Masih adakah di antara anda yang menyimpan baik-baik mahar, hadiah pernikahan, atau baju-baju saat masih pengantin baru?
“Ummi, sajadahnya ketinggalan di masjid,” putriku berkata memelas.
Deg.
Waduh, saat itu padahal sudah pagi, hari kesekian bulan Ramadhan, sementara semalam kami tarawih bersama-sama. Jamaah ratusan. InsyaAllah tidak ada yang perlu dicurigai sebagai pencuri, tapi masjid kami sering didatangi orang dari berbagai penjuru wilayah sekitar kelurahan dan kecamatan. Mungkin saja mereka juga tak sengaja mengambil sajadah, lalu memang tak terjadwal sholat kembali ke masjid kami. Atau mungkin putriku menjatuhkannya entah dimana (usai tarawih biasanya bermain petak umpet di taman, masih mengenakan mukena lengkap)
“Ayo dicari!” pintaku, sedikit marah.
Kenapa harus sajadah yang itu?
Memang, sajadah di rumah kami banyak, hadiah dari teman-teman yang berangkat haji. Tapi sajadah mahar, salah satu favorit. Empuk, dingin, warnanya kuning tua dan hitam. Sajadah yang mungkin ada di rumah tiap kaum muslim, sajadah seribu ummat. Hehe….tapi yang ini ada sejarahnya.
Tiap ke masjid kami cari, kami lihat di lemari penyimpanan alat sholat, tetap tidak ketemu.
Yah, akhirnya ikhlaskan saja. Meski,
“tahu nggak sih, itu maharnya Abah ke Ummi?!”
“Maaf ya Mi…,” putriku merasa bersalah, matanya berkaca.
Toh ia tidak sengaja. Tapi, kenapa sajadah itu yang hilang? Kemarin-kemarin bawa beragam sajadah yang jauh lebih cantik, lebih bagus, lebih halus, nggak hilang?
Memang, barang-barang pernikahan kami mulai usang.
Daster yang kupakai di awal pengantin baru, ada dua. Satu biru bunga-bunga,satu coklat. Yang coklat sudah kupotong, kubuat menjadi rok. Sebab, tampaknya tubuhku berkembang dengan baik, hehe..Yang biru sudah sobek sana sini, dijahit, sobek lagi. Akhirnya kucuci, kusimpan dalam plastic, kuselipkan di lemari.
Mukena, adalah mahar lain dari suamiku tercinta. Ini pilihan special ibu mertua, sebuah mukena kuno yang langsung dipakai dari atas ke bawah, lengkap dengan lengan hingga menutup telapak tangan. Dihiasi bordir cantik, dan bahannya dingin. Kupakai selalu, kecuali saat haidh dan perlu dicuci. Sedihnya, setelah 18 tahun, pagi ini usai Dhuha, kulihat sudah demikian tipis. Tentu tak melengkapi syarat sahnya sholat bila dipakai terus. Ada banyak mukena di rumah, tetapi mukena mahar, adalah yang paling kusukai. Selain nyaman dipakai, sepertinya melengkapi memori indah kebersamaan keluarga kami dari hanya 2 orang menjadi 6 orang.
Mukena maharku, sepertinya harus segera dicuci, disimpan dalam plastic, dan disimpan di lemari.
Sama seperti usia yang semakin usang, barang-barang di sekeliling rumah kita pun lapuk dimakan usia. Tetapi, meski mahar pernikahan kita sudah tak layak pakai, tidak demikian kan dengan cinta kita pada pasangan? Cinta dapat tumbuh dan berkembang seperti kaktus, yang bahkan bisa tumbuh di cuaca ekstrim sekalipun. Pernikahan kita mungkin saja melalui beragam cuaca tak bersahabat, tapi seperti kaktus dan lumut yang bisa menyemai dimana saja, cinta kita pada pasangan pun begitu.
Eh, tapi gak ada salahnya minta mahar baru kan? (Peace!)
Iiih,, samaa… Ibu saya juga sangat menyayangi mahar pernikahannya, sajadah hijau lumut yang memang hanya Ibu yang punya otoritas untuk memakainya.. dan kami semua mafhum. Apalagi saat Bapak sudah ga ada 🙂
Kalimat penutupnya buaguuus… setuju!! 🙂 🙂
He, minta maharnya jangan mahal-mahal ya!
Mahar Bapak ke Ibu saya apa ya? *baru mikir*
gak usah dipikir. Yg dipikir maharnya Elam aja 😀
😀
biar maharnya awet, dari awal nikah ga usah di buka aja mbak wadahnya biar masih di plastik…,
he he…,
ngaco ni…,
tapi kalau baju dan perhiasan, eman-eman gak dipakai hehe…(mukena dan sajadah juga eman-eman kalau disimpan aja)
ya udah besok kalo aku nikah minta masukan mahar apa yang awet ma mbak Sinta.he…….
#hush…emang kapan nikah?
Mahar Sesuatu sulit dan susah juga mendapatkannya kerena kudu melewati peroses….
Bunda aku mau nanya… Jadi kemarin aku beli makanan terus aku gk ada uang kecil,aku pake uang kakak ku dulu. Dan gak taunya uang yg aku pake itu salah satu mahar pernikahannya. Aku mau jujur tapi aku takut bun…. gimana yah
Coba bilang terus terang ke Kakak. Kasih clue dulu. MIsal, “Kak, kalau misalnya adik pakai barang Kakak gak bilang, tapi bukan buat melakukan kejelekan lho. Kakak marah gak?