“Ummi, bagaimana jika temanku ada yang berpaham kiri?”
“Siapakah yang melanggar HAM, Mi? Apakah ketika pemerintah represif pada PKI, itu tidak termasuk melanggar HAM?”
“Mi, kita tidak setuju LGBT. Tapi mereka juga manusia. Bagaimana seharusnya?”
“Aku baca di media online, tidak apa-apa memilih pemimpin yang non muslim selama ia cakap. MAlah aksi 411 dan 212 itu hanya merupakan kepentingan politik saja.”
Permasalahan yang terbentang di hadapan kita semakin beragam.
Dulu, melepaskan anak-anak ke sekolah atau ke kampus, hati ini diliputi kekhawatiran akan hipnotis, digendam, diculik, mengalami bully-ng, atau dibegal. Belum lagi masalah keamanan tuntas 100%, kita dihadapkan pada issue-issue yang bagi kita, bertentangan dengan norma agama seperti LGBT. Terlepas ada pro dan kontra terkait issue ini, para aktivis, peneliti, komunitas dan penyuara HAM semakin gencar mewacanakan bahwa LGBT bukanlah satu disorder.
Kita bahkan masih harus terus melakukan edukasi kepada anak-anak terkait LGBT, bukan dalam pengertian memojokkan atau menghakimi, namun justru menyadarkan; datang lagi issue-issue lain yang tak kalah gencar menggempur dinding-dinding rumah kita.
Permasalahan freesex, LGBT, personality disorder seperti MPD (multiple personality disorder) atau DID (dissociative identity disorder) seperti yang digambarkan dalam film Split; seringkali dikaitkan dengan pola asuh. Kehadiran orangtua sebagai centre person dan ideal person menjadi faktor utama bahkan mungkin faktor penentu, akan seperti apa kepribadian, cara berpikir, bahkan perilaku anak-anak kita. Tetapi bagaimana kita dapat meyakini anak-anak sudah sangat memahami dan mengambil pilihan tepat terhadap issue-issue yang mungkin bertolak belakang dengan filosofi keluarga kita?
Janganlah merasa takut.
Sebab Allah Swt senantiasa menurunkan penyakit berserta obat, baik sakit fisik ataupun psikis. Segala sesuatu memiliki pasangan seperti sakit-sembuh, obat-penyakit, masalah-solusi. Apa yang mengancam di depan mata, sesunguhnya telah ada jalan keluar yang ditempuh para ulama-ulama terdahulu, para khalifah serta para negarawan kita. Saya coba sarikan dari beragam sumber, semoga bermanfaat bagi kita sebagi orangtua dan pendidik untuk membentengi keluarga dari issue negative yang bertentangan dengan filosofi yang kita anut.
Sejarah, Sejarah, Sejarah
Al Quran berisi sejarah. Jasmerah, kata Soekarno, jangan lupakan sejarah. Dalam Knowing Muslim Youth, salah satu ciri khas yang membentuk pemuda muslim adalah historical basic ( Herrera et). Sejarah Islam dalam semua aspeknya adalah ciri penting yang membangun jati diri anak-anak kita. Maka shiroh Nabawiyah, sejarah para pahlawan Islam seperti Shalahuddin al Ayyubi, Muhammad Al Fatih, HAMKA, Sudirman, Muhammad Natsir, dan tokoh-tokoh lainnya harus sering mengudara di di rumah kita.
Bukan hanya menyediakan buku-buku, tapi termasuk menyediakan waktu untuk berdiskusi.
Historical basic ini akan membentuk alur pemikiran yang terpatri dan memberikan nuansa bagi kita termasuk anak-anak dalam menyikapi sesuatu.
Muhammad Natsir misalnya.
Sikap santun dan rendah hati beliau membuat kehadirannya dinanti banyak orang. Meski berseteru keras dengan Aidit dan Ali Sadikin; di luar arena perdebatan mereka tetap bersahabat. Tidak ada kata kompromi untuk ideology yang bertentangan dengan agama namun bagaimana tetap harmonis menjalin hubungan dengan orang-orang yagn bersebarangan.
Dalam menceritakan kisah-kisah yang sensitive seperti bagaimana Indonesia menghadapi Komunis, bagaimana perang antar suku bahkan perang antar agama pernah pecah; perlu disampaikan dengan cara lemah lembut dan bukan emosional. Sisi-sisi kritis perlu dibangun, sekalipun tengah membangun fondasi kecintaan pada agama. Sesedikit mungkin hate speech disampaikan.
Bahwa Natsir dan Ali Sadikin pernah sangat bertolak belakang dalam hal halal haram, jangan disampaikan dengan nada penuh kebencian.
“Ali Sadikin pernah lho mengunjungi Natsir dan mengatakan kayaknya pak Natsir naik helicopter aja deh. Jalanan Jakarta saya bangun dari uang haram semua. Tuh, Ali Sadikin saja menghormati seorang ulama seperti Muhamamd Natsir. Seharusnya memang kita menghormati ulama ya…Para negarawan kita dulu termasuk Bung Karno sangat menghormati ulama. Meski pernah juga memenjarakan mereka.”
Sejarah adalah bagian dari dunia global. Sejarah adalah bagian penting dari agama. Sejarah adalah bagian penting bagi keluarga kita. Jadikanlah kisah-kisah sejarah yang spektakuler sebagai bagian dari pembentukan jatidiri anak-anak melalui historical basic.
Self Identity (minimize contradiction)
Bagian penting dari membangun jati diri anak-anak adalah melalui identitas dirinya atau self identity. Karena kita bicara anak-anak berarti rentang usia mereka antara kanak, anak, remaja; maka ketahuilah bahwa dalam proses pembentukan bukan hanya melalui proses ‘pembakaran’.
Seperti keramik, ada masanya diuleni karena adonan masih liat dan kenyal. Ada masanya mulai bisa dibentuk karena adonan mulai setengah keras. Ada masanya dijemur sebab adonan sudah dianggap jadi dan harus diawetkan. Pada akhirnya adonan dipanggang di oven bersuhu tinggi agar tahan lama dan tidak mudah pecah. Usai keramik jadi masih perlu dibubuhi cat warna warni termasuk pelapis kilat agar bukan hanya cantik ukirannya, kokoh bentuknya, multifungsi barangnya namun juga indah dan menarik mata dipandang.
Dalam membentuk definisi diri, minimalkan kontradiksi agar anak tidak terlalu bingung. Cara-cara ini ternyata dipakai untuk anak-anak muslim yang bahkan tinggal di wilayah inhospitable environment seperti wilayah Brooklyn, USA. Dalam Being Young, Muslim and America in Brooklyn (Bayoumi) peneliti mengatakan bahwa salah satu cara anak-anak muslim mendefinisikan diri adalah melalui self identity with no contradiciton. Bila anak muda umumnya suka music rock maka anak muda muslim di Brooklyn mencoba menggemari rap.
Beberapa putra saya sekolah di sekolah negeri. Ras, suku, agama bercampur jadi satu. Anak-anak muslim tidak semuanya berjilbab, tidak semuanya sholat. Meski demikian, abang dan adek berusaha beradaptasi dengan caranya sendiri.
“Temanku pernah bercerita tentang daging babi. Itu daging paling enak katanya,” ujar adek.
“Trus, kamu bilang apa?” tanyaku.
“Aku balik nanya, Mi. Daging babi itu kayak apa sih rasanya? Temanku balik nanya : kamu pernah makan bakso urat? Ya begitu itu rasanya. Enak kan? Aku cuma tertawa.”
Perbincangan daging babi, minuman keras, film porno, pacaran pada awalnya merupakan diskusi permukaan yang hadir di antara anak-anak yang tumbuh di lingkungan beragam. Anak-anak belajar membentuk identitasnya, dengan meminimkan kontradiksi antara teman sebaya. Namun perlahan-lahan, ‘di belakang anak-anak’ sebagai orangtua kita membantu proses identifikasinya.
Bila kita berkata : kok berteman sama teman yang seperti itu sih? Kan masih ada teman yang lain? Maka hal itu akan menimbulkan kontradiksi di awal : dia makan babi, tapi pintar matematika dan mau mengajari aku. Dia suka pornografi tapi sayang sama teman-temannya dan suka membelikan kue. Dalam hal ini pesan-pesan kontradiksi harus disamarkan dan sebaliknya, orangtua menjadi jembatan yang membantu anak-anak untuk memahami beragam variable dalam hubungan antar manusia.
“Temanku banyak yang nggak mendukung aksi 411 dan 212, Mi.”
“Memang banyak orang belum paham akar permasalahan. Kalau begitu, nggak usah bersikap frontal pada mereka. Kalau orang belum mengerti, belum paham, gak bisa dipaksakan.”
“Kok orang masih mendukung A*** ya, Mi? Temanku juga ada yang begitu.”
Diskusi tentang pemerintahan, tentang partai, tentang posisi kaum muslimin menjadi diskusi yang harus terus menerus diagendakan di tengah keluarga. Meminimalisasi kontradiksi bukan berarti menghilangkan identitas diri, namun saat terjadi benturan, ada baiknya mengajarkan anak-anak untuk tidak bersikap hitam-putih. Begitu banyak hal yang masih menjadi grey area, menjadi areal kebingungan bagi anak-anak muda yang harus diimbangi dengan penjelasan bijak dan terus menerus.
Radicalization without an Ideology
Hal lain yang sangat berbahaya bagi anak-anak adalah radikalisasi tanpa dasar ideology yang jelas. Kata-kata radikal pada awalnya bermakna kembali ke akar (radix = akar) , kembali ke awal, kembali ke filosofi dasar. Kini, radikal mengalami penyempitan makna sebagai faham keras tanpa kompromi.
Apa saja yang membuat anak menjadi radikal?
Sikap otoriter orangtua tanpa diskusi, tanpa cela, tanpa celah. Kata-kata pokoknya, yang penting, seharusnya dan yang sejenisnya akan membentuk watak keras yang tanpa alasan jelas.
“Apa pendapat ummi tentang LGBT? Bagaimana dengan pendapat ahli yang mengatakan bahwa gen tersebut diturunkan? Teman-temanku ada yang LGBT.”
Aku berpikir bahwa langsung mengatakan halal-haram akan mengunci diskusi ini. Aku khawatir, jika anak-anak mendapatkan informasi lain dan itu yang mereka pilih, maka akhirnya akan bertentangan dengan filosofi keluarga kami. Dalam Islam, LGBT telah menjadi hal yang disepakati alim ulama. Maka, menjadi kewajiban hamba beriman untuk menjalankannya
“Ummi percaya bahwa genetic ada yang diturunkan. Dalam konsep neurosains, beberapa genetik yang mempengaruhi temperamen manusia memang diturunkan. Bila orangtuanya agresif, anak punya potensi agresif. Bila orangtua skizofren, anak punya potensi skizofren. Bila orangtua introvert, anak cenderung introvert. Memang sifat-sifat genetis ada yang diturunkan. Tapi bukan selesai sampai disitu kan?
Kalau ada potensi skizofren, maka harus dikontrol. Ada potensi agresif maka dikondisikan bagaimana lingkungan, sikap, persepsi yang dapat mengurangi agresifitas. Demikian pula LGBT, kalaupun benar genetiknya diturunkan maka berarti dapat dikontrol dan dikendalikan. Artinya, tidak cukup bahasannya bahwa secara genetis diturunkan tapi apa yang akan kita lakukan selanjutnya?
Ayahmu keras dan pemarah, Nak. Itu diturunkan dari orangtua.
Tapi beliau menyadari usai marah dengan membaca istigfar dan mencoba melatih lebih dalam kesabaran. Sebab marah akan lebih mendekatkan pada neraka. Ayah nggak pernah bilang : ya pokoknya ayah pemarah! Kamu sebagai istri dan anak-anak jangan buat aku marah! Ayah gak begitu kan?”
“Terus kalau aku bertemu dengan teman yang LGBT bagaimana?”
“Tetap temani dia. Jadi teman curhatnya. Barangkali orangtuanya tidak punya waktu untuknya sehingga ia haus kasih sayang dari siapa saja.”
“Orangtuanya bercerai sih…”
Di kali lain anak-anak pernah bertanya tentang komunis.
“Mengapa di era Soeharto pemerintah bersikap represif terhadap PKI?”
Kujelaskan panjang lebar tentang komunis, sejak sejarahnya di Indonesia hingga sepak terjang mereka yang sering kali berbenturan dengan para ulama dan santri yang merupakan representasi Islam.
“Tetapi, apakah mereka harus ditekan seperti itu?”
“Pemerintah Indonesia memang sempat menghadapi beberapa tuduhan HAM. Ada Peturs di tahun 1980-an, ketika perampok berkeliaran dan polisi kewalahan. Akhirnya, penembak misterius menghabisi perampok walau terkadang ada yang salah sasaran. Begitupun komunis. Pemerintah akhirnya bertindak represif bahkan ke anak cucunya, sekalipun mungkin cucunya sudah tidak tau menahu. Ini sangat berkaitan dengan sejarah bangsa bahwa komunis beberapa kali melakukan pengkhianatan.”
Beberapa teman-teman anak kita mungkin memiliki ideology berbeda. Mungkin saja mereka penganut LGBT, mungkin saja mereka penganut komunisme. Memberi pemahaman yang keras tanpa penjelasan panjang lebar akan membuat anak pun menjadi radikal tanpa berlandas ideology yang benar.
“Pada akhirnya, Nak, Islamlah satu-satunya solusi. Sebab baik komunis atau kapitalis sama-sama memberikan pengaruh buruk pada msayarakat. Cina sekarang pun lebih berorientasi kapitalis sekalipun ideologinya komunis.”
Pembahasan menarik yang bergulir di tengah keluarga antara lain bab Cina.
Berita yang beredar di seputar whastsapp, line, media online seringkali membangun radikalisme tanpa ideology. Masih ingat beberapa hari lalu ada foto seorang pemuda yang mengatakan : aku mau beli Quran untuk ngelap tinja aku? Entah siapa yang memposting , yang pasti setelah ditelusuri alamatnya tak jelas. Bayangkan bila alamatnya diketemukan dan penghuninya ternyata sama sekali tak melakukan! Orang-orang radikal yang hanya dibesarkan dengan kebencian pastinya akan memberi hukuman tanpa ampun.
“Ummi punya teman-teman Cina sejak SMP. Mereka umumnya pekerja keras. Menghargai uang. Waktu di kampus, Ummi punya teman Cina yang kebagian tugas fotokopi. Fotokopi satu handout saat itu sekitar Rp1.800. Kalau kita orang Jawa, paling bayar 2000 perak dan 200 nya dii ikhlaskan aja. Tapi kalau teman ummi yang Cina nggak. Padahal dia laki-laki, dia menyiapkan recehan 100 perak yang dibawa dalam dompet besar. Setiap ada orang bayar 2000, dia kembalikan 200 perak. Kenapa dia berlaku demikian? Kalau Ummi yang jadi bendahara, malaslah. Tapi begitulah orang Cina, sangat menghargai uang.”
Anakku manggut-manggut.
“Teman-teman Cina Ummi kalau kuliah, serius, nggak main-main. Begitu mereka gak bisa serius kuliah, mereka mending kerja. Beda dengan kita orang pribumi yang rata-rata kuliah buat gengsi kan?”
Aku mencoba menanamkan dalam diri anak-anak bahwa orang-orang Cina memiliki etos kerja yang luarbiasa. Di Surabaya bagian barat berdiri sekolah dan kampus non muslim yang notabene milik Chinese. Kurikulum, SDM, orientasi mereka luarbiasa. Mereka lebih takut anak didiknya tidak bisa berbisnis dapirapa sekedar mengejar nilai UNAS.
Namun demikian, politik dan ekonomi tidak boleh dikuasai satu elemen saja.
Maka kujelaskan bahwa tidak semua orang Cina buruk, sebagaimana tidak semua orang Jawa itu juga baik. Bukan etnis Cina, Jawa, Bali, Batak yang salah. Namun salah bangsa Indonesia sendiri, salah kaum muslimin yang tidak mau bekerja keras masuk ke ranah politik, masuk ke ranah ekonomi, tidak mau bekerja keras membangun karier seingga terkalahkan di banyak sektor. Kalaupun di kasus 411 dan 212 salah satu yang menjadi pusat perhatian adalah gubernur dengan etnis Cina, tidak menjadikan seluruh warga berdarah Cina yang ada di negeri ini menjadi satu jenis stereotype.
Confusion vs Totalizing Structures
Meski kita masih membentuk anak-anak bagai menguleni lempung tanah liat, jangan biarkan juga mereka menjadi bingung. Struktur kepribadian dan mental anak-anak harus dibangun dengan totalitas.
Totalitas yang pertama adalah ketaatan pada Allah Swt dan RasulNya.
Tidak ada tawar menawar lagi bahwa Quran dan Sunnah adalah pedoman. Masalahnya, bagaimana cara kita menanamkan hal-hal penting berbau ideologis filosofis tetapi bukan sekedar radikal tanpa fondasi?
Suatu ketika, aku menyadari sesuatu.
Sebagai ibu aku kerap bersitegang dengan anak-anakku yang berpikir kritis. Mengapa kita gak boleh potong rambut model begini? Mengapa gak boleh boncengan cowok cewek? Mengapa harus ke masjid? Mengapa harus baca Quran? Aku beranggapan anakku benar-benar tidak Islami sehingga yang muncul saat itu hanyalah pertengkaran. Rasanya, percuma semua langkah psikoterapis yang kulakukan. Tidak ada hasilnya. Bahkan hatiku mulai menangis, mengapa doa-doa yang kupanjatkan seolah belum terjawab. Aku ingin punya anak sholih. Titik.
“Kalau kamu susah, cobalah buka Quran dan cari jawabannya disana,” saran ibuku
Aku coba lakukan itu, dengan niat memohon padaNya agar diberi petunjuk untuk memahamkan Islam pada anak-anakku.
Masyaallah, Allah memberiku ilham. Kubuka terjemahan. Yatafakkarun. Ya’qilun. Yadzdzakarun. Sering sekali kutemu ayat-ayat itu dan belum mneyadari bahwa itulah terapi yang cocok buat anak-anakku yang kritis dan ngeyel. Terapi kognitif. Ya, anakku mungkin salah salah memahami sesuatu, termasuk agama ini. Aku membangun radikalisme tanpa landasan ideology yang dipahami, sehingga ketika anakku menghadapi sesautu iapun akan radikal pula. Begitupun, ketika ia kebingungan terhadap suatu fenomena, struktur total kepribadian mental yang semula sudah kusanga kuat, ternyata rapuh.
Suatu ketika dalam keadaan nyaman, kutanya si abang.
“Kenapa kamu gak mau baca Quran sesuai target, Mas?”
Ia menjawab jujur , “soalnya Quran nggak menarik , Mi.”
Aku mengangguk. Menghormati jawaban jujurnya. Quran tidak menarik. Maka menjadi tanggung jawabku untuk menjadikan Quran menarik. Suatu ketika, anakku membaca tentang berita-berita online yang dipenuhi berita simpang siur. Ia sempat binilang : mana sih berita yang bsia dipercaya? Ia bingung. Disaat itu aku membaca surat al Maidah 41. Saat aku membaca terjemahannya, aku tertegun. Rasanya cocok dengan kondisi anakku.
“Mas, Ummi bacakan arti surat yang sedang Ummi baca ini ya. Intinya adalah, di zaman Rasulullah dulu pun, ada orang-orang yang senaaaaang banget berita hoax. Jadi, memang sudah watak manusia suka dengan berita-berita miring.”
Diskusi kami lumayan meriah saat itu mengaitkan hoax dnegan kisah dalam Quran.
Semenjak itu, setiap kali terkait satu kejadian dengan al Quran, aku jelaskan hubungannya dengan situasi-situasi terkini. Aku terharu sekali ketika beberapa hari yang lalu, si Abang memegang tanganku dan berkata, “Ummi, aku sudah membaca lebih dari target hari ini. Aku merasa lega dan merasa bersyukur sekali.”
Sebagai orangtua, aku tidak ingin membiarkannya berlama dalam keadaan confuse terkait Quran. Ia harus memiliki struktur pemahaman yang utuh tentang apa itu agama, Quran, Hadits dan menjadi tanggung jawabku sebagai orangtua mencari 1000 cara untuk menghantarkannya kepada pamahaman yang total.
Solidarity, Community, Collective Future
Di Kompas hari ini (01/02/2017), dilaporkan tentang Alexander Bissonnete, pemuda 27 tahun yang melepaskan tembakan di masjid Quebec City, Canada dan menewaskan 6 orang serta melukai 8 orang. Motif Bissonnette belum diketahui namun dari akun mesosnya dilacak ia pendukung Donald Trump, tokoh ekstrim kanan Perancis Marine le Pen, anti feminism, pendukung band Megadeath. Diberitakan bawa Bisonnette hanya memiliki teman adik kembarnya sendiri.
Aksi solidaritas bukan hanya sekedar turun ke jalan membela Suriah dan Rohingya.
Membangun komunitas, solidaritas bersama teman-teman sebaya, akan membangun jati diri siapa sebenarnya anak-anak kita. Begitupun membangun masa depan kolektif : apa yang kita inginkan? Indonesia seperti apa yang didambakan?
Kerapkali aku berdiskusi dengan ak-anak, mereka ingin jadi seperti apa di kemudian hari? Mereka inginkan Indonesia yang seperti apa?
“Aku ingin Indonesia jadi superpower. Karena Indonesia negeri kayaraya,” sahut anak-anakku bergantian.
“Aku ingin suatu saat Jepang, Cina, Korea yang malah bergantung sama Indonesia,” kata anakku yang lain.
Impian kolektif itu harus dibangun bersama dan tidak mungkin sendiri-sendiri. Si penyendiri akan lebih banyak berpikir dengan caranya sendiri, beranggapan langkahnya paling benar seperti Bissonnette. Dengan memiliki pemikiran kolektif bersama, anak-anak akan membangun diri dan lingkungannya. Akan tahu mana hal-hal yang mengancam diri dan bangsa.
Kudorong anak-anak yang sejak SD dan SMP untuk semakin giat ke masjid dan bergabung dengan remaja masjid. Collective future akan kita bangun bersama mulai dari rumah, RT, masjid kompleks dan akhirnya ke masyarakat luas. Collective future ini membutuhkan SDM andal yang bukan hanya kuat mentalnya dengan landasan aqidah dan akhlaq yang benar, tapi juga siap menanggung beban-beban amanah dengan cara bermoral dan bermartabat, juga professional.
Kudorong anak-anak bukan hanya aktif di sekolah tapi juga aktif di remaja masjid. Mereka harus membangun kesadaran kolektif bersama teman-teman sekolah, teman-teman media sosial, teman-teman remaja masjid, teman-teman karang taruna. Kesadaran kolektif ini akan membentengi anak-anak kita dan anak-anak tetangga, anak-anak di masyarakat kita bagaimana cara memilih : memilih pasangan hidup, memilih ideology, memilih pemimpin, dan pilihan-pilihan penting lain dalam hidup ini.