Setiap pagi, anak-anak kuminta setor hafalan.
Nis masih di juz 30, Ahmad masuk juz 29 sementara Ayyasy juz 1. Inayah sendiri kuberi dispensasi sebab di kelas 3 SMP kesibukannya terlalu padat. Setidaknya, setiap malam dan ba’da Shubuh kuminta anak-anak meramaikan rumah dengan bacaan Quran.
Aku sendiri termasuk orang yang suka menghafal, terutama untuk surat-surat yang terkait dengan amal sholih dan jannah-jahannam. Setiap pagi atau sore, sembari menyusuri jalan Nginden-Bratang-Ngagel-Pucang- hingga sekolah Inayah lalu kembali ke rumah kami di daerah Rungkut; kulafazkan Sab’atul Munjiat. Membaca Quran sepanjang jalan kuharap bisa menenangkan fikiran agar tak gugup saat melintasi padat nya lalu lintas Surabaya.
Maka, ketika sebuah lembaga di kotaku mengadakan Genta Quran (Gerakan Cinta Al Quran), aku termasuk yang bersemangat mendaftar. Secara rumus, jika suatu saat menjadi terapis, setidaknya aku harus bisa mengobati diri sendiri. Salah satu syaratnya adalah memiliki sikap congruence-sebangun, dimana pikiran-perasaan-perilaku sama ibarat segitiga samasisi. Di dunia yang kompleks seperti sekarang, manusia butuh kekuatan ruhani yang kokoh dan tangguh agar sanggup berdiri tegak ditengah hantaman badai penyakit wahn. Menghafalkan Quran, adalah salah satu cara yang menurutku sangat ampuh untuk memiliki satu ketahanan mental-spiritual.
Dengan gagah berani, kudaftarkan diri di kelas tahfiz. Rabu hari itu, kuajak Inayah ba’da Ashar sepulang sekolah untuk menyambangi lembaga Quran. Sesekali anak-anak memang kulibatkan dalam aktivitas agar mereka tahu apa saja yang dilakukan ibu mereka di luar rumah, jika memungkinkan. Hari itu juga, aku menjalani placement test.
Ustadz Ali Ridho, yang jauh lebih muda dari usiaku, menguji kemampuan bacaan Quran. Meski malu –memangnya tidak malu diteliti secara detil di depan ustadz? - dengan segenap kemampuan kucoba kukerahkan bacaanku yang terbaik.
“Coba buka halaman 120.”
Kuikuti perintahnya, kubaca taawudz dan basmalah, dan…..
“Maaf Ibu, anda harus masuk kelas tahsin.”
Aku menelan ludah. Apa yang kutakutkan terjadi. Ups, kubeli buku panduan tahsin Quran, lalu aku duduk memojok di sudut ruangan. Inayah sedang disana sembari melepaskan penat.
Aku komat-kamit melantunkan al Fatihah, Al Falaq, An Naas, Al Ikhlas, dan surat pendek lainnya. Penuh rasa ingin tahu, Inayah melongok. Jujur kukatakan, aku masuk kelas perbaikan.
Tak kusangka mata Inayah membundar, melongo mulutnya. Kata-katanya meluncur begitu saja.
”Haaaah? Kelas tahsin? Iiiih, malu-maluin sih Miiiiii….”
Aku tersenyum kecut. Memang, dari dulu aku selalu takut ikut kelas tahsin sebab takut dan malu! Lagian, kilahku, aku kan bisa menghafalkan Quran sendiri. Sampai kemudian suatu rahmat Allah SWT aku bisa menginjakkan kaki ke Gaza dan mulai terpana, teori psikologi yang kugeluti perlu direvisi! Andai Sigmund Freud meneliti perempuan Palestina dan bukannya seorang wanita yang histeria; teori id-ego-superego pasti akan lain lagi bicaranya. Dan salah satu yang membuat perempuan, rumahtangga, struktur masyarakat hingga pemerintahan Gaza Palestina demikian solid dan bersih adalah…kedekatan mereka pada Quran. Termasuk menghafal.
Maka, tidak bisa tidak, aku harus menghafalkan Quran dan masuk suatu lembaga agar bisa lebih terjaga lagi kemampuan. Dan, kupikir, aku berada di kelas tahfiz.
Ternyata. Qalqalah kurang. Tasydid kurang tebal. Ha- ba- mim-kho’- dho masih harus diperbaiki. Panjang pendek? Huah, banyak dikoreksi.
Pantas saja Sab’atul Munjiat bisa selesai dari Rungkut ke Gubeng! Yah, sudah waktunya tidak bersombong diri sebab Quran hanya bisa diresapi dan dimaknai oleh orang-orang yang memang merendahkan diri dihadapan Tuhannya. Lagian, ngapain menghafal banyak-banyak kalau ternyata masih salah disana sini. Malu sama anak-anak yang rajin setor hafalan, bacaan mereka tartil sementara sang bunda masih tidak menjaga hak-hak huruf. Jadi, lebih baik anak-anak tahu bahwa ibu mereka berani mengakui dan belajar kesalahan demi meraih suatu kemuliaan. Perkara Inayah menganggap memalukan bahwa di usia 36 tahun aku ternyata masih harus tahsin…yah, memang seharusnya aku merasa malu bukan?
Malam hari kutelepon suami. Kukatakan aku mulai masuk kelas Quran. Dan ketika kujelaskan bahwa aku harus masuk kelas tahsin, reaksinya sama seperti Inayah.
”Haaah? Ummi masuk kelas tahsiiin?”
Jadi semangat untuk melakukan hal yg sama dengan putra-putri saya, yg berjumlah 4 juga.
Ada satu frase kalimat yg membuat sy tertarik : “Malu sama anak-anak yang rajin setor hafalan, bacaan mereka tartil sementara SANG BUNDA MASIH TIDAK MENJAGA HAK-HAK HURUF”
Semoga sukses mbak.
Iya…kalau pingin anaknya menghafal Quran, kita harus semangat juga 😉
Alhamdulillah,
Lama tidak berkunjung ke sini.
Terima kasih atas berbagi ceritanya.
Cerita ini telah melecut saya untuk segera masuk kelas Tahsin juga.
InsyaAllah, Pak. Fasatabiqul khoirot!
ini cerpen ato curhat colongan mba Sinta? 🙂
syukron sdh diingatkan
Cur Col mbak Ika….tau aja deh 😀
🙂
Satu nama dalam tulisan ini … “Ali ridlo”, seseorang yg sampai saat ini masih belum bisa kutemui. seseorang yg telah memberi saran2 ttg quran tempo hari, lewat e-mail. yah … 11 tahun telah berlalu.
Terimakasih mbak, telah berbagi. sungguh banyak inspirasi di sini.
” ….. “
kayaknya karya mb’ sinta, g’ da y g’ saya suka, curahan hatinya mba’ sinta aja keren….
” mari kita perbaiki “
Saling mendoakan ya dek…supaya bisa tetap fastabiqul khoirot, menghasilkan yg terbaik unntuk Indonesia ! 🙂