Muslimah : Celana Panjang, Rok atau Jubah?

Artikel/Opini Bunda Cantik. Beautiful Mother Catatan Jumat Hikmah Oase PSIKOLOGI. PSYCHOLOGY Rahasia Perempuan Remaja. Teenager WRITING. SHARING.

Putriku membagi link sebuah diskusi hangat di media sosial tentang muslimah yang memakai celana panjang. Muslimah tersebut dikritik oleh senior dan teman-temannya karena  menggunakan pakaian yang dianggap tidak Islami. Aku sendiri bukan orang yang sangat faqih dalam hal agama, tapi berupaya menimba ilmu sedikit-sedikit dan menyempurnakannya.

Sebetulnya, bagaimana sih muslimah seharusnya berpakaian?

Apakah ia harus berupa jubah panjang, longgar, bewarna hitam, dengan jilbab menjuntai hingga melewati panggul? Ataukah boleh menggunakan atas bawah seperti rok SMA, seragam instansi resmi PNS, atau menggunakan celana panjang?

Aku tidak akan membahas detail tentang kajian Quran dan Hadits sebab memang kafaah ilmu pengetahuanku bukan disitu. Aku lebih ingin mengupasnya dari sudut pandang psikologi dan parenting, juga tentang human-development yang menyisir usia wajib berhijab : usia aqil baligh.

 

  1. Konsep Belajar

Busana muslimah, berhijab, berjilbab ; adalah sebuah langkah dalam sekian banyak rangkaian dalam agama Islam. Sebagai muslim dan muslimah kita wajib belajar tentang agama. Mulai belajar bagaimana membaca Quran dengan tartil, membaca tafsir, membaca hadits sampai memahami fiqih, shirah dan segala hal terkait agama ini.

Belajar mencakup pemahaman tentang proses, tujuan, membentuk pengetahuan, berpikir strategis hingga metakognisi tentang materi ajar yang dimaksud.

Belajar agama berarti meliputi proses, tujuan belajar agama, membentuk pengetahuan, berpikir strategis hingga metakognisi.

Aku ingat, bagaimana pertama kali dulu semasa SMA masuk kelas rohis dan mendapat pelajaran tentang busana muslimah. Terus terang aku tahu wajibnya busana muslimah dari teman-teman lain, belum membaca langsung ayat tersebut dari Quran. Maka aku mengalami tahapan belajar.

Celana kulot.jpg

Proses, tidak serta merta langung berjilbab saat itu. Sebab aku masih mengumpulkan informasi, masih tengok kanan kiri, masih lihat apakah sohib karibku pakai jilbab  atau enggak. Setelah sampai di satu titik : ya. Kayaknya aku harus pakai jilbab. Karena apa?

Karena pengalaman pribadi.

Seseorang terkadang sampai di titik agama, karena berbagai jalan yang berbeda. 1001 cerita orang pakai jilbab tak akan sama. Akupun demikian. Waktu itu, ayahku meninggal, meninggalkan kepedihan yang dalam. Maka aku hanya berpikir simple : masa’ aku nggak akan membahagiakan ayaku dengan menjadi gadis shalihah? Maka aku menggunakan jilbab agar ayahku tenang di alam baka. Barulah kemudian sedikit demi sedikit aku memahami wajibnya busana muslimah.

Langsung pakai rok?

No way.

Lha, enggak punya.

Aku anak pecinta alam, pegiat kempo dan suka nonton bioskop. Kebanyakan punya celana panjang. Kalau nunggu punya rok baru pakai jilbab, bisa jadi berthaun-tahun kemudian baru pakai jilbab! Saat itu kupikir, yang penting ada pakaian panjang, aku anggap itu jilbab.

Ada celana jins panjang, pakai aja.

Ada baju lengan panjang, entah itu sweater atau kemeja, pakai aja.

Ada sembarang kain yang bisa dipakai kerudung, pakai aja. Entah bahannya katun, linen, atau bahan plitat plitut yang butuh puluhan peniti hahahah. Pernah aku pakai jilbab yang entah apa nama bahannya. Pas di tempat les, bolak balik melorot ke belakang hingga rambutku menyembul semua!

Yang penting, pakai baju panjang, plus kerudung. Titik.

Itulah proses.

Barulah kemudian , ketika kuliah dan bisa menabung sedikit demi sedikit, aku beli jilbab yang pantas. Rok-rok dan blus, diberi tanteku dan mamaku yang modelnya…..alamak, encik-encik buuuuangetttt. Tuwek! Tapi yah, terima aja. Hitung-hitung nambah koleksi busana muslimah.

Maka aku faham, ketika sekarang melihat ada anak remaja putrid menggunakan beragam jilbab.

Jipon, jilbab poni yang masih memperlihatkan poni.

Jilbab lempar, yang ujung-ujungnya dilempar ke belakang.

Jilbab satu peniti, yang disemat di bewah leher, dan masih memperlihatkan kulit leher dan dada.

Dan jenis jilbab yang lain.

Apakah jilbab yang belum syari itu berdosa?

Wallahu’alam. Hanya Allah Swt yang tahu.

Hanya Allah yang tahu apakah itu pahala ataukah dosa, ketika aku masih pakai celana panjang ketat dengan kemeja dan jilbab ala kadarnya ketika tak ada seorangpun saat itu yang bisa mendampingku pakai jilbab.

Hanya Allah yang tahu apakah itu pahala dan dosa, ketika aku masih bongkar pasang jilbab, karena tersudut teman-temanku semua belum pakai jilbab.

Hanya Allah yang tahu apakah pahala dan dosa, ketika aku jatuh bangun bongkar pasang jilbab, belajar terus tentang Quran dan Hadits lalu mencari tahu apa dosanya orang tidak berkerudung?

Tetapi sekarang aku menyadari, tak ada manusia yang bisa baik sekali jadi. Langsung muslimah taat, keren, shalihah, ghadul basar, hafal quran, membasahi lisan dengan dzikrullah, menjadi pemateri dan motivator agama.

Akulah itu, yang pertama kali pakai jilbab cekikikan bersama teman-teman, hadir ke majlis taklim karena pemateri rohisnya mahasiswa yang keren.

Akulah itu , yang masih suka koleksi music dan kelayapan di bioksop, dengan jilbab tersemat di kepala.

Akulah itu, yang masih suka gossip sana gossip sini, meski sudah mulai ikut pengajian.

Tetapi berminggu, berbulan, bertahun kemudian; apa yang berubah.

Jilbab awut-awutan gak karuan, yang penting asal pakai entah syari entah tidak, mulai berubah lebih santun dan indah. Lebih menutup aurat. Dengan rok, blus panjang dan jilbab yang juga menutup dada. Kalau pakai lengan ¾, memakai deker. Awal kuliah, ketika pakai kulot atau celana, kuusahakan mengenakan kaos yang panjang bajunya hingga hampir lutut.

Bersamaan dengan busana muslimah itu, ahklakku membaik. Ilmu agamaku meningkat. Dan kebiasaan buruk seperti gak peduli pada orang, bicara sembarangan, bicara menyakitkan, boros, suka menghabiskan waktu untuk music dan nonton; berganti dengan aktivitas lain yang lebih produktif. Bukan berari aku sekarang jadi orang suci yang gak pernah bicara pedas atau gak pernah marah, sama sekali gak dengar music dan nonton film, ya!

Dulu kalau seminggu gak nonton film 2 atau 3 kali, rasanya suntuk. Sekarang santai aja. Sebab hiburan juga beragam, terutama baca buku. Baca biografi sangat mengasyikkan. Nonton film kalau dulu apa aja diembat, sekarang lihat reviewnya dulu. Rotten tomatoes bagus? Oke. Ada waktu? Oke. Udah download? Oke. Karena nonton di bioskop sudah gak sempat. Males hehehe.

Film-film seperti Spotlight dan Split yang sangat dekat dengan dunia menulis dan psikologi, menjadi film wajib tonton. Dan kutonton itu di rumah. Tak gak harus di bioskop, aku nunggu sampai bisa download gratis .

Proses itu sungguh panjang. Kalau dihitung-hitung hingga sekarang, kurang lebih 25 tahun lebih sudah aku berjilbab. Dan rasanya masih saja ada yang kurang dari proses beragama-ku.

Proses, tujuan belajar agama, membentuk pengetahuan, berpikir strategis hingga metakognisi. Proses, tujuan dan membentuk pengetahuan tentang agama , khususnya jilbab sudah kulalui.

Muslimah Fashion 2.jpgBerpikir strategis tentang jilbab?

Nanti gimana ya aku dapat jodoh.

Nanti gimana ya aku kerja kalau ditolak karena memakai kerudung.

Saat SMA aku bertanya pada teman-teman, boleh gak kalau pakai kerudung tapi kupingnya kelihatan? Mengingat foto saat itu harus memperlihatkan telinga. Untungnya, peraturan segera membolehkan ijazah pakai jilbab.

Aku sempat takut pakai jilbab karena takut mama marah.

Bagaimana cara mengatasi ‘berpikir strategis’? Aku minta saran teman. Sahabatku bilang,

“Sin, kalau aku, yang buat mamaku marah adalah sejak aku pakai jilbab aku tuh lamaaa banget kalau disuruh keluar. Maka kita harus pakai jilbab yang simple. Jangan ribet.”

Saat itu belum banyak jilbab kaos seperti sekarang. Maka kalau aku punya uang, aku segera beli jilbab bahan kaos bentuk segitiga, yang ada tali dua , bisa dililitkan cepat di belakang leher. Sisa kain yang menjuntai di kanan kiri tinggal diikat dan diberi peniti satu. Cepat. Itulah berpikir strategis, gimana biar aku bisa pakai jilbab dan tetap aman.

Metakognisi?

Jodoh, uang , karier, pekerjaan.

Itu juga yang dikhawatirkan sebagian besar muslimah. Itu juga yang menimpaku. Maka aku terus menerus bertanya pada diri sendiri : untuk apa pakai jilbab. Kalau karena Allah, masa’ Allah tidak akan memberikan jodoh untukku? Kalau karena Allah, masa’ Allah tak akan memberi rizki dan uang padaku? Selalu ada pertempuran dalam diri dan ini sungguh berat. Alhamdulillah, metakognisi dari belajar tentang jilbab berhasil kuraih. Aku harus terus belajar hingga akhir hayat, terkait sisi hidup yang lain.

 

  1. Bertahap

Pakaian muslimah seharusnya seperti yang telah diatur dalam agama.

Menutupi dada, tidak membentuk tubuh, tidak menyerupai laki-laki dalam segala aspeknya.

Konteks menyerupai laki-laki ini bisa banyak makna dan bersinggungan dengan banyak kultur.

Jubah, dikenal di kalangan Arab dikenakan laki-laki dan perempuan. Laki-laki pun berjubah. Bahkan, laki-laki menggunakan kerudung di atas kepala untuk melindungi dari hawa panas. Maka di daerah Arab, perempuan diminta lebih panjang menggunakan kerudung di kepala, agar tidak menyerupai laki-laki.

Bagaimana dengan belahan bumi lain?

Ada kultur skandinavia yang memperlihatkan lelaki biasa pakai rok. Ada kultur Jawa dimana laki-laki juga biasa pakai kain panjang, jarik, seperti perempuan. Motif kain laki-laki dan perempuan pun bisa sama : parang rusak, wahyu tumurun, nogo kembar, sidho mukti. Dua-duanya dapat dipakai laki-laki dan perempuan. Hanya saja, lelaki menggunakan beskap dan blangkon, perempuan kebaya. Bila perempuan muslimah ingin menggunakan batik dan kebaya, tinggal menutupkan kerudung ke kepala dan menyempurnakan dengan kaos kaki. Kebaya pun dibuat yang tidak terlalu membentuk tubuh.

Lalu bagaimana dengan celana panjang?

Ini dia yang hingga kini masih menimbulkan perdebatan.

Celana jins, awalnya dipakai para penambang Amerika untuk melindungi kulit dari cacing tambang yang ganas. Para penambang umumnya laki-laki, meski ada yang perempuan juga. Celana ini umumnya berbentuk celana monyet, dengan kantung di dada dan celana yang diberi tambahan hingga perut dan dada serta diberi semacam bretel di bahu kanan kiri.

Kalau dilihat dari sejarah, yang mengenakan celana panjang memang kebanyakan laki-laki.

Pangeran Antasari, Pattimura, Pangeran Diponegoro; foto-foto mereka menggunakan celana panjang. Tetapi wilayah Aceh seperti Cut Meutia dan Cut Nya Dien, menggunakan celana panjang juga dengan perbedaan di bagian busana atas.

Sekali lagi, aku bukan ahli terkait fiqih. Jadi, hanya mengupas dari sudut pandang ilmu yang aku tahu.

Maka, celana panjang, sepanjang ia tidak memperlihatkan aurat seperti paha dan panggul yang ketat; maka boleh-boleh saja. Asalkan menggunakan pakaian yang  lebar seperti tunik hingga lutut atau minimal paha. Kulot juga panjang dan lebar, lebih nyaman dipakai.

Kalau diminta memilih apakah celana panjang, rok dan jubah yang lebih baik?

Aku pribadi merasa salut dengan mereka yang menggunakan jubah. Terlihat lebih anggun dan lebih mawas diri; juga lebih tidak menampakkan aurat. Aku juga pakai jubah; meski tidak di segala kondisi. Bila mengisi acara di insitusi resmi, aku lebih memilih mengenakan rok dan blus. Utamanya batik, agar lebih memperlihatkan cirri khas Indonesia.

Tetapi aku juga tidak akan mengkritik para muslimah yang harus berkontribusi sebagai polisi, tentara, perawat, pekerja pabrik, petani, peternak, tukang sampah. Aku menjumpai seorang muslimah yang harus bekerja sebagai pemulung dan tukang sampah; maka ia mungkin merasa celana panjang cocok untuknya agar tidak mengganggu saat bekerja.

Ya, itu kan tuntutan pekerjaan!

Bagaimana kalau mahasiswa? Bukan tuntutan pekerjaan, atuh!

Alangkah baiknya mahasiswa kalau ia berjubah dan berjilbab panjang. Atau menggunakan rok dan blus panjang. Tetapi kalau ia memilih bercelana panjang karena sedang bertahap memantaskan diri; maka itu akan menjadi proses pembelajaran luarbiasa bagi dirinya. Ia mungkin akan mencibir teman-temannya yang memakai busana kurung mirip emak-emak; tapi ia pasti akan belajar menilai. Malah mungkin, ia masih pakai celana ngatung 7/8 yang memperlihatkan betis, pakai baju ¾  yang tipis melambai, pakai jilbab ala kadarnya yang masih memperlihatkan rambut mencuat keluar dari pori-pori jilbab.

Tak mengapa.

Ia sedang menjalani proses, berjalan menuju tujuan tertentu dan mengumpulkan pengetahuan. 3 atau 5 tahun dari sekarang ia mungkin akan berubah. Yang penting, para muslimah berhijab rapi tidak mudah untuk menjustifikasi seseorang hanya berdasarkan penampilan.

Don’t judge the book by it’s cover. Okay?

Eh, tempo hari aku jadi juri Kartini lho!

Aku ketemu dengan para muslimah muda yang keren abis. Bikin diri ini yang sudah senior jadi malu. Ada yang pakai jubah dan jilbab panjang ala sosialita. Ada yang pakai rok, jaket almamater dan jilbab ala aktivis rohis. Ada yang pakai celana panjang dan kaos. Tapi mereka perempuan muda yang rrruaaarrbiasa!

Be yourself and never stop learning.

Fashionable  dan cantik ya?

Yang masih pakai celana panjang, terus belajar. Yang masih pakai rok, terus belajar. Yang masih pakai jubah, terus belajar.

Sampai kapan?

Sampai malaikat Raqib Atid menutup kitab dan menyerahkan urusannya pada Izrail.

 

  1. Sederhana

Naaaaah, yang ini nih lebih cucok buat bahasan muslimah.

Sebab, mau pakai celana panjang, rok, atau juba; ada kebiasaan buruk mengintai. Hiks, kebiasaan apa itu? Sikap arogan, jealousy, egosentris. Lihat teman keren pakai baju a, kit aingin pakai A. Lihat sohib keren pakai jilbab B, kita nyari di online jilbab B. Lihat ustadzah di televise pakai jubah panjang dan jilbab panjang dengan motif menarik; kita juga harus punya.

Salah satu cirri khas muslimah yang harus menempel pada dirinya; entah apapun jenis busananya adalah sifat sederhana.

Pakai celana panjang dan blus syari; kalau tasnya harus hermes Kelly, hmh.

Pakai rok dan blus syari tapi lemarinya penuh baju dan gak pernah dikosongkan buat bakti sosial, hmh.

Pakai jubah dan jilbab panjang tapi harganya selangit, hmh.

Baju kurung Malaysia.jpg
Baju kurung ala Malaysia

Apa gak boleh bermewah-mewah? Apa standar orang kaya harus selalu sama dengan standar menengah ke bawah? Sudah terbiasa beli busana di Hong Kong dan distrik Gangnam; rasanya gatel kalau pakai kaos beli di minimarket. Wah, kalau sudah dari kakek neneknya kaya; orang memang tidak akan mudah mengubah gaya hidup. Tapi bukan hal itu yang menjadi titik tekan.

Gaya hidup Utsman bin Affan dan Umar bin Khatab, juga Ali bin abi Thalib beda. Mereka berbeda cara makan, tempat tinggal, gaya berbusana. Tapi mereka dijamin masuk surga lho.

Sederhana itu, berusaha untuk terlihat 2 atau 3 level di bawah standar kekayaan yang sebetulnya. Itu filosofis yang kudapat ketika bertemu seorang pengusaha muslim nan sukses di Indonesia dan Jepang. Kisah hidup beliau menginspirasi dua tokoh konyol di Polaris Fukuoka, seorang gadis bernama Sofia dan pamannya Hanif (promosi hahaha). Konon, orang Jepagn suka dengan gaya hidup 2-3 level di bawah standar kekayaan. Itu namanya orang kaya beneran. Bukan OKB atau kaya boongan.

Punya duit 1 juta, yah, beli baju yang harga 100-200 ribu. Jangan punya duit 1 juta tapi pinginnya baju sekelas 3 juta.

Sederhana itu dicontohkan Carlos Slim, Mark Zuckerberg. Makin kaya, makin gak kelihatan. Bukan makin kaya makin belagu. Kalau jadi muslimah kaya, kelihatan dari jejak sedekahnya seperti Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf, bukan dari jejak upload statusnya ya.

Gakpapa tasnya Hermes Kelly, tapi infaqnya sebesar kapal perang.

Gakpapa busananya beli di Paris dan Korea, tapi infaqnya sebesar mobil Jaguar, Mustang dan Ferrari. Jangan dibalik. Tasnya Hermes Kelly, infaqnya senilai tas Tanggulangin. Busananya puluhan ribu Yen atau jutaan won; infaqnya sebesar odong-odong.

Sederhanalah dalam berbusana. Sebab itu akan membuat kita cantik. Hehehe, ini bukan menghibur diri sendiri ya?

  1. Tidak Berlebihan

Islam itu pertengahan.

Tidak belebihan, tidak kekurangan. Yang sedang dan biasa.

Gaya kasual pakai celana gunung yang longgar, dengan kaos loreng ala sate Madura, okelah. Tapi gak perlu segala gelang etnik dipakai mulai gelang kaki, gelang tangan, kalung tumpuk-tumpuk. Gelang kayu dan kelang karet okelah dijadikan satu. Dengan cincin tempurung penyu juga cantik, kalau kita jenis cewek yang enggan pakai perak dan emas. Jilbab dan topi baret, bisa jadi padanan, dengan vest ringan. Kadang, saking inginnya memadu madankan apa yang dipunyai di lemari; semua asesoris dikenakan. Padahal, pilih saja satu dua. Simple is beautiful.

Jubah cantik.jpg
Gaya sederhana yg chic

Bergaun pun harus sederhana.

Tidak selalu harus punya jilbab yang sewarna dengan motif bunga di baju. Bunga biru, jilbab harus biru. Bunga marun, jilbab harus marun. Bunga pink, jilbab harus pink. Padahal dengan punya jilbab hitam, coklat, krem dan merah tua; dapat mewakili semua busana yang ada. Rok pun usahakan punya yang dapat mewakili untuk banyak acara.

Kecuali kalau artis, presenter ya! Itu memang dunia yang butuh penampilan. Padahal banyak lho artis yang tetap sederhana.

Tahu Julia Stiles kan? Yang main di trilogy Bourne. Ohya, sekarang sudah sampai seri ke-5 hehe. Kata paparazzi, dia gak terlalu suka pesta sebab gak punya banyak koleksi gaun. Artis pun tidak harus punya baju sekontainer. Ratu Rania dari Yordania pun tidak terlalu suka mengkoleksi permata seperti para perempuan bangsawan lainnya. Konon, bila punya permata baru, yang lainnya akan diserahkan padap ihak keluarga atau negara. Yang sering dipakainya adalah mahkota kenegaraan.

 

  1. Jangan sampai bosan

Dalam beragama, hendaklah berada pada sisi tengah-tengah.

Sebab, Rasulullah Saw sendiri mengkhawatirkan apabila kita sangat keras pada diri sendiri; suatu saat sikap ekstrim itu akan menjadi sebaliknya. Permisif. Saking sederhananya dan ingin memelihara diri; sama sekali tidak pernah memakai perhiasan. Padahal Allah Swt pun suka bila hambaNya memperlihatkan sebagian dari kenikmatan yang diberikan olehNya.

Sikap tengah dalam agama membuat kita tidak bosan.

Kita ingin sederhana dalam berbusana, maka agar berhemat, memilih jubah dan jilbab sebagai pakaian sehari-hari. Tak mengapa menyisihkan uang, memberikan reward diri dengan membeli bros cantik atau kaos kaki yang nyaman dipakai.

Segala pilihan busana mulai celana panjang, rok, jubah; dipilih atas dasar ketaatan kepada Allah Swt. Hanya kita yang tahu, apa yang ada di lubuk hati terdalam. Kalau memilih memakai celana panjang; janganlah mengucap sumpah dengan mengatakan tak akan pernah memakai jubah yang seperti emak-emak. Sebab, siapa tahu suaminya kelak ingin istrinya mengenakan busana anggun. Yang mengenakan gaun pun, tak usah menyumpah-nyumpah mereka yang mengenakan celana panjang. Siapa tahu kelak berada dalam situasi yang menyebabkan ia harus menanggalkan gaun panjang dan menggantinya dengan pakaian yang lain.

Di tahun 2009, saya berkesempatan ke Palestina, Gaza.

Maka perempuan disana terbiasa mengenakan celana panjang, dan dilapisan luar mengenakan abaya. Tentu kita paham, kenapa ini dilakukan. Mereka siap lari dan menyelamatkan diri bila sewaktu-waktu bom jatuh di wilayah pemukiman.

Jadi, apa pilihan busana muslimahmu?

 

 

 

 

 

3 thoughts on “Muslimah : Celana Panjang, Rok atau Jubah?

  1. Yey…asyik…! Ternyata dalam memberi perintah menutup aurat. Allah gak mempersulit kita ya…! Variasi pakaian muslimah yang cantik dan tetap syar’i bisa kita pilih…

    Thanks tulisannya mbak…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *