muslimah si Gila, di tengah perjuangannya menaklukan halusinasi, membedakan antara realitas & delusi, mengenakan jilbab.
Ketika kami berpisah hari itu, ia menatap kami dari balik pagar besi tinggi. Pemandangan aneh, seseorang mengenakan pakaian dengan panjang lengan sebatas siku dan celana selutut tetapi menggunakan jilbab.
Muslimah istimewa dimataku.
Ia, pengidap skizofrenia -atau yg sering diistilahkan gila- entah sadar atau tidak, berusaha mentaati perintah Allah SWT sebagai seorang perempuan. Mengenakan kerudung ketika bertemu non mahram.Bukan hal mudah menjalani hari2 bagi skizofren, menghadapi diri sendiri dan stigma orang lain. Mencoba taat padaNya dalam segala keterbatasan, sungguh mengharukan.
Apakah anda, juga saya, yg merasa normal tidak mau mentaati perintah Allah SWT utk mengenakan jilbab secara sempurna?
Sinta Yudisia, Agustus 2014
Masya Allah… ini sangaaaat menyentuh sekaligus hakjleeeebbb banget mbak.
🙂
makjleb bingit ini mbak… >,<
mbak bolehkah mnta link artikel ttg skizoprenia yg komplit, makasih 🙂
nanti saya carikan jurnalnya ya…saya punyanya buku2nya
Masya Allah, Allah telah menjaga iman muslimah yg gila itu.
Ini unik sekaii.