“Mama kamu nyoblos apa?”
“Partai V. Kalau Mama kamu?”
“Aku X. Kok gak sama ya?”
Kami ibu-ibu senyum-senyum dengar percakapan anak-anak kecil di sekolah. Anak-anak itu boleh jadi diajak bunda mereka ke bilik suara, melihat tata cara mencoblos dan terjadi diskusi tersebut. Mereka masih kecil-kecil, kadang masih nangis ngosek kalau nggak dituruti jajan. Tapi pemikiran dan diskusi anak sekarang sangat variatif.
Politik, memang selalu menimbulkan polemik. Pro kontra. Serang sana sini. Hasut sana sini. Kalau membayangkan pertarungan politik 2019, lelah rasanya. Tapi politik juga membawa kehidupan yang lebih bergairah dari waktu-waktu sebelumnya.
Masak sih?
Iyalah.
Waktu saya SMP, SMA, apalagi SD; mana pernah ayah sama ibu saya ngomong bab politik. Saya juga nggak tau pilihan politik mereka berdua. Hanya pernah dengar selentingan kalau pegawai negeri harus ada pilihan wajib. Partai saat itu hanya 3 : Golkar, PPP dan PDI. Seingat saya, waktu kecil bahkan menjelang remaja sampai kuliah; gak ada ketertarikan blas buat ngomong politik.
Sekarang beda.
Bicara politik, bahas politik, bukan hanya sekedar di ruang public atau medsos belaka. Tetapi di ruang rumah kami. Di kamar tidur. Di ruang makan, ruang tamu. Kadang-kadang melihat anak-anak saya berdebat dengan argumentasi mereka, lucu aja. Bahasa-bahasa kelas ‘tinggi’ yang dulu saya nggak nyampe, sekarang biasa diperbincangkan anak-anak kita : pemilihan, hoaks, legislative, melanggar hukum, partai politik, pemilu, posisi strategis, dsb.
Bahkan bagi anak-anak yang belum paham betul pilihan politik yang bijak dan baik itu seperti apa, sudah melontarkan pernyataan politik.
“Ummi, aku ini sudah ikut nyoblos enggak?”
“Ih, aku nggak mau milih ketua kelas kayak dia lagi. Egois banget orangnya!”
“Wah, Ummi! Di koran ada Ilhan Omar. Keren ya, dia!”
Tuh, kan. Padahal usianya belum sampai 17 tahun dan belum dapat KTP.
Saya dulu boro-boro mikir nyoblos. Mikir mana partai yang merepresentasikan suara rakyat, ogah.
Bersyukur banget dengan segala kondisi sekarang, anak-anak dapat dewasa secara alamiah. Memang sih, pasti ada hal-hal buruk yang timbul. Mana ada sih di dunia ini, segala sesuatu disantap tanpa menimbulkan dua sisi mata uang? Politik membuat kehidupan bernegara kadang terpecah belah. Tapi, politik juga membuat hidup lebih bergairah. Anak-anak SD dan SMP mulai mikir : milih ketua kelas macam apa ya, biar kegiatan di kelas bisa berjalan? Bapak ibu juga semakin aktif mengkampanyekan nilai-nilai yang mereka yakini. Ada yang bergabung di komunitas pengajian, paguyuban orangtua, komunitas seni dan segala macam. Semakin banyak berinteraksi, semakin banyak kesempatan berdialog.
Bagi saya ini positif.
Kalau dulu saya taunya sekolah, les, belajar kelompok; anak-anak saya mulai ikut ini itu demi belajar politik yang sesungguhnya.
“Di kampus, aku jadi tim media, Mi. Gak bergengsi sih posisinya. Tapi itu yang aku bisa dan aku bekerja sebaik-baiknya. Eh, karena kerjaku baik, teman-teman selalu suka. Aku sampai diperebutkan sana sini jadi tim sukses, lho.”
“Ilhan Omar dari Somalia keren ya, Mi. Udah punya anak 3, lagi.”
Ilhan Omar memang spektakuler. Perempuan asal Somalia ini pernah tinggal di pengungsian Kenya selama 4 tahun dan hidup dalam kondisi serba sulit.
Ada 2 muslimah yang duduk di kursi Kongres saat ini, satu lagi perempuan keturunan Palestina. Ilhan sendiri terpilih menjadi anggota House of Representative, mewakili distrik 5 negara bagian Minnesota.
Perbincangan-perbincangan sepele itu sepertinya tak punya muatan apa-apa. Tapi idola, pusat perhatian anak-anak kita, sekarang dimeriahkan dengan panggung politik. Mereka tidak lagi hanya menjadikan fenomena orang keren dari kalangan artis atau selebritas saja. Tetapi orang-orang dari kancah politik pun bisa jadi orang yang keren banget.
Politik, membawa hidup lebih bergairah!
( Ilhan Omar, Jawa Pos 7/11/2018 dan 11/11/2018)
Belum tentu
Di tangan netijen indonesia, politik bikin pusingggggggg