Kisah cinta dan pernikahan, selalu punya sisi unik –dan tragis- untuk dilukiskan. Kita sering mendengar betapa indahnya, betapa biasa dan normalnya, atau betapa menyedihkan kisah sepasang lelaki dan perempuan memadu kasih hingga akhir hayat atau bahkan hanya berselang bulan dan tahun.
Ada banyak kisah hikmah yang bisa diteladani, bahwa married is a gambling begitu pepatah barat dikenal. Pernikahan sama dengan judi. Tidak ada yang pasti, tidak ada yang tahu siapa akan menang, siapa akan kalah. Sebagian orang berkata, agama tolok ukur utama. Cukup banyak orang yang ternyata tidak mampu bertahan, padahal lelaki dan perempuannya sama-sama sholih. Sebagian beranggapan, komunikasi yang utama. Cukup banyak yang bertahan dalam pernikahan, komunikasinya bagus, tetapi emosi cintanya kering kerontang tanpa passion sama sekali. Ada yang bercerai disebabkan perselingkuhan, tak hadirnya anak , atau ketidakpuasan macam-macam.Lalu sebenarnya, di mana titik pernikahan mengalami keretakan, atau dimana titik perbaikan bisa dimulai?
Perceraian menyakitkan
Sepasang lelaki perempuan bercerai, karena putra mereka mengalami gangguan mental. Keduanya sepakat berpisah, sebab khawatir anak-anak yang berikut kemungkinan mengalami kelainan genetik. Keduanya sama-sama masih sendiri. Sang ibu ingin berkonsentrasi pada tumbuh kembang anaknya yang pastilah, menguras energi demikian besar. Pertanyaannya, kenapa harus berpisah bila hingga sekarang keduanya juga tak cari pendamping baru? Toh bisa tetap dalam ikatan pernikahan dan menjalani kesepakatan , tak akan punya anak lagi bila memang takut, salah satu membawa gen dengan kromosom rapuh.
Seorang perempuan A bercerai dari suaminya, sebab sang suami pemabuk berat. Meski, bertahun kemudian, perempuan tersebut mengaku ia menyesal berpisah. Di tangan istrinya yang baru, lelaki bekas suaminya sembuh dari ketergantungan alkohol dan mampu menjadi suami serta ayah yang baik. Andai dulu, ia bersabar mendampingi, mungkin saja hasilnya tak seperti sekarang (perempuan A itu sangat cantik, dan hingga sekarang belum punya pendamping kecuali berkali bertemu lelaki iseng yang entah kapan berniat serius)
Seorang perempuan S, sangat cantik, menikah dengan pria asing. Pernikahan yang membahagiakan sebetulnya, tetapi kontrak-kontrak dalam pernikahannya serasa tak masuk akal. Tak boleh punya anak? Pelaporan kekayaan? Agama sendiri-sendiri? Wah…
Banyak peristiwa hikmah yang membuat kita merenung, melihat bagaimana sepasang manusia berusaha menyempurnakan setengah agama. Sebagian berhasil berjalan kokoh di mahligainya, menghasilkan anak-anak cerdas berkepribadian. Sebagian berjalan langgeng di atasnya, dengan salah satu korban babak belur, dan syukurlah, anak-anak masih selamat. Sebagian bertahan dalam mahligai hingga akhir hayat, tetapi keduanya remuk redam, dan anak-anaknya meski selamat lahir batin harus melanjutkan hidup dengan catatan kepribadian yang harus terus menerus dipantau. Sebagian memilih berpisah. Sebagian memilih sendiri.
Siapa korban?
Setiap elemen keluarga menjadi korban ketika perpisahan terjadi. Meski dikatakan …”lelaki mah enak!”; bukan berarti bekas suami sama sekali tak merasakan sakit. Jika dulu, perselingkuhan dilakukan kaum Adam, sekarang kaum Hawa pun terkadang melakukan hal sama. Dampaknya, sang suami merasa terhempas. Begitupun sebaliknya.
Perpisahan, bagaimanapun kondisi sebuah keluarga, selalu menghadirkan rasa sepi dan sakit yang sembuhnya butuh terapi cukup lama. Kehilangan pasangan menempati urutan teratas dalam jenis ancaman post traumatic disorder, baik kematian atau perceraian. Sama saja, apakah perempuan atau lelaki, mengalami rasa sakit luarbiasa.
Angka perceraian
Departemen agama melansir angka yang luarbiasa tentang perceraian.
Bisa permasalahan ekonomi, beda pendapat, anak-anak dll.
Pertanyaannya : bagaimana perceraian bisa mudah terjadi? Tak satupun keluarga yang sama sekali tak punya masalah. Di usia pernikahan di atas 10 tahun, dimana dua petarung sama-sama kelelahan mengahdapi urusan anak-anak, ekonomi, keluarga besar, karier, masalah sosial dan juga adaptasi karakter; hadirnya orang ketiga yang hanya sesaat mungkin memberikan angin segar perubahan. Meski bukan selingkuh (sebab selingkuh biasanya melibatkan aktivitas fisik) tetapi sekedar flirting, floating, drifting away; ancaman perceraian atau perpisahan bisa terjadi.
Daftar penyebab perpisahan sangat beragam, mencengangkan, mungkin menggelikan.
Sekali lagi, kenapa pernikahan mudah berakhir perceraian?
Tidak bisakah ditunda 6 bulan, 12 bulan untuk merenung? Cukup banyak pasangan yang usai bercerai, mereka menyesal telah berpisah dan merasa, pasangan hidup mereka yang berikut belum tentu sebaik yang pertama dulu. Andai….
Mahar?
Menggelitik juga ketika seorang teman mengemukakan salah satu pendapat, kenapa perempuan Indonesia atau pernikahan mudah terancam bubar. Agama adalah syarat utama pemilihan pasangan. Sebab, seorang lelaki sholih akan menjadi qowwan yang baik, seorang perempuan sholihah akan tangguh menghadapi gelombang kehidupan. Terus? Setelah bekal-bekal pernikahan macam kemampuan perempuan (memasak, mengelola rumah tangga, managemen keuangan, mendidik anak dll ); saling meng up grade diri, terus menerus berkomunikasi dan introspeksi;….masihkan pernikahan sama dengan judi yang dianggap tak dapat diramalkan berapa prosentase keberuntungan?
”Mahar perempuan harus tinggi,” ucapnya.
Excuse me?
”Mahar yang tinggi akan membuat lelaki berpikir dua kali sebelum menceraikan istri dan main-main dengan perempuan lain.”
Bukankah Rasulullah Saw menyebutkan bahwa sebaik perempuan adalah yang paling mudah maharnya? Ya…meski Umar ra pun pernah ditegur oleh seorang perempuan, ketika beliau akan menetapkan jumlah mahar maksimal.
Terus terang, ucapan teman X tadi bukan kali pertama. Saya sudah mendengar beberapa kali perlunya mahar jangan ’terlalu murah’. Sebagian teman menyitir pendapat Umar ra, sebagian bahkan menyitir pendapat yang ekstrim dan vulgar…yang maaf, saya tidak sampai hati menuliskannya di sini .
Tetapi, ketika seorang sahabat shalihah yang berkata, bahwa ia berkali-kali gagal menikah. Ia insyaAllah, ketika mengenal laki-laki langsung berniat tulus harus mencari pasangan hidup dan bukan sekedar iseng, dan sahabat shalihah inipun luarbiasa cantiknya; saya betul-betul jadi merenung.
Alexandria, salah satu kota di Mesir dikenal dengan perempuan cantik yang dikatakan sebagai the most beautiful woman in this world, bisa menetapkan standar mahar 80.000 pounsterling! Rasulullah Saw sebagai lelaki terhormat pun membawa mahar 700 ekor unta bagi bunda Khadijah ra.
Saya pribadi, tak menetapkan standar mahar tinggi.
Alhamdulillah, Allah SWT memberikan seorang suami yang hingga kini dan nanti (insyaAllah, amiiin…) menjadi qowwam bagi kami sekeluarga. Saya juga punya anak-anak perempuan, dan tidak berharap nantinya mereka akan punya standar mahar tinggi. Tetapai melihat para sahabat –baik lelaki atau perempuan- yang bercerai –meski perceraian itu salah satu pintu halal- timbul tenggelam pertanyaan di benak. Adakah suatu upaya efektif yang mencegah orang bercerai, bertahan beberapa waktu untuk merenung, memberikan kesempatan pada pasangan, anak-anak, orangtua mungkin, atau situasi untuk berubah?
Seorang teman, lelaki berkata,
”…saya membayar mahar tinggi untuk istri. Ia teman hidup saya. Saya tidak terlalu setuju perempuan memasang standar rendah. Mahar itu milik istri! Bisa disimpan kelak, ketika suatu saat pernikahan usai karena kematian atau perceraian. Mahar itu bisa ia simpan sebagai modal, atau sekedar kenang-kenangan dari seorang lelaki yang sangat menghargainya…”
Wah, saya salut padanya. Meski juga tak seberapa setuju.
Kita harus melihat kemampuan lelaki kan? Kalau ia dari kalangan sederhana?
”Justru itu,” ia bersikeras,” supaya kaum lelaki bergiat cari nafkah. Sekarang, banyak perempuan dituntu bekerja karena lelakinya nggak mau banting tulang!”
Ow.
Hm, begitu ya?
Saya hanya berasumsi lain.
Andai mahar perempuan tinggi, bisakah mencegah seorang lelaki berselingkuh? Setidaknya ia berpikir, ” istriku ini mahal lho harganya. Atau kalau aku mau kawin lagi, berapa duit yang harus aku kumpulkan?”
Andai mahar perempuan tinggi, bisakah mencegah seorang perempuan berpaling? ”Dulu suamiku sudah memberiku mahar besar, belum tentu nanti ada lelaki yang mau meminangku dengan ’harga’ setinggi itu.”
Tapi andai mahar perempuan tinggi, bisa-bisa banyak pemuda menunda menikah dan hal itu berpotensi memunculkan perzinahan,” nikah mahal amat! Kalau ngebet, tinggal ke Dolly bayar 200 ribu selesai!”
Terlepas polemik masalah mahar harus tinggi atau rendah, saya juga punya satu pendapat yang sedikit berbeda dengan pendapat para peminang perempuan Alexandria.
Bila, seorang pemuda mau mengumpulkan uang entah dinar atau poundsterling hingga puluhan ribu dollar demi kecantikan eksotis perempuan Alexandria yang bermata bintang, berkulit susu, bertubuh tinggi sempurna.
Berapa yang seharusnya dibayar oleh seorang pemuda untuk mendapatkan seorang gadis muslimah yang taat, qonitat, hafidzot, sholihat, shoimat? Berapa yang harus dibayarkan oleh seorang pemuda ketika ia memburu seorang muslimah sejati, daiyah, yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berkontribusi positif bagi ummat? Berapa yang harusnya dibayarkan lelaki ketika ia menyempurnakan setengah agama, dan juga mendapatkan orang yang akan memelihara dunia akhiratnya?
Sangat mahal tentu. Dan kalau ia tak bisa membayar dengan mahar mahal berbentuk materi, sang pemuda harus bisa membayarnya dalam bentuk menjadi qowwam, pelindung, penyayang yang pantas dan tentunya berjanji untuk setia memikul ujian.
So sweet.
saya belum menemukan alasan untuk setuju dengan pendapat yang mengaitkan antara perceraian dengan standard mahar yang ditetapkan oleh seorang perempuan bagi laki-laki calon suaminya. Perceraian adalah hal yang halal namun dibenci Allah, karenanya jangan dilakukan kecuali tidak ada jalan lain setelah ditempuh berbagai kemungkinan dan akan mendatangkan kemudharatan apabila terus dipertahankan. Mengenai mahar, seorang perempuan memang diperbolehkan meminta ‘apapun’ kepada calon suaminya ( tentu dalam batas wajar, dimana sang laki-laki mampu melakukannya ), namun seperti yang tertulis diatas bahwa sebaik-baik perempuan adalah yang memudahkan mahar bagi dirinya. Mudah tidak selalu sama dengan murah.
Jadi, untuk mencegah terjadinya perceraian, ingatlah kembali hukum perceraian itu sendiri. Jika ridho Allah yang dicari, maka akan berpikir berulang kali seseorang sebelum meminta / menjatuhkan cerai pada pasangannya.
Salam kenal,
Abi Sabila; seorang pembaca yang sedang belajar menulis.
Saya sendiri tidak menetapkan standar tinggi untuk mahar, PAk Abi Sabila. Mahar bisa disepakati antara lelaki dan perempuan. Hanya merenung saja ketika teman2 berdiskusi mengapa angka perceraian tinggi? Multi faktor tentu. Jadi tergelitik menulis ketika beberapa teman lelaki justru yang membahas masalah mahar dan justru mereka yang minta calon pasangannya untuk bersungguh2 menetapkan nilai mahar agar si lelaki tertantang , merasa menjadi orang yang istimewa ^_^