Ayahku, Lalu Said Islam adalah orang asli suku Sasak. ‘Lalu’ adalah sebutan untuk bangsawan suku Sasak. Harusnya, di depan namaku tercantum nama ‘Baiq’ Sinta Yudisia Wisudanti, ‘Baiq’ adalah sebutan untuk bangsawan putri. Hm, nama yang indah ya ?
Karena kami sekeluarga sejak kecil tinggal di Denpasar, Yogya, pernah di Madiun juga; hanya ayahku yang sering ke Lombok. Alhamdulillah, 19-21 Februari 2010 kemarin, aku berkesempatan kembali ke tanah kelahiran ayahku, sekaligus bertemu teman2 FLP dan berjumpa sanak saudara yang rata-rata…30 tahun tak pernah kujumpai lagi !
Kami mendarat di bandara Selaparang. Sayangnya, waktu mau jepret-jepret di bandara adikku bilang, “…iih, nggak usah, Mbak! Malu-maluin aja! Yang foto-foto wisatawan pake kamera, kita lho pake hape.” Begitulah kira-kira..
Lombok, Mataram, Selaparang, sekarang sudah jauh berubah. Mata wisatawan dunia mulai beralih pada pantai Kuta (Lombok) bukan Kuta-Bali, Senggigi, Titi Batu, pantai dan pegunungan Lombok yang masih perawan. Lombok dinyatakan pulau 1000 masjid karena masyarakatnya yang religius. Sebagaimana masyarakat Bali dimana kaum perempuan begitu hormat pada laki-laki, di Lombok, kita akan menjumpai betapa perempuan (terutama istri) begitu santunnya pada suami mereka.
Aku maluuu sekali sampai-sampai bilang ke suami, ”…Mas, aku mau mencontoh perempuan Lombok. Cara bicara dan penghormatannya pada suami luarbiasa. Ketika suami meminta ini itu, ”Nggih” adalah ucapan yang keluar dan mereka segera melaksanakan.” Bukan hanya perempuan tradisional, mereka yang berpendidikan tinggi, kuliah di luarnegeri, ketika menjadi masyarakat Lombok kembali; penghormatan pada ayah dan suami adalah utama. Aku, selama ini selalu berusaha menjadi ibu dan istri yang sholihah. Sekalipun, kami banyak berdiskusi dengan suami, berbagi tugas, saling mengingatkan, kadang berantem, berselisih, saling memberi nasehat, saling membangunkan sholat malam, dll kebiasaan yang kuanggap mampu menjadi tiang-tiang penunjang keluarga sakinah mawaddah warahmah; tak urung aku terkesima melihat perempuan Lombok.
Halus. Santun. Hormat. Terutama pada tamu dan…suami!
Di hadapan suami mereka tak membangkang, tak bersuara tinggi. Kesetaraan sosial? Feminisme? Hak asasi? Banyak perempuan Lombok sudah terdidik, menikmati pendidikan hingga sekolah ke luar negeri. Tapi kupikir, tradisi baik tak selalu harus dikalahkan dengan prinsip modernitas. Bagiku, perempuan yang mampu bersikap welas asih dan halus pekerti di depan suami dan keluarga; seperti memberikan mata air kesejukan di tengah arus deras masyarakat yang panas, penuh cacimaki dan tipu muslihat. Rasanya, demikian sejuk melihat para istri sibuk menyiapkan makan minum untuk sang suami. Rasanya, demikian damai melihat mereka tunduk patuh hormat pada kepemimpinan suami.
Tentunya, ada pula kondisi buruk yang terjadi ketika para suami justru memanfaatkan kelemahlembutan hati sang istri dengan kawin, kawin, kawin, beranak pinak lagi. Hal buruk semacam ini pantas untuk dieliminasi; tentunya tak semua budaya Indonesia buruk dan harus disesuaikan dengan masyarakat modern yang mengadaptasi nilai Western habis-habisan kan? Selain belajar menjadi perempuan sejati, bersikap lemah lembut, ahh.. ternyata bilang Nggih dan rendah hati di depan suami itu hal yang harus kembali kupelajari( apa diam-diam aku sudah jadi perempuan modern yang karena maunya serba cepat-tuntas-selesai-sempurna maka aku jadi nggak lembut lagi ya…?);
aku menikmati perjalanan Indonesia yang amat sangat kaya raya. Setelah menikmati Banjarmasin di bulan Desember & Januari yang kaya emas, batu mulia, batubara, sungai dll; aku kembali termangu menyaksikan Lombok, bagian Indonesia timur yang kaya : sawah, hutan, pantai, pegungungan, tanah yang subur, mutiara! Ow, I love Indonesia so much! Aku cinta padamu, Indonesia, tanah airku!
Selain bernostalgia, aku juga bedah buku Reinkarnasi & The Road to The Empire di Universitas Mataram, Lombok. Luarbiasa, meski persiapan demikian singkat, adik2 yang hadir sangat antusias, mencapai lebih dari limapuluh pengunjung. Aku juga bertamu para pengurus FLP Lombok : Alimin, Cipte, Yusdiana; para pejuang pena yang tak henti-henti menggerakkan kaum muda Lombok untuk terus menarikan pena di atas kertas mengikuti jejak para ulama.
Alimin, contoh anak muda FLP yang sukses membuka bisnis toko buku. Selain Lombok, ia juga punya toko buku di Bima. Cipte, sekarang sedang merintis FLP Lombok tengah, sedang menyiapkan novel dengan tema kedaerahan Lombok dan dunia keris yang pasti sangat kaya sejarah, keindahahan, makna dan filosofi. Yusdiana, akhwat manis ini adalah penggerak FLP Lombok barat yang luarbiasa. Sekalipun berasal dari Bima, ia masih ingin lebih lama berkiprah di Lombok barat, membesarkan FLP yang tercinta ini.
Assalamu alaikum,,
haii mba,,
aku suka banget sama karya mba,,
walopun cuma pernah baca dua buku,,
mba keren banget,,
mba inget ga antologi cerpen mba yang judulnya cadas kebencian?,,
it’s my favourite,,
nyesel banget dipinjemin ke orang lain,,
lama benget,,
ampe aku lupa siapa yang minjem,,
gitu ajja mba,,
assalamu alaikum,,
Wa’alaikumsalamwrwb. waaah, dek Ulfah, emang nyebelin banget kalo ada orang pinjem buku gak ngembalikan. PAdahal CADAS KEBENCIAN dah gak terbit lagi loh. Dan ssst…itu kumcer favorit mbak Sinta ! Nggak papa deh, semoga Ulfah dapat amal jariyah ketika buku itu dibaca oranglain dan berpahala. Doakan mbak terus istiqomah menulis ya dek….;-)
Subhanallah, tanpa sengaja mengetik key word flp lombok. Ternyata urutan teratas tulisannya Mbk Sinta. syukron. Ijin share fotonya mbk. Menulis tentang lombok memang Indah. Apalagi tentang sejarah Islam masuk NTBnya lebih seru, Sultan Bima, Raja Sumbawa, Kerajaan Selaparan, yang mendasari gerak mereka dengan Islam.
Sekedar info kalau pengen tau lebih banyak tetang Lombok, http://www.insid-lombok.com
Terimakasih, mas Hidayat 🙂
Sekedar info kalau pengen tau lebih banyak tetang Lombok, http://www.inside-lombok.com
Asss………….. Mbak Sinta, ini Ikbal anak FLP Palembang. Gmn kesannya di palembang waktu itu? wah Kapan mau ke Palembang lagi?