“Apa yang harus saya lakukan? Teman saya kehilangan orangtuanya yang wafat karena Covid. Kalau ortu sakit lama, tentu bisa menyiapkan diri. Tapi meninggal karena Covid, begitu cepat mendadak. Saya sendiri sering dilanda kecemasan, takut kehilangan orangtua saya.”
23 Juli 2021 mengisi acara kemuslimahan yang diselenggarakan PWK ITS. Mahasiswi penanya tsb, menangis. Ia yang sudah memasuki usia remaja akhir dan masuk ke dewasa awal saja merasa dag dig dug. Takut kehilangan orangtua. Takut kehilangan orang yang dicintainya.
Apalagi anak yang masih SMA. SMP. SD, bahkan TK.
Tak terbayangkan rasanya.
Di hari-hari biasa, kehilangan orangtua akan menghadirkan simpati. Orang-orang mengulurkan tangan, membantu materi, menawarkan menjadi orangtua asuh. Bantuan finansial mengalir, dukungan dari banyak pihak didapatkan : guru-guru, pihak sekolah/kampus, saudara besar, tetangga, handai tolan.
Wafat karena covid?
Bahkan kematian demikian senyap. Pemakaman terasa asing. Anak yang kehilangan orangtua tak melihat orang-orang merawat jenazah orangtua mereka, memandikan, menyolatkan. Tak ada kerabat datang menghibur.
“Duh, ortunya wafat karena covid. Jangan-jangan anaknya juga positif. Gimana mau merangkul mereka? Mau memeluk?”
Bantuan finansial, tentu tak sama seperti hari-hari biasa. Masing-masing orang sedang kepayahan mengurus diri sendiri dan keluarganya. Apalagi jika ada yang sakit, mencari tabung oksigen sudah merupakan perjuangan spektakuler bagi sebuah keluarga.
Kehilangan orangtua karena covid sudah sangat memukul. Sejak divonis sakit, serangkaian protocol kesehatan memang harus diterapkan. Diisolasi, diasingkan, dipisahkan dari orang lain untuk menghindari penularan. Kontak fisik ditiadakan, bahkan kadang komunikasi terputus 100%. Apalagi bisa si pasien harus masuk kamar ICU, tanpa ada kerabat yang menemani. Karena kerabat yang lain juga tengah diisolasi. Ya Allah. Terbayang betapa bingungnya seorang anak yang tetiba menghadapi kenyataan ini.
Dua pekan lalu ia masih memiliki orangtua, lalu tetiba orangtuanya lenyap dibawa ke RS. Tak ada kabar berita, lalu pemberitahuan terakhir orangtua telah tiada. Hanya tersisa makam dengan nisan bertuliskan nama yang tak ingin dipercaya.
Vino bukan satu-satunya.
Saya sendiri mendampingi beberapa anak yang orangtua mereka wafat karena covid. Pikiran saya sebagai psikolog dan konselor terbelah-belah, tenaga pun terbagi-bagi. Namun, segala kendala tak boleh menjadikan kita lalai dari merumuskan langkah-langkah penting. Keputusan besar.
Anak-anak ini adalah asset bangsa. Orangtua mereka syahid dalam wabah (tha’un) dan jelas mereka anak-anak istimewa. Sebagai orangtua, psikolog, penulis dan bagian dari anggota masyarakat, saya terpikir beberapa hal.
- Layanan konseling psikologi online untuk anak-anak.
Anak-anak ini pasti kebingungan. Walau orangtua mewariskan harta besar, mereka tetap akan merasa sangat kehilangan. Layanan konseling psikologi yang khusus menangani anak-anak ini perlu segera diluncurkan. Para psikolog dan relawan yang memiliki kepekaan terhadap anak-anak, bisa terlihat di sini.
Hotline , call center, layanan oleh lembaga zakat, layanan komunitas dll dapat menjadi bagian dari solusi ini.
Membutuhkan kesabaran khusus untuk menangani anak. Sumber link
Pelukan hangat akan menenangkan anak. Sumber link
2. Shelter psikologis.
Di barat dikenal foster family dan orphanage; bila tidak ada keluarga besar yang menampung.
Bila kita ingin mengadopsi konsep tersebut, memang perlu menimbang beberapa norma. Dalam Islam misalnya, dikenal konsep aurat sehingga tak bisa menitipkan anak pada foster family jika anak-anak mulai aqil baligh. Namun jika anak-anak belum aqil baligh, masih bisa dititipkan di foster family. Lalu, bagaimana jika kakak adik beda tahapan usia? Tentu ini perlu menjadi pertimbangan. Jangan sampai kakak dan adik dipisahkan, karena mereka telah kehilangan orangtua.
Shelter psikologis bisa berupa Yayasan anak yatim, Yayasan dhuafa atau sejenisnya. Bukan hanya memperhatikan pasokan fisik tetapi juga sangat memperhatikan kebutuhan psikis anak-anak.
Bagi yang ingin tahu seperti apa foster family, saya sarankan menonton film Shazam. Film superhero yang berbeda, karena salah penekanan film ini adalah bagaimana hubungan anak dan orangtua dalam foster family.
Foster family dalam film superhero Shazam digambarkan sangat manis.
3. Dukungan materi
Ada banyak kehilangan dari seorang anak yatim/ piatu. Kebutuhan gizinya, kebutuhan akademiknya bisa terbengkalai. Belum lagi bila si anak ingin sesuatu seperti ingin beli mainan, ingin beli jajan dan kebutuhan sekunder/tersier yang seolah tak penting namun dibutuhkan.
Kebutuhan materi ini juga perlu diperhatikan kita bersama agar anak yatim/piatu tidak kehilangan hak-haknya. Tentu, dengan tetap memperhatikan keseimbangan antara donator dengan kondisi riil di lapangan.
4. Dukungan immateri
Dukungan ini sangat penting dan sering kali melelahkan.
Anak yang menangis dan meratapi orangtuanya terus menerus, bahkan yang histeria dant trauma, tentu membutuhkan pendampingan khusus yang menyita waktu dan energi. Bagi berbagai institusi (Yayasan, lembaga zakat, komunitas) perlu membuat SOP agar dapat mendampingi anak-anak ini secara berkesinambungan. Seringkali, perhatian tertumpah di awal-awal waktu saja karena rasa simpati yang begitu besar. Rasa iba akan kehilangan orangtua dan melihat anak-anak ini seperti anak ayam kehilangan induk.
Seiring berjalannya waktu, perhatian kita pupus oleh agenda lain padahal kebutuhan anak-anak ini terhadap pendampingan justru semakin besar. Apalagi jika anak-anak memasuki masa remaja, atau masuk usia sekolah; masa-masa krisis kepribadian yang dihadapkan pada berbagai pilihan sulit.
5. Pembentukan relawan
Kondisi saat ini tak mungkin hanya ditangai satu pihak. Pemerintah akan kewalahan menghadapi berbagai macam dampak pandemic. Ekonomi dan kesehatan yang membutuhkan fokus utama, sudah pasti harus ditangani pemerintah. Anak-anak terlantar seharusnya ditangani negara. Tapi bagaimana bila pemerintah tak cukup punya akses sampai warga paling pelosok, atau warga yang tidak terdata? Psikiater, psikolog, kementrian sosial boleh jadi kewalahan oleh gelombang kasus dan juga burn out.
Relawan-relawan yang merupakan “darah segar” dapat diberdayakan. Mereka bisa jadi pelajar, mahasiswa, fresh graduate, lansia yang masih sehat dan produktif. Orang-orang difabel yang fisiknya terbatas namun memiliki kemampuan untuk mendampingi dengan kesabaran, atau bahkan para veteran covid 19 yang pernah mengalami trauma parah lalu bangkit dan sekarang ingin berbagi kekuatan.
Saya membentuk komunitas Ruang Pelita sejak tahun 2011.
Akronim dari Ruang Pendampingan Psikologi & Literasi. Selama ini fokus di berbagai acara untuk anak muda yang bertema kekoreaan dan jejepangan. Selama pandemic, Ruang Pelita turut membantu menggalang dana untuk masker, APD, mengumpulkan ponsel bekas. Kali ini menggalang dana untuk #bantuoksigen
Mungkin, tidak banyak yang bisa kami berikan.
Tapi komunitas-komunitas kecil seperti kami yang banyak tersebar di berbagi penjuru Indonesia insyaallah bisa membantu pemerintah untuk mengatasi gelombang pandemic dengan segala dampaknya. RuangPelita ke depannya juga ingin mendirikan shelter psikologis yang dapat mendampingi anak-anak yang trauma karena covid.
Pandemic covid 19 tidak hanya menyisakan tantangan besar di dunia kesehatan dan ekonomi secara global. Permasalahan psikologis merebak di mana-mana. Banyak sekali tenaga kesehatan yang depresi bahkan trauma menghadapi pasien seiring tingginya angka kematian.
Bagaimana dengan anak-anak?
Mereka kerap diabaikan, namun kelompok paling rentan ini sesungguhnya kelompok yang sangat membutuhkan uluran tangan. Dengan tulisan ini saya berharap banyak pihak akan saling bersinergi untuk membantu anak-anak yatim/piatu Covid 19 agar sembuh dari trauma dan bangkit menyongsong masa depan.
Link gambar kiri atas, kanan atas, kanan bawah, kiri bawah
#covid19 #coronavirus #survivorcovid19 #penyintascovid19 #helpchildrenofcovid19 #helpchildren