Ketika diminta mengisi beberapa acara dalam rangka Hari Ibu, salah satu referensi yang dibutuhkan adalah kisah orang-orang besar berinteraksi dengan orangtua mereka. Sungguh, membaca kisah orang-orang ini membuat hati tergetar, saya panggil anak-anak dan mengisahkan kisah ini kembali di depan mereka. Bukan dengan harapan mereka membalas jasa kami sebagai orangtua, tetapi agar anak-anak belajar bagaimana menghargai orangtua. Para ulama, orang sholih, dan orang-orang yang tercatat melegenda dalam sejarah ternyata memperlakukan orangtua mereka secara istimewa.
Mengapa berbuat baik pada orangtua melekat pada pribadi orang mulia?
Sebab salah satu karakter paling manusiawi yang melekat pada diri individu adalah berterimakasih pada orang yang memberikan jasa/layanan pada mereka. Bila, sikap berterimakasih ini tidak melekat bahkan pada orang yang paling berjasa, bagaimana mereka dapat berinteraksi secara social dengan baik?
Simak kisah-kisah berikut.
1. Zainal Abidin ; kisah ini yang paling banyak diceritakan. Zainal Abidin menolak makan bersama sang ibu dalam satu meja. Ketika ditanya mengapa? Ia menjawab,” saya takut melukai perasaan ibu, bila tangan saya terlanjur mengambil makanan yang sudah didahului oleh tatapan matanya. Bagi saya seperti durhaka.”
2. Muhammad bin Sirrin ; ia selalu bercakap-cakap seperti biasa bila berhadapan dengan tamu-tamunya, dengan suara yang pantas, wajar dan lantang. Tiba-tiba, suaranya bisa menjadi lirih seperti berbisik-bisik bila berbicara dengan sang ibu. Suatu saat ada orang bertamu kepadanya, dan melihatnya sedang berbicara dengan sang ibu, ia bertanya, “ apakah Ibn Sirrin sakit?”
Kerabatnya menjawab,” ia memang berbicara seperti itu bila kepada ibunya, seolah ibunya adalah penguasa yang agung.”
3. Hudzail dan ibunya Hafsah bin Sirrin; Hafsah sangat mudah menggigil saat musim dingin datang. Hudzail, selalu menyiapkan kayu bakar yang dipotongnya sendiri. Tak lupa, Hudzail mengelupaskan kulit-kulit batang pohon, sebab bila dibakar di dalam rumah, asapnya akan memerihkan mata. Bila Hafsah sholat, Hudzail akan menyiapkan tungku di belakang punggungnya sehingga sang ibu sholat dengan tenang dan dalam udara yang hangat
4. Mis’ar bin Kidam ; meski seringkali mengisi pengajaran di masjid-masjid, Mis’ar berusaha mendampingi sang ibu yang senang beribadah di masjid. Sebelum mengajar, Mis’ar menghamparkan sajadah bagi ibunya untuk sholat lalu ia pergi meneui murid-muridnya. Usai mengajar, ia akan menghampiri ibu, melipatkan sajadahnya dan mendampinginya kembali pulang.
5. Fadhl bin Yahya ; (ini adalah salah satu kisah favorit saya yang pertama kali membacanya terasa demikian tergetar, menahan tangis. Tiap kali menceritakan kembali, serasa demikian mengharubiru). Yahya adalah seorang lelaki yang tidak bisa berwudlu kecuali dengan air hangat. Suatu ketika, mereka hidup di masa kekhalifahan yang represif. Fadhl bin Yahya dan ayahnya dijebloskan dalam penjara, tentu tanpa kebutuhan hidup yang memadai. Tak ada pasokan kayu bakar untuk memasak atau menghangatkan tubuh. Yang disediakan sipir penjara adalah beberapa botol air dan penerangan obor di atas yang temaram. Tahukah anda apa yang dilakukan Fadhl bin Yahya? Ia akan berdiri sepanjang malam sejak isya hingga subuh, mengulurkan botol air di depan penerangan, agar saat subuh tersedia air hangat bagi sang ayah untuk berwudlu.
6. Jenghiz Khan adalah salah satu yang tercatat dalam sejarah sebagai penghancur besar, upaya genocide nya disamakan dengan Hitler. Tetapi apa yang menjadi sumber kejayaannya dan dunia Islam hancur tercerai berai? Ketika menaklukan Khwarizmi, Sultan Muhammad II adalah seorang pemimpin yang sama sekali tak bisa menjadi teladan. Ia menghabiskan waktu berpesta, dikelilingi biduanita dalam tarian erotis, dan selalu membangkang Torghun, ibunya. Di sisi lain, Jenghiz Khan demikian santun dan hormat pada sang ibu, Hoelun. Setiap kali akan berangkat ekspedisi, Jenghiz Khan akan menemui ibunya,” izinkan aku ke barat. Akan kupersembahkan penaklukan untukmu. Agar tak ada lagi yang menistakan klan kita, perempuan-perempuan kita. “
Dalam sebuah upaya penaklukan ke Khwarizmi, Jenghiz Khan memandang ibunya berdiri menghantar kepergiannya, terus, hingga kereta perang yang diperanginya tak lagi dapat melihat sosok tua sang ibu.
Di hari kematian ibunya, Jengiz Khan sangat berduka, mengurung diri, mengenang seluruh masa sulitnya bersama sang ibu.
7. Evo Morales, presiden Bolivia yang berani bertentangan dengan Amerika dan memilih memakai pakaian tradisional meski dalam acara kenegaraan dan pertemuan internasional; berasal dari keluarga miskin suku Indian Aymara. Anak Dionosio Morales Choque dan Maria Mamani. Terlahir sebagai satu dari tujuh bersaudara, Evo Morales terbiasa membantu ayah ibunya bercocok tanam. Pada usia 12 tahun, Evo membantu ayahnya, Dionosio menggembalakan Ilama selama sebulan lamanya dari Oruro ke Damansara. Pada 1980, topan El Nino menghancurkan 70% lahan pertanian Orinco dan 50% ternak. Maria, ibu Evo Morales sangat berduka, kehidupan mereka semakin sulit. Evo, turun tangan menjadi petani koka dengan kapak dan parang hingga setiap hari tangannya terluka. Sang ayah menjual benang blu kambing dan ilama, membelikan sang putra bola danseragam ,sangat memperhatikan kesukaan Evo Morales dalam sepakbola. 1983, sang ayah meninggal, dan Evo Morales merasa sangat terpukul kehilangan seseorang yang selalu menjadi penyuntik semangat hidupnya