Sekitar jam 23.00 malam tadi, saya keluar ke toko terdekat, lupa bahwa malam itu giliran mendapat jatah konsumsi untuk satpam kompleks .
Saya naik sepeda motor, melewati kelurahan Wonorejo dan terpesona, begitu ramainya kantor yang selama ini sepi. Ramai bukan karena ajang dangdut atau main kartu, tapi rinduh rendah suara percakapan, perdebatan, diskusi, bahkan rasa lapar yang menghinggapi hansip hingga para relawan masing-masing partai.
Situasi yang menurut saya menakjubkan, orang berduyun keluar dari rumah, menuju TPS dan menyaksikan penghitungan suara hingga mengawalnya ke kantor kelurahan. Bukan ajang hiburan joged semata, pentas musik atau pesta pernikahan, namun rakyat turut meramaikan kesempatan menjadi bagian penting dari masyarakat, bangsa dan negara Indonesia.
Masing-masing partai punya cara unik sendiri.
Saya pribadi, mengajak anak-anak yang sudah SMA, Inayah dan Ayyasy untuk ikut aktif sekalipun mereka belum menjadi bagian dari pemerintahan. Setidaknya, adrenalin muda mereka terpacu : inilah saatnya Indonesia bangkit bermartabat, membuktikan pada dunia Pemilu damai dan jauh dari kecurangan.
1. SAKSI
Saksi bermacam-macam. Ada bapak dan ibu terpelajar, dengan pakaian rapi ala eksekutif. Ada juga pemuda dan mahasiswa dengan pakaian casual. Ada pula wajah-wajah muda pelajar pencoblos pemula yang bersedia jadi saksi.
Briefing pagi, koordinator mengingatkan,
“Jangan bertujuan sekedar mencari honor. Niarkan untuk ibadah. Kita ingin menjadi bagian dari perubahan dan kejujuran. Semoga langkah Bapak, Ibu, Adik-adik sekalian mendapatkan barakah Allah SWT.”
Kata “amin” yang diucapkan bersama serasa menggedor bilik jantung, memanaskan kelopak mata.
Bukan! Ini bukan saat menjadi radikal, fundamental, ajang perjuangan suci yang dapat berubah menjadi langkah-langkah emosional belaka. Ternyata, masih banyak orang yang menginginkan kejujuran di saat-saat kritis. Pencoblosan suara ini, salah satunya.
Ada kelucuan para saksi di TPS, tempat pemilihan suara. Agar tidak ada syak wasangka, setiap yang punya waktu usai Dzuhur segera berkeliling menuju TPS-TPS di kelurahan masing-masing. Saya pribadi usai mengantarkan logistik makan siang, pulang untuk sholat dan istirahat sebentar, kembali berkeliling. Di Grup WA-whatsapp banyak kehebohan.
“TPS X kosong! TPS W gak ada saksi kita!”
Segera meluncur.
Di TPS, alhamdulillah ada saksi cadangan yang menggantikan. Tapi para saksi utama kemana?
“Saya sholat, Bu. Tadi sudah bilang sama mas fulan untuk gantikan saya.”
“Bu…maaf saya haidh, ganti s***tex agak lama…tapi di TPS ada yang gantikan kok.”
Di suatu TPS, saya bertemu seorang saksi pengganti, yang celingukan, untungnya kami saling mengenal.
“Bu Sinta, kok saksi kita gak ada? Katanya cewek, masih muda, ini semua saksi sudah tua semua. Mana ya?”
Saya selalu menyimpan data nama, nomer telepon, tidak malas untuk mencatatnya. Prediksi hal-hal semacam ini sudah terbayang, meski saya bukan panitia inti.
Saya menelepon Ayu(samaran).
“Ayu, ini bu Sinta. Kamu dimana? Dicari saksi cadangan, mas Ali(samaran).”
“Oh saya di dalam bu, masuk saja…”
Di TPS X, terdapat aula kosong, dan Ayu tergeletak disana. Saya tanyakan ia kenapa?
Dengan malu-malu Ayu berkata,” Bu, saya izin sebentaaaar aja tiduran ya, ngantuk nih, habis saya juga lagi haidh. 30 menit boleh?”
Saya tertawa dan mengiyakan.
Kepada mas Ali saya katakan, “mas, Ayu mau tiduran 30 menit. Mas Ali jaga ya!”
Untung, mas Ali kooperatif .
Jangan pernah underestimate pada para saksi, sekalipun mereka ibu rumah tangga dan terlihat sangat sederhana, bahkan kampungan. Beberapa menunjukkan sikap luarbiasa! Meski ibu-ibu yang semula kita perkirakan tidak punya kapasitas mengawal suara.
Ibu Hani (samaran) ternyata sangat kritis dalam menghitung suara. Ia menentang keras ketika KPPS berkata, “saksi tidak perlu tahu jumlah pencoblos!” Bu Hani rela ngotot, disaat saksi-saksi yang lain diam saja, bahwa jika saksi tidak tahu persis jumlah suara pemilih, maka bagaimana dapat mencocokkannya dengan surat suara?
Ada lagi seorang ibu, sebut namanya bu Eni (samaran), yang keukeuh berkata bahwa penghitungan suara oleh PPS berbeda dengan catatannya. Penghitungan ulang dilakukan hingga 3X! Tentu saja bu Eni mendapat kritikan pedas dan caci maki dari saksi lain, tapi ia tetap bertahan dan berkata, “saya hanya ingin penghitungan yang jujur!” Alhamdulillah, memang terdapat selisih suara.
Mungkin saja tidak ada yang berniat buruk, semisal ingin menambah suara. Hanya, semua pihak sudah sangat lelah. Tapi sikap bu Eni luarbiasa untuk berani bersuara ketika data yang ia punya, berbeda dengan yang ada di PPS. Kadang, untuk bicara jujur, kita sungkan dan merasa,” ya udahlaaah, gak enak sama yang lain.” Padahal, sikap bu Eni pantas diapresiasi dan bukannya dicela.
2. LOGISTIK I
Sejak 05.30 saya sudah mengoprak anak-anak.
“Ayo bantuin Ummi! Jangan ada yang nonton televisi, jangan ada yang baca komik, jangan ada yang malas-malas. Bantu Ummi jemput logistik di bu Diana.”
“Trus, kita sarapannya apa, Mi?”
“Mikir sendiri ya, Ummi mau mikirin saksi hari ini. Kalian boleh masak sendiri, boleh beli.”
“Okeee!”
Berhubung semua mobil sudah habis terpakai, kami para relawan logistik memakai sepeda motor masing-masing. Sarapan pagi hingga sejumlah belasan dan puluhan, kami bawa, di gantungan sepeda motor, dipangku, di stang. Menuju titik-titik briefing. Ayyasy di depan, saya membonceng di belakang.
“Aku aja yang di depan,” kata Ayyasy. “Ummi naik sepeda motornya lama!”
Kami bolak balik mengantar sarapan pagi untuk saksi di titik briefing masing-masing kelurahan. Wajah-wajah sigap menanti sejak ba’da subuh. Arahan koordinator saksi didengarkan seksama. Setelah sarapan dan melepas hajat bagi yang memerlukan, jam 07.00 pagi saksi tiba di TPS masing-masing lengkap dengan kartu tanda pengenal.
Kami sampai di rumah berkeringat, kotor dan bau.
Di pintu, anak-anak menyambut.
“Ummiiii, kita sarapan apaaa?”
Ya ampun, anak-anak!
Untuk, para kakak sigap.
“Udah, aku aja yang belanja dan masak, Ummi mikirin yang lain! Ayo, Ummi dibuatkan minuman panas biar melek! Ummi mau makan apa? Mie telor?”
Aku terharu dan bahagia melihat anak-anakku yang besar mulai mampu mengambil alih. Meski, kalau si kakak sudah jadi komandan, maka…
“Hei! Kalian jangan enak-enak aja ya! Nonton! Baca! Lihat semua berantakan!”
“Ayo bereskan meja makan!”
“Ummiiii, kenapa aku yang disuruh-suruh sihhh sama mas, sama mbak?”
“Ummi! Mas bentak-bentak tuh!”
“Ummi! Mbak In main suruh-suruh aja!”
Kalau sudah heboh seperti ini, aku menginisiasi rapat darurat.
Kuabsen nama anak-anak satu-satu.
“Apa kalian tahu, dunia sedang mengamati pemilihan umum di Indonsia? Ayo jangan egois. Semua bersabar, banyak istighfar. Ummi mau mencoblos, mbak In juga. Jangan lupa Dhuha ya…”
Tenang. Reda sebentar. Lantunan istighfar. Wudhu untuk sholat Dhuha.
“Ummiiii!!!”
Hadehhh.
3. LOGISTIK II
Jam 09.30 usai mencoblos, aku bersiap-siap.
Kali ini , si kakak Inayah yang menjadi asistenku. Kami mulai mendatangi bu Diana, tim logistik, dan segera menyiapkan air mineral botol, nasi kotak dan snack. Dengan asumsi mendapat jatah untuk 10 TPS, jika 1 tempat butuh 10 menit maka total 100 menit. Belum kalau lokasi masih samar-samar. Rapat terakhir hari Selasa, semua makanan harus terdistribusi jam 11.00 siang.
Aku melakukan 2 kesalahan. Pertama, bensin habis, terpaksa harus ke pom bensin dan itu menambah jatah waktu keliling. Kedua, belum survey lokasi. Kepada koordinator, aku bertanya ancer-ancer lokasi.
Kucatat, kucoret-coret panduan, dan kami berangkat.
Dan, kritikan suamiku kali ini betul-betul mengena!
“Ummi harus belajar navigasi! Cari timur, barat, selata, utara! Itu akan memudahkan kita cari tempat!”
Berlindung atas nama perempuan, aku memang selalu mengandalkan suami untuk mencari daerah atau alamat baru. Minta antar hehe…tapi kali ini mana mungkin? Suamiku sedang sibuk berhari-hari dengan titik wilayahnya sendiri yang jauh dari lokasiku.
Maka aku bertanya pada hansip, mana TPS-TPS bagianku.
“Ngidul nggih…ngalor…wetan…kulon!”
Aku orang Jawa memang tapi lebih tahu kiri kanan dari pada timur barat selatan utara!
Inayah mengeluh,” ya ampun, ummi nggak sistematis banget sih…”
Tentu dia yang kepayahan, sebab harus memanggul konsumsi dan turun membagikan satu demi satu pada saksi. Aku minta maaf padanya dan mengakui itu kesalahanku meski tetap berdalih, “makanya Ummi minta keluar jam 09.30 untuk mengantisipasi kesasar.”
TPS-TPS yang kukunjungi demikian meriah. Masuk gang-gang kecil, berada nyaris di ujung Wonorejo dekat Bosem atau danau buatan zaman Belanda dulu, jalannya dinamakan jalan makadam alias jalan berbatu. Pulsa habis, baterai limit. Susah mengontak saksi untuk menanyakan dimana posisi mereka. Berbekal arahan hansip dan coretan dari koordinator saksi kami menyusuri jalan. Kadang, hansip sendiri tidak tau TPS lain yang dimaksud.
“Oh, pokoknya jalan aja terus Bu, nanti disana ada TPS juga kok.”
Jalan? Jalan kemana? Lewat mana dan gang berapa? Akhirnya aku berpesan pada Inayah tiap kali bertemu 1 TPS, menanyakan TPS yang berikut pada saksi. Misal TPS 15, kami akan bertanya dimana TPS 16. Misal TPS 21, kami akan bertanya lagi dimana TPS 22. Yah, meski arahan simple mereka kadang menjerumuskan.
“TPS 22? Oh, gampang kok Bu. Keluar dari gang ini, pokoknya nanti di pinggir jalan raya.”
Ow-ow, bapak itu penduduk asli. Kami bukan. Yang dimaksud keluar dari gang ini ternyata melewati gang bermacam-macam, berkelok-kelok, menembus jalan buntu, timur-barat-selatan-utara tidak terdeteksi. Berkali-kali kesasar, dan karena aku tak bisa memutar sepeda motor dengan otomatis, Inayah bolak balik harus turun.
Surabaya tengah ruaaarrrrbiasa panassss!!!
Di bawah terik matahari, kami berdua dehidrasi. Di tepi sungai, kami berhenti dan minta Inayah beli teh gelas dingin.
“Kamu mau digantikan Ayyasy, mbak In?”
Inayah menggeleng dan tertawa.
“Nggak usah! Aku senang sekali Mi, ikut serta. Rasanya heroik sekali!”
Apalagi, tiap kali mengantarkan konsumsi, saksi kami demikian sumringah dan gembira, membuat saksi dari partai lain bertanya-tanya.
“Kok dirumat nganti semono yo?” ( kok dirawat/dilayani sampai segitu ya?)
Kami berdua sampai di rumah kekeringan, kulit menghitam terbakar dan rasa haus mencekik. Inayah minta es krim sebagai penyuntik energi. Usai sholat Dhuhur, kelelahan akibat berputar-putar sedari pagi, aku tertidur sesaat.
4. LOGISTIK III
Aku tertidur sesudah sholat Asar.
Tubuhku demam. Memang sejak Senin, hujan deras mengguyur Surabaya dan aku terpaksa bermandi basah kuyup dibawah rahmat Allah SWT. Demam. Diare. SMS, message dari suamiku tak tergubris hingga menjelang pukul 17.00.
“TPS kompleks kita sudah hitung suara?”
Aku meloncat.
Ya ampun! Tadi siang, sesuadah menyerahkan logistik II, aku dan Ayyasy berkeliling menyambangi satu demi satu TPS yang saksinya ingin digantikan untuk ke kamar mandi, sholat atau mungkin kelelahan. Malah TPS kompleksku tidak terpikir. Kali ini, mengunjungi TPS 9 dan 10 di kantor RW ditemani anakku, Nisrina. Si kecil kelas 5 SD yang masih belum faham.
“Yang menang partai apa, Mi?” tanyanya.
“Ini masih dihitung suara, Sayang.”
Kami duduk, menunggu, aku memantau berita lewat whatsapp.
“Kok lama banget sih?” keluh Nis.
“Ya iyalah, itu dibuka, dihitung satu-satu.”
Berita terbaru terunggah di WA.
“Siap logistik malam ya!”
Aku segera mengontak tim, beberapa sudah tumbang karena kelelahan. Maka sekali lagi, aku meminta anakku jadi asisten.
“Kali ini malam ya, jadi Ayyasy yang ikut Ummi. Ummi naik motor, Ayyasy yang bagikan.”
Pengalaman tadi siang membagikan 10 TPS, alhamdulillah, lebih lancar. Meski, menginjak TPS ke 7 hujan deras mengguyur.
“Gimana Yasy? Kita berhenti?”
“Nggak usah Mi! Terus aja! Kasihan saksi!”
Alhamdulillah, dua anakku mulai merasakan tanggung jawab. Kami menembus hujan dan kuminta Ayyasy merapalkan doa-doanya di bawah curahan rahmat Allah SWT.
“Ya Allah…semoga aku menang lomba Tupperware tahun ini,” teriaknya.
“Amiiin!”
“Semoga abah ummi punya mobil!”
“Amiiin!”
Kata semoga,semoga,semoga dan harapan lain meluncur dari mulut dan hati kami. Menurut Ayyasy, ia senang sekali menemui saksi dan mendapatkan apresiasi.
“Tadi ada yang bilang macam-macam, Mi…wah enaknya, dianterin makanan dari pagi…wah, aku hampir aja beli makan malam. Alhamdulillah ya Mi…”
Di rumah, hingga malam tiba, anak-anak mengamati berita televisi, laporan di grup whatsapp. Suamiku baru pulang menjelang jam 03.00 dinihari. Kepada anak-anak yang masih berjaga kusampaikan, semoga mereka belajar dari sekarang bahwa seperti inilah upaya dan kerja keras kita dalam mengawal kebaikan.
5. PREMAN TOBAT
Tidak semua orang sanggup bersikap jujur saat Pemilu.
Saya tidak ingin menyalahkan siapapun, sebab masing-masing pihak punya alasan sendiri. Mungkin saja PPS sangat lelah, seperti kasus bu Eni. Mungkin juga ada yang mau potong kompas, seperti kasus bu Hani. Dalam gerakan massa seperti saat pencoblosan, sebagian orang merasa khawatir terhadap persepsi luas masyarakat. Dalam Psikologi Sosial dapat dinamakan Penonjolan, Kategorisasi, dan Skema.
Orang takut melihat warna dan simbol tertentu, sebab melambangkan keganasan.
Misal, orang takut melihat lelaki bertubuh tinggi tegap, rambut cepak, baju gelap. Skema terbentuk, ia reserse atau polisi yang sedang mengintai. Sehingga kita menjadi takut.
Orang takut melihat pakaian loreng, khawatir ia milter, sehingga kita akan bersikap hati-hati bila bertemu di jalan raya. Padahal ia hanya orang sipil biasa. Begitupun stiker yang tertempel di kendaraan : Marinir, Polisi, Brimob, Akpol, dll; membuat kategori menonjol dan kita jengah dibuatnya.
Saat pemilu pun demikian.
Para pemilih biasanya merasa khawatir, takut bila pilihannya menentang arus. Apalagi bila di kanan kiri, terlihat berseliweran orang-orang menggunakan simbol warna tertentu.
Preman tobat, menjadi salah satu pilihan.
Koordinator saksi berkata kepada preman yang sudah meninggalkan dunia hitam tersebut, “tujuan kita adalah mengamankan suara kita sendiri. Membuat para saksi berani bersikap. Sama sekali kita tidak perlu mengintimidasi.”
Kehadiran preman tobat ini bermanfaat di daerah rawan.
Apa daerah rawan? Terutama daerah yang biasanya dihuni buruh, orang-orang kampung dengan pendidikan rendah yang takut dengan sekali gertak. KPPS yang tunduk pada keinginan caleg tertentu akhirnya tidak berani macam-macam pada preman tobat.
Alhamdulillah, di daerah rawan, meski suara partai Islam di beberapa TPS tidak mendominasi, suara itu selamat sampai ke kelurahan. Para saksi tidak takut untuk bersuara, para pencoblos tidak khawatir akan intimidasi.
6. PELAJAR MENCOBLOS
Pemilu kali ini lebih meriah.
Di kompleks rumah saya, mulai terlihat wajah-wajah muda yang berangkat ke TPS bersama orangtua. Begitupun saya dan Inayah.
“Ummi mau coblos siapa?” tanya Inayah.
“Rahasia dong!” aku tak ingin ia hanya taklid buta padaku.
“Kalau aku pilih ustadz X, gakpapa ya?”
“Lho, kenapa kamu pilih ustadz itu?”
“Soalnya aku gak berharap ustadzah Y jadi, sebab ustadzah Y adalah guru favorit di sekolahku.”
“Terserah kamu, deh.”
Di depan TPS, kami melihat lembaran terpampang mulai DPD, Dapil 3 Kota Surabaya, Dapil 1 Provinsi, Dapil 1 Pusat. Kami melihat-lihat gambar. Berdiskusi sebentar. Melihat foto-foto yang terpampang.
“Ummi pilih siapa?” sekali lagi Inayah bertanya.
“Ummi pilih orang-orang yang Ummi kenal, yang Ummi sudah tahu kinerjanya. Pak ini bagus, Ummi pernah bantu resesnya. Bu ini Ummi kenal, kiprahnya sebagai ummahat dan pengusaha luarbiasa. Ustadz yang ini bagus, Ummi kenal.”
Kami mencoblos.
Mencelupkan kelingking ke tinta ungu.
Berjalan bergandengan ketika pulang, layaknya ibu dan anak.
“Bagaimana jika kita tidak menang?” tanya Inayah.
“Apa maksudmu kita tidak menang?” tanyaku ingin tahu.
Inayah sudah melihat betapa pontang pantingnya kami, dan itu cukup mewakili keluarga-keularga dai yang lain, meski apa yang kami lakukan masih sangat jauh dari yang dibutuhkan ummat.
“Yaaa, ternyata perolehan suara kecil,” jawab Inayah sedih.
“Kamu tentu sudah baca Kemenangan Shalahuddin di Perang Hattin 1187 karya David Nicole,” aku mengingatkan. “Ingat bagaimana Shalahuddin memenangkan Yerusalem? Itu kerja ringan dan sebentar kah?’
Inayah menggeleng.
“Bagaimana ia menaklukan satu wilayah demi satu wilayah kecil, membuat perjanjian dengan raja-raja kecil agar pasukannya bisa lewat dengan aman. Bagaimana ia memperhitungkan bahwa memanggul senjata besi dari Mesir ke Yerusalem sangat berat dan tidak efektif, maka Shalahuddin memastikan daerah yang di lalui pasukannya terdapat produsen bijih besi…”
Kami sering berdiskusi tentang beragam hal.
Tapi diskusi saja tidak cukup.
Kali ini Inayah mencoba belajar memilih, menjadi bagian dari masyarakat Indonesia, ikut berlelah-lelah mewujudkan satu sikap integratif.
Karakter, tidak dibentuk satu-dua hari.
Butuh ditanamkan, dilatih, didisiplinkan, dipenuhi kognisinya. Kita ingin anak kita mandiri, punya sikap, berani, jujur, pandai dan mampu menjadi pemimpin yang solutif. Salah satu yang harus diupayakan adalah melibatkan anak-anak pada aktivitas sosial, apapun bentuknya. Kepada anak-anakku, aku mengajarkan mereka untuk menyambangi masjid, bersilaturrahiim dan mengenal banyak orang. Kepada anak-anak lelakiku, aku minta mereka ikut Karang Taruna agar tau permasalahan remaja. Kepada Inayah, aku menyarankan ia memperhatikan permasalahan 2-3 orang sahabatnya dan berpikir solusi apa yang diambil. Kepada Nisrina si kecil, aku mengajarinya berani bersuara terhadap kakak-kakak dan teman-temannya.
Anak-anak harus belajar terlibat organisasi agar mereka belajar berkomunikasi, bekerja sama, belajar memimpin dan dipimpin, belajar koordinasi, belajar menjadi tim yang kompak. Pemilu sehari kemarin, anak-anakku melihat dengan mata kepala sendiri, bagaimana tim gerak cepat menyiapkan lgositik dan membaginya, mengawasi TPS dan menjaga saksi, mengawal kertas suara.
Harapannya, bila anak-anakku ingin melakukan langkah-langkah baik dan jujur, mereka juga harus belajar bagaimana teknis-teknis pelaksanaannya mulai rancangan hingga eksekusi. 5 tahun ke depan, anak-anak kita yang akan memimpin negeri ini.
Saya merinding bacanya.
Edukasi politiknya bagus sekali, mengajarkan generasi penerusnya dan sekelilingnya untuk belajar bertanggung jawab.
Semoga anak2 kita mampu mewujudkan Indonesia yg maslahat, bermartabat, makmur ya Pak 🙂