“Ummi, keloni,” rengek si bungsu ketika beberapa waktu lalu sakit.
“Lho, Ummi udah tidur di sampingmu.”
“Tapi belum dikeloni.”
“Ummi sejak tadi tidur di samping kamu, Say.”
“Pokoknya keloni!”
Aku memeluknya dari belakang, merasakan tubuhnya yang panas karena demam tinggi.
Beberapa bulan lalu kami gantian sakit. Dua anakku gejala DB, yang dua lagi flu berat. Disusul suamiku sakit dan yang terakhir ambruk adalah aku. Emak-emak biasanya terkapar terakhir; ketika semua sudah tumbang, si ibu masih tegar. Giliran yang lain sembuh, tubuhku mulai merasakan sakit.
Anehnya, semua anakku yang sudah besar-besar ( 3 sudah kuliah, yang bungsu di SMA) merengek hal yang sama.
“Ummi, keloni…”
Bukannya aku tak mau, tapi bisa dibayangkan repotnya bagaimana! Saat anak sakit; semua butuh dilayani. Makan minum nggak bisa sendiri, otomatis aku suapin. Mandi harus pakai air panas. Bahkan karena sangat lemas, si bungsu pun harus aku mandikan. Makan harus disediakan. Obat harus dituangkan, disuapin. Sedikit-sedikit merengek.
“Ummi, sini.”
“Ummi suapin.”
“Ummi temanin.”
Dan yang buat kepala pusing, kalau mereka ingin tidur entah pagi, siang, sore atau malam maka rengekannya adalah, “Ummi…keloni.”
Keloni adalah istilah Jawa. Bukan sekedar berada di samping anak, tetapi menjulurkan tangan memeluk tubuh si anak. Tangan ibu memeluk leher, atau dada, atau pinggang. Pokoknya, posisi anak seperti dipeluk
Awalnya, aku benar-benar jengkel ketika anakku rewel. Apa mereka nggak ngerti? Umminya capek setengah mati! Semua agenda aku tunda. Konsultasi via whatsapp pun harus dijadwal ulang. Cucian baju menumpuk, cucian piring apalagi. Karena khawatir ada gejala typhus, hampir gak ada alat makan yang digunakan bersamaan. Duh, benar-benar hari yang memeras tenaga sampai ke tulang-tulang.
“Nak, Kamu bisa keloni Ummi?”
Aku tumbang dengan demam lebih dari 39 derajat.
Benar-benar terkapar. Sholat duduk. Obat turun panas biasa tak mempan. Handuk kompresan tak banyak pengaruh. Seluruh persendian ngilu. Kepala sakit luarbiasa, telinga seperti ditusuk. Aku sangat gelisah. Tak ada tempat tidur yang nyaman. Dari kamarku, pindah ke kamar anak-anak. Pindah ke ruang tengah. Pindah ke ruang tamu. Kalau bisa tertidur sekejap, itu sudah sangat lumayan.
Anehnya, aku mulai merengek kepada anak-anak.
“Kalian bisa keloni Ummi?”
Suamiku sudah memelukku, tapi ia juga harus segera berangkat ke kantor. Tinggal anak-anakku. Sejak pagi sampai malam; anakku giliran memelukku. Mengeloni umminya. Tidak cukup hanya ada di sampingku, salah satu anakku harus merangkulkan tangannya ke leherku atau ke pinggangku. Aku harus menggenggam tangan mereka , baru bisa tertidur sesaat.
Aku sendiri heran : manjakah aku? Apa karena aku sakit dan selama ini melayani mereka, sekarang seolah aku ganti minta dilayani, diladeni, dimanjakan?
Obat Kecemasan
Ternyata aku tidak manja, hehehe.
Seorang neurolog pernah memberi nasehat pada seorang klienku yang selalu mengkonsumi obat-obat seperti Sanax dan Alprazolam. Klienku ini memang memiliki riwayat panjang kehidupan yang keras, sekarang sering tak bisa tidur. Apalagi kalau dengar masalah anak-anaknya.
Neurolog tersebut tentu tak ingin meresepkan obat selalu, karena bagaimanapun , ketergantungan itu tak baik. Ada sarannya kepada klienku yang membuatku terkesan.
“Ibu kalau bisa jangan tidur sendiri. Ibu tidurnya ditemani, ya. Sebab, kalau orang sangat pencemas, bahkan waktu tidurpun butuh ditemani.”
Orang pencemas tak bisa tidur tenang. Sebentar-sebentar bangun, oleh mimpi buruk atau oleh kecemasannya sendiri. Ketika ia melihat ada seseorang yang tidur di sampingnya, ia akan berangsur tenang.
Panas dan Cemas Bersamaan
Mungkin, itu analogi sakitku.
Saat demamku tinggi, sakitku tak bisa dikatakan rasanya, ada kecemasan luarbiasa yang melanda pikiranku : nanti bagaimana baju kerja suamiku? Bagaimana aku menyiapkan keperluan anak-anakku? Bagaimana klien-klienku? Bagaimana janji-janjiku? Dan kecemasan paling besar yang megnhantui adalah : bagaimana kalau sakitku ini membawaku mati?
Tanpa sadar, sakitku membawa cemas luarbiasa. Meski semua kegiatan sudah diundur, tak dapat dipungkiri, rasa bersalah dan tanggung jawab mengiringi.
Ketika sakitku rasanya sudah tak tertahankan, aku minta suamiku membacakan surat-surat Quran. Matsurot. Anakku menyetelkan rekaman doa matsurot juga saat menemaniku. Dan mereka bergantian memelukku, menciumiku, menggenggam tanganku, menyisiri rambutku. Pendek kata, tubuhku harus dipegang-pegang oleh suami dan anakku.
Maka kemudian perlahan aku bisa tertidur.
Dan seiring kecemasanku menghilang, aku bisa tidur, dan kesehatanku pulih.
Bukan hanya seorang bayi yang butuh pelukan.
Orang dewasa, siapapun dia, ketika sakit fisik dan psikis, ternyata membutuhkan pelukan skin to skin dari orang-orang yang dicintainya.
Aku mulai membiasakan kembali pelukan skin to skin. Ketika anak-anakku pulang dari kampus dan sekolah; entah apa yang mereka alami. Mungkin konflik dengan dosen, teman, atau orang di jalan. Mungkin mengalami bully-ing. Mungkin mengalami frustrasi karena target tak sesuai harapan. Mungkin mengalami kejadian tak mengenakkan sehingga muncul kemarahan dan kecemasan. Biasanya aku cukup cium pipi kanan kiri, sekarang lebih intens. Memeluk, mengusap tangan, menggenggam jemari. Kepada suamiku juga. Siapa tahu, di balik aktivitas sehari-hari yang melenakan, tersembunyi kecemasan yang kronis.
Mother and son lay in bed together
https://www.scarymommy.com/lying-down-with-your-kids-until-they-fall-asleep-is-not-bad-habit/
https://muslimdunyaa.com/best-islamic-love-quotes/
ketiga anakku kalo panas juga di-skin-to-skin
efektif banget emang