MENAWARKAN POLIGAMI PADA SUAMIKU

Catatan Perjalanan Cinta & Love Jurnal Harian mother's corner My family Oase Psikologi Islam Rahasia Perempuan

Sudah cukupkah kekuatan, harga diri, persiapan saat secara terbuka aku berkata ke suami?
“Mas sudah pingin nikah lagi?”
Hehe.
Baru tanya kok, belum tentu.
Tetapi, sungguh….membayangkannya saja sungguh berat dan benci. Menanyakannya membuat tercekat, tersedak, grogi. Menjalaninya apalagi!
Tetapi kakak kandungku, seorang lelaki yang berusia 40 an, juga mama tercintaku yang sudah berusia 70 an lebih –mereka lebih sarat pengalaman hidup tentu, dibanding denganku- suatu saat ke Surabaya. Pembicaraan kangen-kangenan berubah areal panas ketika membahas poligami. Ya, tak akan pernah ada titik temu. Apalagi abangku tersayang selalu mengaitkannya dengan surga dan surga! Membiarkan suami yang (mungkin) menginginkan wanita lagi tapi tak boleh memilikinya adalah dosa besar.
Ah.
Tetapi, sampai kapan aku yakin bahwa akulah satu-satunya perempuan yang dicintai suamiku? Suamiku, lelaki humoris yang kadangkala sering meledekku.
”Mas, kita sumpah sehidup semati, ya!”
”Yeee….gak boleh tuh, Inta! ” Inta adalah panggilan sayang suamiku untuk diriku. ”Kalau mati ya mati sendiri aja! Gak boleh bunuh diri dalam agama, ikut-ikutan mati.”
Suatu saat aku merajuk, kok lelaki menikah dengan yang lebih muda?
”Lho, kalau tujuannya untuk melahirkan generasi Robbani kan usia produktif 20an?”
Tentu aku menjerit ngambek. Sebel!
”Mas, ntar sulit bagi penghasilannya. Bagi harinya. Bagi rumahnya.”
”Tenaaang…mas cari yang mandiri. Dan jangan khawatir, jatah istri pertama sebagai permaisuri akan lebih banyak. Itu nanti mas syaratkan koq .”
Puas?
Mana mungkin.
Aku tak setuju. Tidak. No. Never. Enggak. Pokoknya E-N-G-G-A-K. TITIK. TANDA SERU.

PEMBICARAAN ITU

Pembicaraan selintas-selintas tentang poligami itu membuatku semakin berpikir. Benarkah aku akan menjadi yang satu-satunya? Apa yang akan terjadi andai suamiku berada di tempat lain, bersama perempuan lain? Sakit, tentu saja. Tak dapat kubayangkan betapa berderai airmataku. Bahkan, saat diskusi dan bercanda masalah poligami pun, seringkali berakhir aku menangis sambil memeluk suamiku erat-erat.
“Jangan pernah tinggalin aku ya…..”
Yeee.
Persis sinetron.
”Mas membuatku bahagia. Mas membuatku sempurna. Setiap hari, melihat mas tersenyum dan bangun ada di sisiku, rasanya lengkap dunia.”
Rayuan dan jurus maut apalagi yang akan kukeluarkan?
Suamiku tersenyum, memelukku.
“Enggak koq, Inta.
Mas nggak akan nikah lagi.
Mas cinta Inta. Nggak bisa berpikir bagaimana nanti Inta dan anak-anak.”
Aku tersenyum lebar.
”Tapi….Inta,
siapa yang bisa menebak takdir?”
Huhuhu….
Aku menangis lagi.
Dasar perempuan.
Biar penulis, biar psikolog, biar terapis. Selamanya aku perempuan. Dan begitulah perempuan. Hatinya dipenuhi cinta, bukan rasio…

APA YANG HARUS KULAKUKAN?

Saran abangku mungkin akan ditentang feminisme.
”Cobalah Sin, buka pembicaraan. Kamu nggak boleh terus menerus berpura-pura bahwa poligami itu nggak ada.”
Masku yang bekas preman, raja jalanan, mungkin lebih arif memaknai hidup versinya sendiri.
Yah.
Aku mencoba membuka pembicaraan masalah poligami.
Sakit. Terhempas. Itu mesti.
Surga? Siapa yang tak mau. Tapi haruskah lewat itu?
Meski tak setuju, aku mecoba tak lagi menolak syariat yang satu ini. Selamanya pasti tak setuju, tapi setidaknya aku mencoba membuka diri. Aku dan suami berdiskusi, kira-kira perempuan macam mana yang kelak dipilih, andai takdir itu terjadi?
Muda, tua, lebih kaya, lebih cantik, lebih pintar?
Aku tak tahu.
Siapakah dia? Seorang dai, guru, dokter, muslimah, mualaf?
Aku tak tahu.

YANG KUINGINKAN
Adalah menjadi orang yang pertama tahu, bukan orang yang terakhir.
Adalah hubungan kejujuran, bukan kepalsuan.
Adalah sebuah ikatan suci, bukan sekedar nafsu (meski kata bapak-bapak pilih yang muda emang gak boleh?)

Siapkah aku?
Saat ini belum.
Anak-anak masih membutuhkan figur ayah, akupun demikian.
Kapankah aku siap?
”Nanti saja kalau aku mati ya, Mas,” itu kataku.
Aku berharap, aku menjadi satu-satunya istri suamiku.
Tetapi bila ternyata sebuah garis berkata lain, semoga, aku siap menjalani dengan segala kosekuensinya. Aku yakin, suami-suami kita adalah orang baik dan sholih. Bertahun-tahun , belasan tahun mereka tak pernah mencederai kita. Menjaga agama kita, menjaga cinta dan kehormatan kita. Semoga, para suami ini, bapak dari anak-anak yang lahir dari rahim kita;bila memutuskan berpoligami, akan memilih perempuan sholihah.

Bukan sekedar muda, cantik, nafsu.
Meski diperbolehkan.
Sebab, sang permaisuri, istri pertama, telah mengorbankan bagian terpenting dalam hidupnya.
Feeling. Perasaan.
Tidakkah tersisa bagi kaum Adam keinginan sedikit untuk memahami?
Ketika seorang lelaki mengambil perempuan kedua sebagai istri, maka perasaan istri pertama –betapapun cantik, kaya, terhormatnya ia- akan tercabik berkeping? Tidakkah suatu akhlak mulia menghormati istri , sang permaisuri, dengan mengambil partner kedua yang sholihah, bertanggung jawab? Bukan sekedar tampilan fisik semata.

Poligami, tak akan pernah mencapai titik temu antara perempuan lelaki.
Setidaknya, meminimalkan friksi dan menghormati perempuan, adalah tindakan terpuji.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *