(Lanjutan dari https://sintayudisia.wordpress.com/2017/01/17/kejahatan-1-ayah-peng-implant-dasar-kejahatan/ )
Koruptor yang mencuri jutaan, puluhan hingga ratusan juta, milyaran bahkan trilyunan; jelas bukan orang miskin. Pencuri kelas teri biasanya ber IQ rendah, tapi pencuri kelas kakap jelas ber IQ tinggi, genius atau malah gifted.
Apakah pencuri dan koruptor dilandasi niat yang salah?
Tidak selalu.
Murni (samaran) mencuri berulang-ulang karena kemiskinan. Ia harus menghidupi 2 anak, sementara suaminya entah kemana. Murni mendekam di penjara bolak balik karena tertangkap basah mencuri barang-barang elektronik. Sasarannya memang kompleks yang sepi tanpa satpam. Bukannya Murni senang mendekam di balik jeruji, ia menyatakan keinginan untuk bekerja normal seperti jualan keripik atau laundry. Namun, (maaf), wajahnya sangat jelek hingga tidak melicinkan jalan baginya untuk menjadi pekerja walau hanya buruh rendahan.
Ita (samaran) melakukan korupsi, menggelapkan uang perusahaan. Ketika tertangkap ia berkilah, di ranah insdutri apa yang ia lakukan sudah biasa. Banyak perusahaan melakukan apa yang ia lakukan. Ita menggunakan uang di luar anggaran, dalam jumlah besar, untuk memberikan insentif pada karyawan. Alasannya, toh uang itu tidak ia pakai. Uang sebesar itu digunakan memberikan imbalan kepada karyawan yang memang membutuhkan.
Ada banyak orang seperti Ita yang saat tertangkap OTT oleh KPK atau polisi, menggunakan alasan : semua kesalahan ada di sistem yang berjalan. Tanpa negosiasi tidak akan memenangkan tender, tanpa korupsi tidak akan mendapatkan jatah dana yang digunakan untuk tujuan kebaikan, pelaku korupsi umumnya korban yang diumpankan oleh pihak tertentu.
Boleh jadi sistem memang salah.
Mengurus surat-surat, memasukkan sekolah atau kuliah, mendapatkan sertifikat, tertangkap tengah melanggar hukum; semua butuh uang. Membesarkan anak-anak dengan baik, fasilitas rumah-kendaraan-kesehatan-hiburan , konsumsi sehari-hari atau kebutuhan tahunan; semua butuh uang. Mustahil kita beli cabe , ditukar dengan doa kan?
“Bang, saya beli cabe tapi nggak pake uang. Balasannya, Abang setiap hari saya doakan.”
“Pak Guru bu Guru, saya nggak bsia bayar sekolah. Tapi bukankah jadi pengajar harus ikhlas? Ilmu itu amal jariyah. Kalaupun tidak dibayar di dunia, bapak dan ibu guru akan dapat surge di akhirat.”
Mustahil juga transaksi seperti di atas, walaupun dalam beberapa kasus memungkinkan terjadi.
Uang. Uang. Uang. Uang. Uang.
Uang mengatasi masalah kebutuhan sehari-hari. Uang mengatasi kebutuhan industry. Uang mengatasi masalah perpolitikan. Uang mengatasi urusan keluarga, masyarakat dan negara. Tanpa uang, roda kehidupan mati.
Benarkah?
Uang memang alat vital tetapi itu bukan satu-satunya alat yang dapat menyelamatkan segala situasi. Memberikan insentif pada karyawan memang penting namun bila keuangan perusahaan tidak memungkinkan, reward bentuk lain dapat diupayakan. Awalnya niat Ita baik. Namun niat baik tanpa cara yang baik, akan menggeserkan niat dan membuatnya mudah melakukan tindakan serupa di kemudian hari, dengan alasan berbeda.
Apa yang dilakukan Murni, serupa dengan yang dilakukan para PSK di wilayah Dolly pada awalnya. Niat mereka baik, namun melakukan dengan cara yang tidak baik. Banyak orang miskin datang ke wilayah Bangunsari, Tambak Asri, Klakah, Sememi, Bangun Rejo, Jarak + Dolly dengan tujuan mengais rezeki.
Menemani pelanggan berbicara, minum, lalu hubungan short time, dengan imbalan yang jauh lebih besar dari bekerja sebagai buruh. Awal PSK bekerja umumnya uang rutin dikirimkan ke kampung halaman. Lama-lama, uang tersebut digunakan untuk konsumsi pribadi seperti membeli pakaian, membeli gawai canggih, ke salon dan Spa secara rutin. Uang kiriman ke kampung pun macet.
Murni pun demikian. Pada akhirnya, uang hasil curiannya tidak digunakan untuk biaya anak-anaknya namun untuk keperluannya berhura-hura.
Sebagai klinisian, orang-orang seperti Murni dan Ita, juga para koruptor yang pada awalnya berniat baik, pantas dikasihani. Mereka merasa terjebak sistem, merasa dikorbankan, merasa harus melindungi banyak orang dan merasa harus memberikan reward pada banyak orang. Selama uang dianggap sebagai satu satunya alat yang dapat menuntaskan segala, maka selama itu pula uang dianggap dewa. Berapa jumlah uang yang seharusnya dimiliki? Tidak terbatas, sebab yang harus dihargai dengan uang banyak sekali.
Hiburan, harus dengan uang. Persahabatan, harus dengan uang. Koneksi, harus dengan uang. Branding, harus dengan uang.
Mahathma Gandhi adalah contoh nyata yang dapat menjelaskan bahwa uang bukanlah segalanya. Ketika orang-orang terpesona dengan gaya hidup ala Inggris yang elegan, ia memintal sendiri bajunya dan meninggalkan pisau-garpu. Dasi, sepatu, ditinggalkan berganti sandal sederhana. Ia berjalan kaki kemana-mana atau naik kereta ekonomi. Prinsipnya, kalau bangsa India memang harus hidup apa adanya dengan kemandirian, kesederhanaan , bahkan terlihat kampungan; biarkan saja. Karena memang inilah identitas bangsa.
Kita pernah mengenal kata gotong royong, dimana hubungan kekerabatan tidak didasarkan uang. Membangun rumah, melaksanakan pesta, semuanya atas dasar sukarela. Memang, uang dibutuhkan, tapi rasa kebersamaan dan persaudaraan jauh lebih penting. Alhamdulillah, sekarang banyak perhelatan yang sengaja mencantumkan : dilarang membawa hadiah atau uang dalam bentuk apapun. Kehadiran dan doa anda jauh lebih penting. Undangan ini akan menepis kegelisahan : berapa ya saya harus nyumbang? 50? 100? Tapi saya kan seorang pejabat? Masa menyumbang hanya 50? Semakin tinggi kedudukan seseorang, semakin mahal nilai sosial yang harus dibayar. Padahal, semakin tinggi kedudukan seseorang, semakin ia menjadi contoh bagi orang lain. Betapa kesederhanaa, gaya hidupnya, sikap dan pembawaannya akan mengayomi anggota masyarakat lain yang kedudukannya berada di bawah statusnya.
Kita pernah mengenal, bahwa hadiah bahkan hasil karya tangan sendiri jauh lebih mengesankan daripada hadiah uang.
Waktu saya kecil, kalau ingin memberi hadiah ulang tahun, biaanya saya buat hiasan dinding dan semacamnya. Ketika menyelenggarakan ulang tahun, mama membuat sendiri wadah kue beserta kue-kuenya. Orangtua saat itu sangat lazim berbuat demikian. Betapa bangganya seorang ibu ketika mendapatkan pujian : waah, kue buatannya enak sekali ya… saat itu kehidupan konsumtif belum dikenal. Ulang tahun traktir di café mewah, di resto ala barat bergengsi, memberi hadiah mahal yang tinggal beli. Bahwa memberikan hadiah atau menyelengggarakan pesta, tidak perlu semewah mungkin, menjadi paradigm orang-orang saat itu. Akibatnya tak ada orangtua pusing : berapa biaya pesta anaknya? Berapa biaya pesta ulangtahun? Berapa biaya nikah?
Kita pernah mengalami, bahwa orang-orang yang diangkat menjadi pemimpin adalah orang-orang yang disegani di tengah masyarakat.
Ada seorang ‘ustadzah’ waktu saya kecil yang sangat dikenal dengan senyumnya, namanya bu Jali. Saya masih ingat senyumnya yang lebar dan tulus. Ia suka silaturrahmi kesana kemari, mengunjungi para pelacur, memberi mereka nasehat. Mengisi pengajian tanpa dibayar. Kalau ada pemilihan anggota legislative saat itu, bu Jali pasti akan menang di situ! Ia tidak butuh baliho, spanduk, selebaran, bingkisan, berkat, untuk menarik massa datang. Ia lakukan dengan sukarela kebiasaan silarurrahmi dan itu berlangsung bertahun-tahun. Sekali lagi, bu Jali bukan ustadzah, namun reputasinya luarbiasa.
Paradigma tentang uang membuat kita gelap mata.
Okelah, belanja kebutuan harian, sekolah, beli bensin dan pulsa harus dengan uang. Namun ada yang tak perlu ditukar dengan uang. Kesenangan, gaya hidup, hubungan antar manusia, kekerabatan, hadiah-hadiah; tidak selalu harus berupa uang. Perhatian tulus sebagai sahabat antara seorang pemimpin dengan bawahan, antara seorang politikus dengan konstituen, antara atasan dan pegawai; akan memangkas kebutuhan akan uang yang digunakan untuk ‘memangkas’ banyak hal. Akibat tak pernah berkunjung ke rakyat dan tak pernah tahu apakah ia baik atau buruk, maka uang menjadi alat tukar yang cepat untuk membeli branding. Berapa banyak uang dibutuhkan?
Kita bukan pencuri seperti Murni, bukan koruptor seperti Ita.
Tetapi bukan tidak mungkin, kita punya paradigma sama tentang uang. Kita bukan penjahat, namun bukan mustahil kita tengah meng-implant ide-ide kejahatan ke tengah masyarakat.