“Kekejaman” Editor : TAKHTA AWAN!
Januari 2011 naskahku selesai.
Dan ….cukup lama, sang editor membedah karyaku.
“Mbak…sudah baca Orchid Empress?”
Belum, jawabku.
“Baca ya…,” sarannya,” sangat emosional.”
Januari. Februari. Maret.
Aduh, kapan karyaku terbit ya?
Menunggu karya terbit seperti menunggu tanggal melahirkan : katanya pekan ke II, katanya tanggal 10, katanya bisa lancar dan seterusnya.
Maka aku menunggu hasil karyaku dengan cemas. Waktu terbit yang dijadwalkan , mundur. Dari Februari, Maret, lalu April.
Perutku mules.
Pikiranku pening.
Menulis adalah sebuah idealisme. Bukan hanya sekedar nongkrong tak jelas di depan laptop, buka status FB dan comment sana sini (sekalipun membuka FB termasuk salah satu cara kecil untuk menghilangkan stress hehe….). Menulis butuh waktu, dedikasi, keseriusan dan kesungguhan luarbiasa. Menulis adalah komitmen. Menulis adalah…..pengorbanan besar.
Kuliah psikologiku pun tak dapat disambi. Aku harus praktikum, mencari testee, menyusun laporan, dicorat coret asdos, diperbaiki lagi.
Kapan karyaku terbit?
Rasanya akan bernafas lega nanti kalau karyaku sudah jadi…..hfffff…..
Tapi ternyata editorku orang sibuk J
Aku menunggu hasil editannya.
InsyaAllah pekan ini, begitu katanya.
Hm…kok lama seka Aduh, segitu lamakah mengedit? Kan tinggal baca, tinggal oke, cari endorsment, cari ilustrator, dan terbitkan
Maklum, editorku orang terkenal di kancah penerbitan, tanggung jawabnya pun besar. Aku sadar bahwa menitipkan naskahku padanya bukan tanpa kecemasan…pasti lama. Tapi aku tidak menyangka selama ini.
Lalu sebuah email muncul.
”Mbak, sudah kukirimkan. Ada beberapa catatan.”
Menurutnya, karyaku masih harus diperbaiki.
Ups, benarkah?
Masihkah aku punya energi untuk itu?
Bayangkan, aku mengejar TAKHTA AWAN sejak pulang dari Gaza, berarti Agustus 2011.
Padahal aku sudah berusaha mati-matian mengerjakan Takudar, membaca berulang-ulang…sampai aku hafal puisi syaikh Edebali yang tercantum dalam sebuah babnya.
Diperbaiki?
Sebelah manaaaa?
EDITORKU, SANGAT TELITI!
Ups.
Saat menerima revisi, aku terharu sampai berkaca-kaca.
Hehe…maafkan daku, editorku yang cantik J
Aku langsung SMS.
”Jazakillah ya Mbak….aku nggak nyangka karyaku dibaca sampai sebegitunya…”
Bab. Kalimat. Kata. Huruf. Titik –koma.
Apalagi struktur kalimat.
Buuuuannnyyyyaaaak sekali yang harus diperbaiki!
Pembantaian, kritik, pembandingan…apalah namanya.
Tetapi penulis – editor sebetulnya sepasang, seperti sepatu dan sandal yang masing-masing nggak mungkin dipakai sebelah!
Editor mengkritikku.
”Coba diteliti lagi mbak….emosinya kurang.”
Setelah mengendap cukup lama, aku mulai berpikir jernih.
Ahya.
Tokohku Takudar, terlalu berhati malaikat disini.
Bukankah ia manusia?
Bukankah manusia, sejatinya adalah makhluk dengan sisi baik dan buruk? Marah-senyum, tawa-sedih, gelap-terang? Begitu terobsesinya aku dengan Takudar hingga ia kumunculkan tidak seperti manusia, tetapi begitu bersih dan cemerlang, seolah tak setitikpun salah disana.
Aku salah.
Seorang tokoh, protagonis, justru harus demikian dekat dengan kehidupan asli pembaca agar bisa lebih difahami, dimaknai…pada akhirnya dijadikan teladan. Bagaimana aku menjadikan Takudar teladan jika ia sama sekali tak memiliki cacat seperti malaikat?
Penulis adalah penyebar kebaikan, dan ia bukan hanya penyebar, tetapi juga penggagas bagaimana agar kebaikan dapat dijalankan massive dan efisien. Memang, dalam sebuah kisah tersebut seorang raja Dzulkifli yang sama sekali tak pernah marah. Tetapi mampukah kita seperti ia? Sungguh, raja yang marah tetapi ia meminta maaf jauh lebih manusiawi, dan dapat dicontoh bahwa seorang petinggi negara ketika khilaf ia bersegera melakukan kebaikan.
ANCAMAN ANAKKU!
”Aku nggak mau baca Takudar!” ancam Inayah, putri sulungku.
Ia, kritikus pertamaku yang membaca karyaku.
”Aku gak mau baca kalau Rasyiduddin mati.”
Sejak semula, aku tahu, berdasarkan sejarah pada akhirnya Takudar lebih memilih jalan kesendirian. Sebuah referensi mengatakan, ia mengikuti tarekat sufiyyah, sebab posisinya yang demikian terhimpit.
Imajinasiku berkelana, bahwa pada akhirnya seluruh sahabat Takudar mati dan ia berjalan sendiri.
Aku terinspirasi nasehat seorang ustadz, kuranglebih demikian….
”Seorang dai akan mengalami banyak rintangan. Kadang, ia begitu kesepian dalam kesendirian.
Seperti Musa yang ditinggalkan bani Israil.
Seperti Isa yang ditinggalkan pengikutnya.
Seperti Nabi Muhammad yang pernah dikucilkan.”
Seperti itulah bayanganku tentang Takudar, bahwa ia akan sendirian mempertahankan keimanan.
Dan aku ingin memunculkan sebuah figur, seseorang yang bertahan dalam keimanan akan tetap mampu berjalan tegak, meski para sahabatnya berguguran. Bukankah fenomena ini kita temui sekarang? Kadang kita punya geng di masa SMA, masing-masing memilih jalan, pada akhirnya…kadang, seseorang menjadi terkucil ketika ia tengah menjalani sebuah jalan yang diyakini jalan keselamatan.
Ancaman anakkau menyebabkanku mundur.
Iya deh, Sayaaaang….gak akan Ummi matikan Rasyiduddin..!!
EDITORKU YANG JELI
Ternyata, editorku punya pemikiran sama.
Masa kayak cerita Power Ranger?
Yang semua tokoh baiknya selamat, yang mati monsternya?
Tidakkah dalam sebuah pertempuran, ada yang gugur baik dari kubu lawan maupun kawan?
Dan justru, ingin kumunculkan kebijaksanaan Rasyiduddin yang sejak semula sudah membidik Pangeran Javad : sang pangeran manja ini jika disentuh hatinya, akan dapat memanggul beban dakwah yang besar.
Banyak orang-orang seperti Javad.
Para pemuda pemudi dengan gelimang kemewahan. Mereka hidup enak, tak punya prestasi sebab hidup dalam limpahan fasilitas. Tetapi sesungguhnya, tak semua mereka orang keji yang suka menghabiskan waktu dugem. Masih banyak yang punya hati lembut, dapat dilunakkan oleh dakwah agar mereka mau memikul tanggung jawab kenegaraan bersama.
Maka, Rasyiduddin adalah contoh kesabaran seorang yang mampu mempengaruhi orang seperti Javad agar kelak ia dapat menggantikan posisi dirinya, jika harus tewas.
Jadi…apakah Rasyiduddin hidup atau tewas?
Hehe…..
EDITORKU,ORANG LUARBIASA DIBALIK TAKHTA AWAN
Tanpa editor, aku tidak yakin TAKHTA AWAN akan terbit maksimal.
Ternyata aku banyak salah menempatkan huruf ..(ampuun deh)…ada bahasa yang nggak EYD. Ada kalimat sampah yang bertele-tele.
Pantes.
Pantes.
Pantas editorku pusing, puyeng, membaca ratusan halaman karyaku dan dibaca TIAP HALAMAN!
Pantes sampai dua bulan gak selesai, bahkan pernah kutelepon sedang lembur…membaca karyaku.
Bahkan…..ia mencermati tiap catatan kaki.
Suatu saat editorku meng sms.
”Mbak….li itu apa sih?”
”Oooh….li itu jarak dalam satuan China/Mongolia saat masa Jenghiz Khan.”
MasyaAllah…dari sekian ratus halaman, dari sekian puluh catatan kaki yang menjelaskan berpuluh-puluh kosa kata asing…editorku masih menemukan bahwa aku LUPA mencantumkan apa ”li”.
Subhanallah…
Jazakumullah khoiron katsiro untuk editorku yang kejam. Yang lama membaca karyaku. Yang membantai, membedah, mengkritik, mencoret-coret, membandingkan bukuku dengan novel-novel sejenis dari luar negeri.
Tanpa seorang editor, aku pasti merasa bahwa karyaku adalah karya terbagus, padahal baru kubaca dari sudut pandang mataku.
Pas dilempar ke pasaran…..gubrak! Ternyata banyak menuai kekecewaan sebab kekurangan disana sini.
Ngeri aku membayangkan jika naskahku diterbitkan awut-awutan. Pembaca menerima karyaku mentah, salah tulis, banyak kalimat sampah…lalu tokoh Takudar, Rasyiduddin, Almamuchi dan Karadiza tak membekas. Sama seperti novel-novel awal saat aku baru pertama kali belajar menulis dan sudah banyak dilupakan orang…..PAdahal aku ingin sekali tokoh-tokoh Islam seperti Takudar, Osman Ghazi dan masih banyak lagi dapat mengendap di hati pembaca, dapat menjadi contoh bagi para petingginegara dan para pemuda kaya bagaimana menghabiskan kekayaan mereka untuk melakukan kebiakan-kebaikan.
Jazakumullah khoiron katsiro untuk editorku yang sering kuganggu lewat email, sms, telepon…sampai-sampai kudengar suaranya kelelahan di sana menjawab serangkaian pertanyaanku.
Semoga TAKHTA AWAN dapat menjadi karya yang dapat kita banggakan di hadapan Allah SWT dan RasulNya, para malaikatNya, dapat mencerahkan setiap pembaca, pendengar, penikmat. Orang-orang dapat belajar dari keteguhan Takudar, kebijaksanaan Rasyiduddin, keberanian Karadiza.
Dan para gadis dapat belajar bagaimana Almamuchi menjaga cintanya agar tetap berpijak pada prinsip-prinsip yang benar.
Ah…
bahkan aku menangis sendiri ketika mengenang bagaimana sepinya Takudar berjalan sendiri mempertahankan keimanan.
JAZAKUMULLAH KHOIRON KATSIRO
SPECIAL THANK YOU, MERCY to : MBAK DEE –LPPH
EDITORKU YANG KEJAM DAN TELITI
juga SABAR & BAIKHATI
Assalamu’alaikum wr wb..
Mbak Sinta yg sangat saya hormati & saya apresiasi karena karya-karyanya sungguh luar biasa (Mbak, ini bukan memuji, hanya ungkapan hati).
Saya Norma (22), penulis pemula dari Banjarbaru, Insya Allah, tapi beraninya cuma keroyokan sama anak-anak FLP. hehe
Sebelumnya, mohon maklum ya Mbak, komen ini baru saja bisa saya tulis padahal posting ini sudah hampir 1 tahun nangkring di blog Mbak Sinta.
Gara-gara menamatkan The Road to The Empire, saya jadi bercita-cita menyelipkan nama “Takudar” untuk anak laki-laki pertama kelak. Btw sebelumnya saya belum pernah mendengar nama beliau (tapi memang karena saya yang gagap sejarah kok ^^).
Mbak Sinta, sejak dulu saya berharap ada seorang penulis muslim yang berani menciptakan tokoh fiksi kepahlawanan islam. Itu saya khayalkan sebelum ke perpustakaan daerah Banjarbaru & menemukan buku “The Lost Prince” karya Sinta Yudisia. Swearrrr V(^^), saya langsung jatuh cinta sama Takudar, Rasyiduddin, Uchatadara & Karadiza, terlebih lagi sama penulisnya, hehe…
Memang Takudar bukan tokoh rekaan, tapi pasti bukan cuma saya yang belum mengenal nama beliau.
Artinya, anggapan saya selama ini bahwa belum ada penulis muslim yang mampu menciptakan tokoh islam luar biasa tidak sepenuhnya benar. Buktinya, ada Mbak Sinta dengan segala kemampuannya membuat rasa ingin tahu saya meletup2 saat membaca & tidak pernah berharap cerita ini ada akhirnya (sepakatttt sekali dengan komen Mbak Rahmadiyanti Rusdi), sampai2 proposal penelitian saya harus menjadi yg kedua nih. Pokoknya, kalah dah Harry Potter & Avatar the Legend of Aang yang selama ini selalu saya idolakan.
Sukses buat Mbak Sinta ya, kami tunggu buku ketiga dari epik Pangeran Kesatu.. Doakan suatu saat saya bisa mengikuti jejak Mbak Sinta, rewriter sejarah Islam. Afwan kepanjangan, Mbak.
Wassalamu’alaikum wr wb
mb Norma…subhanallah, saya terharu sekali dengan postingannya. takudar memang sosok nyata, tetapi terpaksa saya “fiktif”kan sebab kisah hidupnya sangat sedikit, padahal secara logika kita bisa meraba, seorang cicit Jenghiz Khan, dengan genetik & lingkungan Mongolia pasti sangat sulit menjadi seorang muslim. Doakan nggih saya bisa secepatnya menuntaskan Takudar:-)
Amin…. Sukses terus Mbak,, & kapan2 kalo ada waktu ke Kalsel lagi ya 😀
Jazakumullah doanya dek…insyaAllah bila ada rizqi waktu & kesempatan, ingin sekali ke Kal Sel 🙂
mba, salam kenal. saya udah baca The Road to The empire 3 tahun lalu, saya selalu nungguin sequelnya, pas kemaren di gramed ada book fair saya liat karya mba yang ini (Takhta Awan), tapi saya ga langsung beli. 2 hari setelah itu, saya kesana lagi, taunya dah abis.nyesel bangetlah 🙁
kira-kira, kalo di bandung di mana ya novel mba ini masih ada? mohon dijawab segera ya,mba. sangat penasaran nih 🙂
Mas Faiz, coba cari di MMU – Mizan Media Utaama, distributornya Mizan kan di Bandung tuh…insyaAllah masih ada. Doakan menuliskan yg ketiga ya..:-)
tau sih mba,tapi kejauhan euy. MMU itu di pinggiran bandung. okelah.nanti saya sempatkan hunting deh 🙂
Iya Mbak, kami tunggu.. Nanti kasih kabar kalo ke Kalsel ya?
Buat Mas Fastaizbillah, ayo cepetan cari Takhta Awan…. Keren banget loh! Bab kedua udah bikin emosi keaduk. Mbak Shinta lebih detil mendeskripsikan fisik tokoh daripada di buku pertama.
Jazakumullah atas apresiasinya dek…doakan mbak dapat terus berkarya ya…
subhanallah, bahkan seorang sinta yudisia mengalami hal spt ini, tulisannya dikritik dan dibantai. apalagi saya yang masih belajar, mungkin dilirik editor (baca:penerbit) pun tidak.