Payudara, Rahim, dan ECCT

Artikel/Opini WRITING. SHARING.

Bagi anda , Perempuan, dua hal ini sangatlah penting.
Kita tidak sedang membahas pornografi, namun melihat dari sisi kemanfaatan sebuah tubuh yang sehat berikut organ-organ pentingnya.

Payudara

Saat perempuan hamil, salah satu hal yang penting diperhatikan adalah merawat payudara. Bagaimana calon ibu membersihkan buah dada dan puting susu agar jabang bayi yang baru lahir, dapat optimal memperoleh colostrum saat pertama kali lahir dan ASI selama dua tahun penuh.

Bahagiakah menyusui?
Tentu. Betapa sempurnanya perempuan yang mampu mendekap bayi dan memberikan air susu selama dua tahun penuh. Selain bahagia, tentu ada masa-masa menegangkan bersama payudara. Setiap ibu, pasti pernah mengalami masa-masa air susu seperti mampet, bungsu, sehingga buah dada membengkak besar. Sakitnya bukan alang kepalang! Badan menggigil, demam tinggi, meriang hingga gemetar tak tertahankan. Namun menyusui, tetap harus jalan.
Atau saat payudara terluka karena si bayi menggigitnya. Rasa sakitnya…subhanallah. Setiap kali si bayi menyusui, harus berjuang untuk mengatasi rasa sakit sekaligus memenuhi kewajiban sebagai ibu.

Atau anda yang belum hamil dan melahirkan, tentu pernah merasakan menjelang haidh. Sakitnya payudara yang menegang.
Terbayangkah , bila payudara perempuan, tempat bayi menyesap air susu selama dua tahun, tiba-tiba dijangkiti sel-sel liar yang hidup dan menggerogoti kehidupan : kanker? Tentu kita tak berharap sama sekali mengidapnya, namun membayangkan seperti apa rasa sakitnya, pastilah bisa.

Survivor 1

Seorang sahabat, bu Sirikit Syah namanya. Ia salah satu perempuan tangguh yang selamat dari kanker payudara. Menurur dokter, penyebab kanker bu Sirikit akibat beliau terlalu sering terpapar polusi. Sebagai seorang dosen, kadang beliau naik mobil pribadi, kadang lebih suka angkutan umum. Saat menunggu angkutan umum di terminal Bratang, Surabaya, misalnya; polusi yang berhamburan tak terkatakan jumlahnya.
Beliau menjalani operasi, diangkat satu payudara berikut daging yang berada di sekitarnya sekitar lima senti hingga dada seperti berlubang.

Bu Sirikit Syah
Bu Sirikit Syah

Tak setiap perempuan seberuntung bu Sirikit. Masih ingat cerita yang beliau tuturkan, bahwa bu Sirikit bersiap dalam satu kunjungan ke luar negeri ketika didapati dadanya terasa sakit dan nyeri. Ketika memutuskan untuk periksa ke dokter, terkejutlah beliau bahwa kanker di payudaranya berada dalam stadium mengkhawatirkan. Dokter menyarankan penangguhan kepergian dan operasi bu Sirikit dilakukan di salah satu rumah sakit terpercaya di Surabaya.

Berhubung bu Sirikit salah satu tokoh masyarakat yang dikagumi, kalangan dokter pun sepakat memangkas biaya. Biaya rumah sakit hanya biaya operasional, sementara ongkos para dokter gratis. Itupun memakan jumlah puluhan juta rupiah! Alhamdulillah…operasi berjalan lancar.

Saat saya berkunjung ke rumah beliau, dari balik jilbab, mencuat slang seperti slang kateter yang terpasang dari bekas luka, terhubung ke botol. Botol tersebut di bawa dalam tas yang dikempit kemana-mana. Dari slang tersebut, mengalir cairan merah. Kata bu Sirikit, memang demikian perlakuan terhadap bekas luka operasi kankernya.

Bu Sirikit beruntung dikaruniai seorang lelaki, pak Khairul Anam, suami setia yang senantiasa merawatnya pra dan pasca operasi. Pak Khairul pula yang membuatkan sirup daun sirsak setiap hari, juga menyediakan lauk putih telur. Para tetangga, handai tolan, berganti-ganti mengirimkan lauk putih telur kepada bu Sirikit.

Sekarang, beliau telah sehat seperti sediakala, beraktivitas seperti biasa.

Apa yang menjadi catatan dari kisah beliau?
Jangan sepelekan sakit di daerah dada bagi perempuan, tetap optmis serta waspada terhadap pengaruh polusi yang didapat dimana-mana. Tentu, pasti dalam benak kita mencatat : hm, biaya operasi? Puluhan juta ya…belum termasuk kemoterapi.

bu Sirikit dan kanker payudara

Survivor 2

Saya mengenal kakak cantik ini dalam perjalanan ke Jepang, beberapa bulan lalu. Kami selalu sekamar, berbagi makanan dan bertukar cerita.

Kumamoto Castle. Indira Abidin, 2 dari kanan
Kumamoto Castle. Indira Abidin, 2 dari kanan
Kakak beradik Kobayashi, Sinta, Indira. Pak Kobayashi pemilik Inasayama Kankoh hotel. www.inasayama.co.jp
Kakak beradik Kobayashi, Sinta, Indira.

Kami selalu menyempatkan diri berfoto bersama, termasuk ketika berada di Inasayama Kankoh Hotel, yang memiliki lokasi unik taman heart lamp.

Melihat betapa energiknya ia, tak menyangka, Indira Abidin pernah mengidap kanker payudara. Saya tak mengetahui detil riwayat penyakitnya namun dapat memperkirakan, betapa berdampaknya penyakit itu bagi Indira. Sepanjang perjalanan baik di pesawat, di rumah makan, di hotel, Indira hanya memesan makanan vegetarian.
Alamak! Saya juga termasuk orang yang harus menjaga pola makan. Tapi menjadi vegan? Hiks…
Pastilah, ada satu kisah luarbiasa yang membuatnya memutuskan mengubah arah gaya hidupnya, terutama pola makan. Bila, sebagai backpacker saya cukup membawa tas ransel simple berikut kamera; maka Indira kemana-mana selalu membawa tas besar berisi baju dan tas tenteng yang luarbiasa beratnya : asupan makanan sehat yang harus terus dikonsumsi.

Madu, tak pernah lepas dari daftar menu paginya. Madu dengan parutan jahe, lebih disukainya. Serbuk bekatul, juga tersedia dalam bentuk kemasan botol. Pagi-pagi, ketika kami sibuk menyiapkan diri untuk melanjutkan traveling ke destinasi lain di wilayah Kyushu, Indira sibuk mengocok menu paginya sebotol besar.

Apa yang unik?
Kesabaran menata penyakit. Bahkan, ketika melewati petugas bandara dan harus mengosongkan air, Indira terpaksa mengambil tempat di pojok ruangan, menenggak sebotol besar ramuan yang terdiri dari madu dan jahe. Kadang, ia terpaksa tertinggal di belakang dari rombongan. Sesudah menenggak minuman, terpaksa bolak balik ke kamar mandi, baik di bandara atau di atas pesawat.

Indira melewati masa-masa kritis dan berhasil mengatasi kankernya tanpa harus dioperasi. Ia menggunakan alat ECVT ( Electrical Capacitane Volume Tomography) atau ECCT(Electro Capacitive Cancer Treatment ) dari DR. Warsito Purwo Taruno.
ECCT dan Warsito Purwo Taruno

Cerita selengkapnya Indira melawan kanker ada di http://tamanlavender.wordpress.com

Indira Abidin, adalah survivor kanker yang pantas diacungi jempol. Ia tak hanya sembuh, bangkit, tapi juga menularkan semangat kesembuhan kepada pasien-pasien lain. Melihat perjuangan di Lavender, orang pasti dapat memperkirakan seberapa besar kanker payudara membawa dampak dalam kehidupannya.

Pejuang Dahsyat 1

Kisah muslimah satu ini, sering menginspirasi banyak orang.
Sebut namanya Mutia. Fisiknya tak cantik.Dari wajah ataupun bentuk tubuh, Mutia bukan gadis yang dilirik banyak orang. Namun setiap yang berinteraksi dengannya pastilah merasakan keindahan pekertinya. Tak pernah ada seorang temanpun yang pernah mengeluh selama berinteraksi dengan Mutia.

Mutia bukan dari kalangan berada.
Meski demikian, dengan sepeda motor bututnya, Mutia terus melakukan kebaikan apa yang ia bisa. Menjadi guru TK dengan gaji alakadarnya, mengawal anak-anak yatim di sebuah yayasan dan menjadi ibu asuh mereka. Bahkan, anak-anak tersebut demikian spesialnya, mengingat beberapa mengalami sexual abuse. Mutia aktif di organsiasi dan kerap menjadi panitia acara-acara sosial tanpa imbalan apapun. Setiap yang membutuhkan pertolongan Mutia, ia siap membantu. Tak cukup disitu, Mutia demikian berbakti pada ibunda yang berada di desa. Kerap Mutia bolak balik menengok ibunya dari Surabaya, mengendarai motor bututnya.

Bila, karena kondisi fisik, status ekonominya, Mutia terlambat menikah hingga usia yang matang; dapat dikatakan wajar. Butuh seorang lelaki tulus untuk mau meminang Mutia yang memiliki kekurangan di wajahnya.
MasyaAllah, ternyata, Allah SWT menyediakan pasangan sempurna untuk hambaNya yang mulia. Mutia menikah dengan seorang lelaki yang mengasihinya dengan tulus. Kehidupan pernikahan mereka yang sederhana, tak mengurangi kemeriahan kebahagiaan sepasang insan.

Setahun setelah menikah, Mutia sering merasa sakit di dada. Awalnya dianggap seperti kencangnya payudara menjelang haidh. Tak digubris, sebab memang Mutia seorang muslimah yang padat kegiatan. Lagipula, beberapa tahun lalu, alternatif pengobatan kanker belum marak seperti sekarang. Beberapa tahun lalu, ECCT/ ECVT dan daun sirsak belumlah ramai dipercakapkan.
Mutia diam dalam sakitnya.
Hingga seorang sahabat kami yang berprofesi dokter, mengunjungi rumah Mutia dan mencoba melihat sejauh apa keluhan sakit di dada. Dokter tersebut terkejut, melihat betapa kerasnya kondisi payudara Mutia. Ia berkata diam-diam kepada saya, bahwa kemungkinan kesembuhan Mutia sangat kecil, mengingat kanker payudaranya telah memasuki stadium lanjut.

Mutia tak dapat berobat, sekali lagi karena kondisi biaya. Ia dan suaminya menyadari, detik-detik menunggu kematian demikian dekat, sebab memang seketika tubuh Mutia demikian cepat rapuh dan lunglai. Kekuatan fisik mendadak hilang dan ia sering menghabiskan waktu di rumah. Dana taawun yang terkumpul tak cukup untuk mengobati Mutia.

Suatu malam, sebuah SMS masuk ke HP.
“Teman-teman semua, mohon maafkan istri saya, Mutia. Sebagai seorang suami saya ridho kepadanya.”
SMS itu dikirim suami Mutia.
Betapa sering kita dapati kematian, betapa sering pula kita mengucapkan Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Tapi menghadapi kematian Mutia, airmata kami tak terbendung. Terbayang perjuangannya dengan sepeda motor butut untuk terus menyuarakan dakwah. Terbayang kesabarannya merawat ibu, anak-anak yatim, menunggu pasangan hidup ketika satu demi satu temannya dieprsunting lelaki sholih. Dan ketika baru setahun menikah, kanker payudara merenggut jiwanya.
Kematian yang elegan.
Satu kalimat yang membuat tangis kami meledak. SMS dari sang suami.
Sebagai suami, saya ridho kepadanya.
Oh, Mutia. Apa balasan dari Allah SWT atas kematian seorang istri yang membawa bekal keridhoan suaminya?
Satu sahabat terbaik kami, meninggal karena kanker payudara. Kejadian ini sudah berlangsung lebih dari lima tahun lalu, namun masih demikian membekas.

Pejuang Dahsyat 2

Sahabat saya, sebut namanya Mira. Seorang perempuan cantik yang riang gembira. Kehidupan cintanya penuh dinamika, cukup lama saya tidak bertemu dengannya ketika kemudian lewat SMS dan WA singkat kami bertukar cerita.
“Mama kena kanker rahim, Mbak,” tulisnya.
Innalillah, pikir saya.
Saya tahu, Mira harus kerja sambil kuliah. Pontang panting hidupnya. Ia kerja di sebuah swalayan terkemuka, waktu itu belum mengenakan jilbab dan harus mengenakan make up dengan standar tertentu. Pernah suatu ketika Mira datang ke kampus, lengkap dengan kosmetik standarnya, sebab usai kuliah harus langsung cabut bekerja.
“Kayak digebuki orang ya Mbak, mukaku,” ucapnya malu. “Aku pingin pakai jilbab.”
Saya mendorongnya pakai jilbab.
“Terus, bagaimana jilbabku? Apa aku masih boleh pakai make up tebal kayak gini?”

Bagiku, Mira sungguh luarbiasa dengan tekatnya sebab ia memutuskan mengenakan jilbab dengan kondisi harus mengenakan kosmetika dengan standar babak belur begitu.
Lama kemudian kami berpisah, ketika kemudian kudengar mamanya sakit. Dapat kubayangkan betapa repotnya Mira membagi waktu : kerja, kuliah, dan merawat Mama.
“Gimana caramu merawat Mama dek?”
“Aku yang menggantikan popoknya, Mbak.”
“Kalau bau, sabar ya…”
“Aku pakai masker, tiap kali interaksi dengan Mama, terutama ketika ganti popoknya.”
Terharu, membayangkan semakin banyak agenda yang harus dikerjakan Mira dan semakin sempit waktunya untuk menyelesaikan kuliah.
Suatu hari, kusarankan Mira menyediakan daun sirsak kering untuk mamanya. Dari cerita bu Sirikit yang sangat terbantu proses kesembuhan dengan konsumsi rebusan daun sirsak setiap hari, kupikir mama Mira akan membaik. Aku lupa, apakah sempat mengirimkan paket daun sirsak kering untuk membantu mama Mira. Seingatku, Mira sempat bertanya tentang bagaimana proses merebus, dengan apa merebus, dst.
Hari berikut, ketika kutanya tentang mamanya, jawaban Mira diluar perkiraan.
“Bagaimana bisa minum daun sirsak Mbak? Mama sudah nggak bisa nelan apa-apa lagi.”

Aku mendengar testimoni beberapa orang yang berhasil dengan rebusan daun sirsak, namun segera tersadar setelah mendengar kisah Mira. Rebusan daun sirsak hanya dimungkinkan bagi mereka yang masih dapat menelan sesuatu…
Mama Mira meninggal beberapa waktu kemudian, sebagaimana Mutia setelah berjuang mati-matian melawan kanker.

Pilihan Hidup

Dokter yang menangani Indira Abidin dan memvonis kankernya, memberikan pilihan apakah sang pasien akan menggunakan kemoterapi atau menggunakan jalur alternatif. Indira memilih cara kedua. Bukan dengan alasan estetika, bahwa perempuan tanpa payudara tak akan cantik lagi. Bukan. Toh, bu Sirikit tetap mesra dengan suaminya sekalipun tubuhnya tak sesempurna dulu.

Pendapat publik, akan berbeda dengan pendapat pakar dan saintis.
Ketakutan terhadap rumahsakit, operasi, obat-obatan, paramedis tak terelakkan. Apalagi, bicara masalah sakit, berarti bicara pula masalah finansial. Sakit bukan hanya bicara obat dan dokter. Sakit berarti bicara karier, pekerjaan, keluarga, anak dan pasangan hidup, segenap daya dukung yang diharuskan mengupayakan kesembuhan pasien.

Baik, silakan bayangkan.
Seorang suami yang menunggui istrinya melahirkan.
Biaya yang keluar sebetulnya bukan hanya ongkos melahirkan, biaya obat-obatan, biaya dokter, ongkos yang diperlukan bagi kesehatan bayi; tapi juga konsumsi suami, bensin kesana kemari. Belum lagi bila ada anak-anak yang juga harus ditanggulangi di rumah. Pendek kata, bila seorang anggota keluarga sakit, sungguh terkuras biaya untuk mengembalikannya sehat sepenuhnya.

Sakit flu, masih dapat dikalkulasi. Melahirkan, dapat diperkirakan. Kanker?
Berapa banyak masyarakat yang menginginkan anggota keluarga tercintanya kembali sembuh, rela menjual apapun harta yang ada demi membeli kata “sembuh” berapapun harganya? “Sembuh” itu mungkin obat-obatan,mungkin suplemen, mungkin berganti-ganti dokter, mungkin berganti-ganti rumah sakit, mungkin mencari second opinion, mungkin mencari kesembuhan alternatif dengan cara masuk akal atau tak masuk akal.
Sungguh, seorang yang sakit, membutuhkan kesabaran si penderita dan orang-orang sekelilingnya. Maka , Rasulullah Saw bersabda betapa kita harus mengunjungi si sakit dan mendapatkan pahala luarbiasa dari mengunjungi serta mendoakanya. Betapa kita harus meringankan beban si sakit, entah dengan membantu finansial atau memberikan hadiah yang akan membesarkan hatinya.

Bayangkan, si sakit yang tengah menghabiskan seluruh sumber daya hidup dan membebani keluarganya, semakin dihisap kemampuan bertahannya dengan harga obat, rumahsakit, ongkos dokter yang melangit. Kita tak menyalahkan dokter yang juga bersusah payah seumur hidup menimba ilmu, berdedikasi, mengorbankan waktu dan keluarga untuk menyelamatkan nyawa pasien atas izinNya sehingga profesinya pun selayaknya dihargai agar dokter juga dapat terus mengembangkan diri. Kita tak menyalahkan harga obat yang mahal bila bahan baku memang sulit didapat. Kita tak menyalahkan rumahsakit sebab rumahsakit pun harus membiayai ongkos operasional dan membayar gaji pegawai.

Yang salah, adalah bila tak ada kesempatan mengambil pilihan alternatif.
Orang pergi ke sangkal putung, karena tak mampu membayar ahli bedah tulang . Orang pergi ke tukang pijat, karena belum tahu fungsi fisioterapis. Orang minum jamu, karena belum percaya kemampun kuratif obat. Orang pergi ke ahli akupuntur, bidan, mantri; karena dokter jauh dari jangkauan. Kemungkinan jauh dari segi jarak, pemahaman, kepercayan, atau juga biaya.

Pemerintah seharusnya mengedukasi, juga tak membatasi. Di sisi lain membuka seluas-luasnya ladang penelitian. Apakah buruk menyandingkan tukan pijat dan fisioterapis? Apakah sangkal putung harus diberangus, atau perlu diteliti secara ilmiah? Apakah jamu perlu dipatenkan, seperti obat; dan terus digali kemampuan kuratif herba dengan serangkaian penelitian yang valid dan reliable?


ECCT (Electro Capacitive Cancer Treatment)

Penyakit kanker tumbuh dramatis sejumlah 12,7 juta penderita pertahun, dengan kematian sejumlah 21.000 jiwa perhari. Terapi kanker yang diterima masyarakat luas selama ini adalah operasi, kemoterapi dan radioterapi. Penderita kanker menghadapi beberapa kendala seperti efek samping serta biaya yang mahal. Dalam dinamika terapi kanker, muncullan alat ECCT yang mengundang pro dan kontra, sekalipun secara evidence-based jumlah yang tertolong dengan alat tersebut mencapai angka ribuan.

Dokter Sahudi, dalam rangka meraih gelar doktor, prgoram studi Ilmu Kedokteran Universitas Airlangga, menyusun disertasi berjudul Mekanisme Kematian Sel akibat Pajanan Medan Listrik Energi Lemah dengan Frekuensi Menengah. Penelitian ini dilakukan untuk menjembatani kontroversi ilmiah di bidang terapi kanker di Indonesia, dengan cara membuktikan adanya peningkatan prosentasi kematian sel yang diberi pajanan alat terapi kanker ECCT, serta mengungkap mekanisme patologimeolkulernya. Penelitian ini adalah peneltiian eksperimental laboratorik in vitro, menggunakan Rancangan Acak Kelompok ( completely randomaized block design), bertujuan mengetahui pajanan medan lsitrik voltase rendah, dengan frekuensi menengah dari alat terapi kanker ECCT, dengan pengukuran variabel yang dilakukan setelah pemberian perlakuan.

[caption id="attachment_2018" align="aligncenter" width="300"]dr. Sahudi dan keluarga dr. Sahudi dan keluarga

Tiga macam kultur sel kanker yang digunakan dalam peneltian adalah sel Hela, sel Kanker Rongga Mulut dan sel Mesenkim Sumsum Tulang. Ketiga kultur tersebut dibagi menjadi dua kelompok, dengan masing-masing 8 replikasi, yakni kelompok perlakuan yang akan dipajan dengan ECCT selama 24 jam dan kelompok kontrol. Setelah 24 jam akan dihitung jumlah sel hidup dan sel mati dengan menggunakan pewarnaan Tryphan Blue, serta diperiksa ekspresi protein Tubulin A, Cyclin B, p53, dan Ki-67.

Ringkasan Disertasi dr. Sahudi ttg ECCT
Ringkasan Disertasi dr. Sahudi ttg ECCT

Penelitian ini mendapatkan kelompok sel yang diberikan pajanan ECCT menunjukan jumlah kematian sel yang lebih banyak secara bermakna dibanding kelompok kontrol, terjadi baik pada sel kanker maupun sel non kanker.
Terhadap viabilitas sel, ECCT menurunkan jumlah sel kanker hidup secara bermakna. Sedangkan pada kultur sel nonkanker, yakni sel mesenkim sumsum tulang, ECCT memengaruhi jumlah sel hidupnya, namun tidak bermakna secara statistik. Dalam hal prosentase kematian, ECCT meningkatkan prosentase kematian pada ketiga jenis kultur sel.
Dari penelitian ini juga didapatkan bahwa sel kanker yang dipajan dengan ECCT selama 24 jam, akan meningkatkan ekspresi Tubulin A, Cyclin b1, p53 dan Ki-67 secara bermakna dibanding kelompok kontrol.
Dokter Sahudi menyimpulkan dari penelitannya bahwa medan listrik AC bertegangan rendah dengan frekuensi menengah yang dikeluarkan oleh alat ECCT dapat mematikan sel kanker melalui mekanisme mitotic catastrophe.
Terdapat beberapa kesimpulan penting dan temuan baru pada penelitian ini yang perlu dicatat oleh publik dan masyarakat saintis.
Tiga temuan baru dari penelitian ini adalah :
1. Pajanan medan listrik energi lemah dengan frekuensi 100 KHz dari alat ECCT dapat meningkatkan prosentase kematian sel kanker.
2. Mekanisme kematian sel pada pajanan medan listrik energi lemah dengan frekuensi 100 MHz dari alat ECCT adalah dengan hamabtan polimerisasi mikrotubulus pada saat sel sedang mitosis.
3. Kematian sel pada pajanan medan lsitrik alat ECCT adalah melalui fenomena mitotic catastrophe.

Penelitian dr. Sahudi, Sp. B (K)KL adalah salah satu bukti ilmiah bahwa penggunaan alat ECCT dapat membantu pasien menghadapi diagnosis kankernya. Dokter Sahudi berharap ada penelitian-penelitian lanjutan yang akan memperjelas dan mempertegas bahwa ECCT adalah salah satu sumbangsih putra bangsa dalam membantu pasien-pasien kanker stadium awal hingga stadium lanjut untuk lebih memiliki harapan hidup.
Sangat disayangkan bila terobosan ECCT yang juga termasuk murah secara pembiayaan dibandingkan pengobatan kanker sebelumnya; dihambat atau bahkan dihentikan. Masyarakat Indonesia perlu diberikan kesempatan lebih luas untuk memilih tindakan apa yang dibutuhkan untuk meningkatkan taraf kesehatan, termasuk bagaimana cara beradaptasi dengan penyakti mematikan seperti kanker.
Pemerintah seharusnya bangga dan berbahagia, di tengah segala kendala ekonomi dan politik yang muncul di tanah air, masih terdapat orang-orang kreatif yang berusaha memunculkan solusi. Bila, kreatifitas tersebut dianggap tidak sejalan dengan visi misi bangsa; seharusnya diberikan kesempatan untuk membuktikan, mengumpulkan testimoni, menjelaskan secara ilmiah, berdialog dengan publik dan insan pers agar tidak ada pihak-pihak yang merasa dirugikan.
Bila, ECCT benar-benar dibekukan operasionalnya di Indonesia, betapa banyaknya pasien kanker yang semakin tak memiliki harapan hidup.
Mari, bersama-sama kita peduli pada saudara saudari kita yang mengidap kanker. Tidak harus menjadi penderitanya terlebih dahulu, untuk mendukung orang-orang seperti Dr. Warsito Purwo Taruno dan alat ECCT & ECVT nya dapat diakses oleh sebanyak mungkin warga negara Indonesia yang kita cintai.

———————–

Agar surat ini sampai ke Bapak Jokowi, tolong bantu kami dengan menandatangi petisi ini di link berikut:

https://www.change.org/p/jokowi-bapak-jokowi-tolong-izinkan-penggunaan-ecct-untuk-penderita-kanker-di-indonesia .

Satu tandatangan, satu harapan bagi kami. Terima kasih 😊

#Hope4NoHope

1 thought on “Payudara, Rahim, dan ECCT

  1. Assalamualaikum,
    Anda memang luar biasa. Ini baru pertama kalinya saya membaca artikel Anda tapi sudah banyak tertarik dengan tulisan anda yang lain. Perkenalkan saya Ratna Deviana Paraton, 17 tahun. Saya ingin sekali menjadi seperti anda seorang psikolog hebat, memberi inspirasi pada orang lain, dan mengenal sepenuhnya apa itu cinta dan perbedaannya dengan hawa nafsu. Salam kenal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *