Pernahkah kita merasa sangat tidak bahagia, tak berarti?
Dari dulu hidup hanya berlalu begini-begini saja. Hidup memang cukup, tetapi anak-anak tak tumbuh seperti yang diharapkan. Beranjak remaja, hilang lenyap impian menjadikan mereka seperti Shalahuddin al Ayyubi atau Muhammad al Fatih. Bukan sekedar mengekor gaya hidup barat –Korea atau Jepang- tetapi lihatlah keluarga ini. Tak jauh beda dari keluarga kebanyakan yang berburu uang di pagi hari, kelelahan di malam hari. Hubungan dengan pasangan hambar meski masih mencintainya. Aktivitas di organisasi seperti tak memberikan kontribusi positif – baik bagi diri sendiri, apatah lagi bagi ummat.
Sebagian dilanda regresi, sebagian frustasi.
Titik dimana kebahagiaan seolah hilang lenyap dari urat nadi. Yang lebih tak terbayangkan, sebagai pelaku kebaikan dan penyeru kebaikan, kita seperti apa yang dikatakan syaikh Ahmad Ar Rasyid : para pejuang mulai kelelelahan oleh beragam sebab manusiawi perkara duniawi.

Happiness. Para pakar psikologi, sosiologi, antropologi getol mencari definisi. Apa makna bahagia? Mengapa di masa muda, saat tinggal di kost sempit yang bocor dengan air kran yang hanya menyala sesekali, makan ala kadarnya di nampan besar, dikejar deadline kampus dan da’wah, seolah kebahagiaan menyala demikian degup di jantung?
Pengantin baru, bersama pasangan mencanangkan jumlah anak, memberikan nama masing-masing dengan nama nabi, sahabat atau pejuang yang dicatat namanya dengan tinta emas.
Dan sekarang, kemana kebahagiaan itu lenyap?

Kebahagiaan, Subjective Well Being?

Di sekitar tahun 1967, Warner Wilson, membuat alat ukur kebahagiaan yang dikenal dengan Subjective Well Being. Asumsinya mendapat pujian dan kritik dari pakar lain. Kebagiaan adalah hal yang sangat subyektif, tak akan dapat disamakan satu budaya dengan budaya lain.
Di masyarakat liberal, bebas adalah bahagia. Individualis adalah bahagia. Di masyarakat timur, terikat oleh norma dan hidup bersama adalah bahagia.

Bila kebahagiaan sangat berbeda, lalu bagaimana mengukurnya?
Sifat subyektif ada untung ruginya. Kerugiannya, bila orang melakukan hal menurut budaya masing-masing, apakah ia hilang kepribadian bila ingin ikut arus sesuai budaya setempat? Di Arab pakai jilbab, sebab begitulah adatnya. Bukankah subyektif sesuai situasi dan kondisi? Di Barat minum Wine, sebab itulah budaya.
Berubah sesuai tuntutan zaman dan tempat agar meraih bahagia, itukah maknanya?
Warner Wilson tertahan oleh beberapa sebab akan ‘bahagia’ dan subjective well being.

Kebahagiaan dan psychological well being

Carol Ryff, professor dari Wisconsin University sekitar tahun 1990 mengembangkan alat ukur bahagia, dikenal dengan PWB- psychological well being. Alat ukurnya masih digunakan hingga sekarang, karena dianggap lebih reliable dan valid. Bahagia adalah bila segala sesuatu berjalan running well. Bahagia adalah bila memenuhi 6 kondisi :

• Self acceptance – penerimaan diri
• Personal growth – perkembangan kepribadian
• Environmental mastery – menguasai lingkungan
• Positive relation with others _ hubungan positive dengan pihak lain
• Purpose in life – tujuan hidup
• Autonomy- kemandirian
Ukur diri kita. Adakah 6 hal yang terlewatkan?

Bila bahagia tidak PWB, apa obatnya?

Kita ternyata tidak cerdas, IQ hanya berkisar 95-110. Tak ada yang berubah dari kepribadian : tidak persuasive, masih gugup ketika berbicara. Jangankan menguasi lingkungan, kita bahkan seringkali pasif terhadap segala kesempatan. Hubungan baik hanya dengan beebrapa orang, sebab kita adalah pribadi yang sulit. Kemandirian, mungkin itu satu-satunya yagn terpenuhi, sebab usia kita memang sudah dewasa!
Ternyata, berdasarkan alat ukur di atas, kita termasuk kategori tak bahagia.
Bagaimana ini?
Kita adalah manusia yang ingin mencapai sesuatu, kita juga pelaku kebaikan yang sering disebut-sebut sebagai dai dan daiyah. Tapi sungguh, sesuatu menggerogoti diri dan kita tak lagi merasa bahagia.

The Simple Happiness
Bila Wilson dan Ryff mengemukakan bahagia demikian rumit, maka Christopher (1999)mengemukakan bahagia lebih sederhana. Bagi Christopher, bahagia bukan berarti seseorang tak pernah sama sekali mengalami kejadian negative, bahkan boleh jadi seluruh hidupnya diwarnai keekrasan hidup dan situasi negative, hanya saja :

The frequency of experience of positive or pleasurable feelings such as joy and happiness, more than negative or unpleasurable ones describes subjective well-being. It is viewed as composed of the balance between pleasurable feelings (positive affect) and unpleasurable feelings (negative affect). The extent to which the positive affect outweighs negative affect is said to define a person’s feeling of happiness (Christopher, 1999). An individual who experiences more positive affect and few negative ones is viewed as having better psychological well-being.

Segala kesulitan bermakna lebih. Segala hambatan bermakna positif. Segala kekurangan adalah kemungkinan untuk mencoba.

Egostrength

Maka, kekuatan mental atau egostrength adalah salah satu cara untuk mendapatkan kebahagiaan, dari celah yang paling sempit.
Anak-anak bermasalah?
Oh, mereka sedang berkembang, eksplorasi. Waktunya kita untuk belajar dakwah kepada remaja. Apa saja cara untuk memikat hati mereka?

Dakwah kita kepada orang-orang menuai kendala.
Jangankan terikat , malah kita dianggap yang tidak-tidak. Ambisi jabatan, omong doang.
Hm, dakwah toh bukan hanya di satu tempat. Kenapa tidak berbuat baik lewat dunia maya? Kenapa tidak dakwah kepada teman-teman satu geng dulu di masa SMP SMA?

Tetap resilience, bertahan, ibarat pegas yang makin ditekan makin melambung.
Dan, salah satu hal yang membuat kita tetap bahagia adalah kemampuan untuk resilience, sebab kita memiliki egostrength yang kuat dalam menghadapi masalah apapun.
Bagai pegas. Makin ditekan, makin melaju kencang.
Egostrength, adalah salah satu kekuatan yang dimiliki para pejuang besar.
Mereka yang tak takut oleh kelemahan dan kekalahan.
Dari mana sumber resilience dan egostrength itu?
Coba lihat quran.
Baca.
Hafalkan, meski sedikit.
Dan, mengapa bahkan seorang schizofren dan anak autism hebat mampu terdiam tenang mendengarkan Quran?
Selain katarsis hebat, tempat manusia bisa mencurahkan segala emosi dengan membaca Quran, ternyata Quran membuat segala energy dan gelombang otak menjadi stabil, memusar lebih kuat. Siap untuk melangkah lebih.
quran

0 thoughts on “Psikologi Da’wah (3) : Quran dan Egostrength”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *