Apa itu yang menjadi respon anak kita?
Kadang-kadang? Sering?
Kalau sering, hati-hatilah.
Dibandingkan orang dewasa, anak-anak adalah pribadi rentan yang sangat membutuhkan perhatian istimewa. Itulah sebabnya Klinis Anak saat ini dimasukkan dalam Psikologi Perkembangan (meski masih terdapat beberapa perbedaan pendapat). Menangani anak-anak yang memiliki gangguan emosional, jauh lebih sulit daripada menghadapi orangtua yang stress.
Orangtua saat masuk angin, pusing, lapar, sakit apapun bisa bilang, ”Mama lagi capek, mau tidur dulu.”
Atau ketika orangtua sedang punya masalah, dengan blak-blakan berkata, ”Papa lagi banyak pikiran! Kalian jangan ribut! Tenang sedikit kenapa sih?”
Anak-anak tak bisa melakukannya.
Mereka sakit fisik mungkin masih bisa ngomong. Tapi apa mereka bilang kalau punya beban di hati?
”Nisrina lagi banyak pikiran Miiii..jadi jangan bentak-bentak aku!!”
Memangnya ada anak yang bisa ngomong begitu?
Tentu saja tidak.
Mereka menyerap, menyimpan, memendam, mengubur rasa sakit ketika dimarahi, disindir, tidak diperhatikan, diabaikan oleh lingkungan . Mereka berpikir tapi tak bisa menemukan jalan keluar melihat pertengkaran orangtua, melihat kekurangan orangtua, melihat beban orangtua.
Sesuatu yang mereka simpan baik-baik dalam diri yang paling dalam, pada akhirnya akan membentuk suatu dinding-dinding atau sekat. Kurt Lewin mengakatakan central cell yang membedakannya dengan peripheral cell. Central cell demikian rahasia, tersimpan paling dalam, tak mudah didobrak oleh apapun bahkan oleh waktu dan pengalaman.
Sigmun Freud, tokoh terkenal aliran psikoanalisa lebih dahsyat lagi mengatakan, kerusakan 5 tahun pertama nyaris tidak bisa disembuhkan! Jadi, berhati-hatilah, jika punya putra putri usia balita.
Erikson masih punya kata ’ampun’. Ia membagi tahapan usia manusia menjadi 8 tahap :
I. Basic trust vs basic mistrust (0-1 th) kepercayaan
II. Autonomy vs shame & doubt (1-3 th) kemandirian/otonomi
III. Initiative vs guilt (3-6 th) inisiatif
IV. Industry vs inferiority (6-12 th) ketekunan, kreativitas
V. Identity vs role identity (12-20 th) identitas
VI. Intimacy vs isolation (20-30 th) keintiman
VII. Generativity vs stagnation (30-65 th) kemapanan, kepedulian
VIII. Ego integrity vs ego despair (> 65 th) integritas
Di tahapan usia masing2 ada keunikan, tugas-tugas perkembangan yang seharusnya dilalui. Karena satu dan lain hal, tahap II tak bisa dilalui dengan baik. Mungkin orangtua terlalu sibuk, orangtua masih dibebani ekonomi sulit dsb. Maka tahap II ini akan menjadi ’hutang’ di tahap perkembangan yg berikut.
Katakanlah, kita memiliki 4 orang anak (seperti saya ). Dengan jarak 2 tahunan, otomatis anak pertama pasti akan mengalami kekurangan perhatian dengan 3 adik yg menyusul berikutnya. Saat seharusnya ia mulai bersikap mandiri, penuh inisiatif…..ternyata malah ngambekan, gak dewasa, suka berantem sama adik-adik, dsb tingkah laku yang mengakibatkan ia menerima tudingan,
”Kok kamu nggak bisa ngalah sama adik sih Mbak? Kamu kan udah gede..”
Nah, itulah harga yang harus kita bayar : kita harus melipatgandakan kesabaran, ketelatenan ekstra , kejelian untuk melihat bahwa ada sesuatu yang terlewat dari masa anak-anak mereka.
Ketika mempelajari teori Erik Hamburger Erikson ini, saya merenung tiba-tiba, mungkinkah saya melewati apa yg seharusnya kami berikan pada anak-anak? Logis saja, kaum muslimin tentu ingin memiliki generasi yang banyak, sebab generasi yang banyak ini kelak akan dibanggakan Rasulullah Saw. tetapi kadang kita lupa mengasah kemampuan, mengasah ilmu dan kesabaran sehingga banyaknya anak menjadikan kita lupa bahwa kita juga harus punya komitmen : menjadi ibu yang sabar, pintar dan terus menerus meningkatkan kualitas.
Pengalaman seorang teman ini mungkin bisa dijadikan renungan.
Anaknya, sebut saja bernama Yassir, masuk ke pesantren bersama kakaknya. Orangtuanya tak menyangka suatu saat Yassir melarikan diri, sembunyi di sebuah masjid, tak ingin balik ke pesantrennya. Padahal ayah ibunya sepasang orangtua yang cukup moderat, bukan tipologi otoriter.
Usut punya usut, begitulah ciri kepribadian Yassir. Ketika ditanya sebuah pilihan, apa saja –masalah yang besar seperti urusan sekolah hingga yang kecil-kecil macam makanan- selalu jawabannya hanya 3 : terserah, nggak apa-apa, lumayan.
Gimana makanannya, Sir ? Lumayan.
Kamu mau masuk pesantren? Terserah.
Kamu capek? Nggak apa-apa.
Kurang lebih begitulah respon Yassir.
Mendengar cerita ini bukan main terkejutnya saya! Sebab…anakku yang ketiga, Ahmad Syahid Robbani, adalah yang paling baik perilakunya di antara anakku yang lain. Ahmad ini paling bagus ibadahnya, paling kuat hafalannya. Bahkan demam tinggi pun masih minta ke masjid. Tetapi setelah peristiwa putra temanku, Yassir, aku kembali introspeksi apakah sebetulnya Ahmad itu tipologi yang demikian pasrah.
”Ahmad kok demam?”
”Iya.”
”Kuat sekolah?”
”Terserah Ummi.”
”Kuat ke masjid?”
”Terserah Ummi.”
”Ahmad mau makan apa?”
Ia angkat bahu.
Dibandingkan Inayah, Ayyasy, Nis yang lebih vokal dan ekstrovert….Ahmad memang yang paling pendiam.
Dan…..
Aku merasa nyaman tentram ketika melihat Ahmad mudah ’diapa-apakan’!
Ya Allah….peristiwa Yassir menyadarkanku. Jangan keenakan punya anak yang mudah diapa-apakan. Jangan-jangan ia tak berani unjuk suara karena takut dimarahi orangtuanya, keburu dicap anak paling sholih sehingga hal itu jadi beban untuk dirinya saat berbuat salah!
Aku berusaha memperbaiki diri dengan ilmu yang kupunya.
”Ahmad mau kemana?”
Ini ajakanku di akhir pekan.
”Terserah.”
Kupegang ia, kuhadapkan ke arahku, wajah kami berhadapan.
”Ummi nanya, Ahmad pinginnya kemana.”
Ia angkat bahu.
”Pingin ke kebun binatang? Atau makan di luar?”
Ia tak bereaksi. Menatapku.
Apa itu yang menjadi respon anak kita?
Kadang-kadang? Sering?
Kalau sering, hati-hatilah.
Dibandingkan orang dewasa, anak-anak adalah pribadi rentan yang sangat membutuhkan perhatian istimewa. Itulah sebabnya Klinis Anak saat ini dimasukkan dalam Psikologi Perkembangan (meski masih terdapat beberapa perbedaan pendapat). Menangani anak-anak yang memiliki gangguan emosional, jauh lebih sulit daripada menghadapi orangtua yang stress.
Orangtua saat masuk angin, pusing, lapar, sakit apapun bisa bilang, ”Mama lagi capek, mau tidur dulu.”
Atau ketika orangtua sedang punya masalah, dengan blak-blakan berkata, ”Papa lagi banyak pikiran! Kalian jangan ribut! Tenang sedikit kenapa sih?”
Anak-anak tak bisa melakukannya.
Mereka sakit fisik mungkin masih bisa ngomong. Tapi apa mereka bilang kalau punya beban di hati?
”Nisrina lagi banyak pikiran Miiii..jadi jangan bentak-bentak aku!!”
Memangnya ada anak yang bisa ngomong begitu?
Tentu saja tidak.
Mereka menyerap, menyimpan, memendam, mengubur rasa sakit ketika dimarahi, disindir, tidak diperhatikan, diabaikan oleh lingkungan . Mereka berpikir tapi tak bisa menemukan jalan keluar melihat pertengkaran orangtua, melihat kekurangan orangtua, melihat beban orangtua.
Sesuatu yang mereka simpan baik-baik dalam diri yang paling dalam, pada akhirnya akan membentuk suatu dinding-dinding atau sekat. Kurt Lewin mengakatakan central cell yang membedakannya dengan peripheral cell. Central cell demikian rahasia, tersimpan paling dalam, tak mudah didobrak oleh apapun bahkan oleh waktu dan pengalaman.
Sigmun Freud, tokoh terkenal aliran psikoanalisa lebih dahsyat lagi mengatakan, kerusakan 5 tahun pertama nyaris tidak bisa disembuhkan! Jadi, berhati-hatilah, jika punya putra putri usia balita.
Erikson masih punya kata ’ampun’. Ia membagi tahapan usia manusia menjadi 8 tahap :
I. Basic trust vs basic mistrust (0-1 th) kepercayaan
II. Autonomy vs shame & doubt (1-3 th) kemandirian/otonomi
III. Initiative vs guilt (3-6 th) inisiatif
IV. Industry vs inferiority (6-12 th) ketekunan, kreativitas
V. Identity vs role identity (12-20 th) identitas
VI. Intimacy vs isolation (20-30 th) keintiman
VII. Generativity vs stagnation (30-65 th) kemapanan, kepedulian
VIII. Ego integrity vs ego despair (> 65 th) integritas
Di tahapan usia masing2 ada keunikan, tugas-tugas perkembangan yang seharusnya dilalui. Karena satu dan lain hal, tahap II tak bisa dilalui dengan baik. Mungkin orangtua terlalu sibuk, orangtua masih dibebani ekonomi sulit dsb. Maka tahap II ini akan menjadi ’hutang’ di tahap perkembangan yg berikut.
Katakanlah, kita memiliki 4 orang anak (seperti saya ). Dengan jarak 2 tahunan, otomatis anak pertama pasti akan mengalami kekurangan perhatian dengan 3 adik yg menyusul berikutnya. Saat seharusnya ia mulai bersikap mandiri, penuh inisiatif…..ternyata malah ngambekan, gak dewasa, suka berantem sama adik-adik, dsb tingkah laku yang mengakibatkan ia menerima tudingan,
”Kok kamu nggak bisa ngalah sama adik sih Mbak? Kamu kan udah gede..”
Nah, itulah harga yang harus kita bayar : kita harus melipatgandakan kesabaran, ketelatenan ekstra , kejelian untuk melihat bahwa ada sesuatu yang terlewat dari masa anak-anak mereka.
Ketika mempelajari teori Erik Hamburger Erikson ini, saya merenung tiba-tiba, mungkinkah saya melewati apa yg seharusnya kami berikan pada anak-anak? Logis saja, kaum muslimin tentu ingin memiliki generasi yang banyak, sebab generasi yang banyak ini kelak akan dibanggakan Rasulullah Saw. tetapi kadang kita lupa mengasah kemampuan, mengasah ilmu dan kesabaran sehingga banyaknya anak menjadikan kita lupa bahwa kita juga harus punya komitmen : menjadi ibu yang sabar, pintar dan terus menerus meningkatkan kualitas.
Pengalaman seorang teman ini mungkin bisa dijadikan renungan.
Anaknya, sebut saja bernama Yassir, masuk ke pesantren bersama kakaknya. Orangtuanya tak menyangka suatu saat Yassir melarikan diri, sembunyi di sebuah masjid, tak ingin balik ke pesantrennya. Padahal ayah ibunya sepasang orangtua yang cukup moderat, bukan tipologi otoriter.
Usut punya usut, begitulah ciri kepribadian Yassir. Ketika ditanya sebuah pilihan, apa saja –masalah yang besar seperti urusan sekolah hingga yang kecil-kecil macam makanan- selalu jawabannya hanya 3 : terserah, nggak apa-apa, lumayan.
Gimana makanannya, Sir ? Lumayan.
Kamu mau masuk pesantren? Terserah.
Kamu capek? Nggak apa-apa.
Kurang lebih begitulah respon Yassir.
Mendengar cerita ini bukan main terkejutnya saya! Sebab…anakku yang ketiga, Ahmad Syahid Robbani, adalah yang paling baik perilakunya di antara anakku yang lain. Ahmad ini paling bagus ibadahnya, paling kuat hafalannya. Bahkan demam tinggi pun masih minta ke masjid. Tetapi setelah peristiwa putra temanku, Yassir, aku kembali introspeksi apakah sebetulnya Ahmad itu tipologi yang demikian pasrah.
”Ahmad kok demam?”
”Iya.”
”Kuat sekolah?”
”Terserah Ummi.”
”Kuat ke masjid?”
”Terserah Ummi.”
”Ahmad mau makan apa?”
Ia angkat bahu.
Dibandingkan Inayah, Ayyasy, Nis yang lebih vokal dan ekstrovert….Ahmad memang yang paling pendiam.
Dan…..
Aku merasa nyaman tentram ketika melihat Ahmad mudah ’diapa-apakan’!
Ya Allah….peristiwa Yassir menyadarkanku. Jangan keenakan punya anak yang mudah diapa-apakan. Jangan-jangan ia tak berani unjuk suara karena takut dimarahi orangtuanya, keburu dicap anak paling sholih sehingga hal itu jadi beban untuk dirinya saat berbuat salah!
Aku berusaha memperbaiki diri dengan ilmu yang kupunya.
”Ahmad mau kemana?”
Ini ajakanku di akhir pekan.
”Terserah.”
Kupegang ia, kuhadapkan ke arahku, wajah kami berhadapan.
”Ummi nanya, Ahmad pinginnya kemana.”
Ia angkat bahu.
”Pingin ke kebun binatang? Atau makan di luar?”
Ia tak bereaksi. Menatapku.
”Nanti gantian, kan biasanya mb Inayah ke toko buku. Mas Ayyasy juga suka buku. Mas Ahmad juga suka. Tapi, apa pingan ke toko buku lagi?”
Inayah dan Ayyasy bersorak,
“…………hore!Toko buku! Toko buku!”
Aku menatap anakku yang lain.
”Biar Ahmad yang memutuskan.”
Ahmad tampak ragu-ragu. Aku sendiri menanti dengan sabar, sebab ……….begitulah ia, lama memutuskan dan berbicara sehingga kami orangtuanya yang cepat menyimpulkan : oh , kalau begitu begini saja!
”Ahmad pingin beli lego, Mi.”
Ia menyebutkan mainan seharga sepuluh ribu rupiah yang ada di toko dekat rumah.
Aku bernafas lega.
Jadi, untuk anak seperti Ahmad dan Yassir, apa kita mau sedikit bersabar menggali kemauan mereka yang sesungguhnya bukan hanya berkisar seputar : terserah, lumayan, nggak apa-apa ?
”Nanti gantian, kan biasanya mb Inayah ke toko buku. Mas Ayyasy juga suka buku. Mas Ahmad juga suka. Tapi, apa pingan ke toko buku lagi?”
Inayah dan Ayyasy bersorak,
“…………hore!Toko buku! Toko buku!”
Aku menatap anakku yang lain.
”Biar Ahmad yang memutuskan.”
Ahmad tampak ragu-ragu. Aku sendiri menanti dengan sabar, sebab ……….begitulah ia, lama memutuskan dan berbicara sehingga kami orangtuanya yang cepat menyimpulkan : oh , kalau begitu begini saja!
”Ahmad pingin beli lego, Mi.”
Ia menyebutkan mainan seharga sepuluh ribu rupiah yang ada di toko dekat rumah.
Aku bernafas lega.
Jadi, untuk anak seperti Ahmad dan Yassir, apa kita mau sedikit bersabar menggali kemauan mereka yang sesungguhnya bukan hanya berkisar seputar : terserah, lumayan, nggak apa-apa ?