“Sejarah Rasa Fiksi : Sebuah Bacaan Pendamping The Road To The Empire.”
Kiai Faizi, M.Hum ( Pesantren AnNuqoyyah -Guluk-guluk, Sumenep)
Novel, sekuat apapun data-data faktual yang dirujuknya, tetaplah menjadi karya fiksi. Karena itu, seseorang yang bersiap-siap membaca sebuah karya fiksi, sepatutnya ia juga menyadari bahwa ia akan berhadapan dengan sebuah “ cerita yang tak ada”. Lalu, bagaimana dengan novel berlatar sejarah? Atau menyelip-nyelipkan elemen kesejarahan? Ya begitulah, ia tetaplah fiksi ; sesuatu yang tidak pernah terjadi tetapi mungkin pula terjadi.
Karya sastra akan tetap dibaca masyarakat , betapapun itu bukanlah hal yang nyata. Ini menyangkut selera nurani, bahkan naluri : bahwa manusia tidak selalu ingin yang nyata. Ia juga ingin imajinasi yang kaya.
Namun begitu, kelebihan novel yang ditulis berdasarkan data-data sejarah seperti novel The Road to The Empire karya Sinta Yudisia ini, adalah bahwa dalam sekali kesempatan, ia bisa menyuguhkan data-data faktual pada saat dia juga menyampaikan sesuatu yang tak nyata (fiksi).
Ada banyak alasan yang dapat diajukan menyankut novel sejenis ini; fakta yang diangkat terlalu riskan jika disajikan dalam bentuk aslinya (jurnalisme /nonfiksi) seperti kasus Timortimur dalam Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidharma; atau, penulis ingin agar sejarah yang disuguhkan lebih berkesan jika disuguhkan dalam fiksi ; ataupula menjadi upaya memperkenalkan data-data sejarah yang tidak terangkat , dan menganggap fiksi sebagai cara yang tepat memperkenalkannya pada masyarakat yang tidak begitu rajin membaca. Dalam posisi seperti ini , berada dimanakah Sinta Yudsiai? Entahlah.
*************
Novel merupakan genre sastra yang banyak dipilih kaum perempuan untuk berekspresi, mengingat semua penulis perempuan di tanah air yang saya ketahui memilih genre ini sebagai media tulisannya. Ini adalah asumsi awal. Selasih adalah orang peratama yang dikenal sebagai orang perempuan pertama yang menulis novel. Kalau Tak Untung , novelnya itu, dikemudian hari, menandai bermunculannnya keberadaan penulis-penulis perempuan Indonesia. Lambat laun, pelan tapi pasti, keberadaan mereka menyita banyak perhatian : baik secara kuantitas maupun kualitasnya.
Tengarai yang disampaikan oleh Korrie Layun Rampan (Kompas, 25/02/1996) bahwa menulis novel bukan menjadi pilihan perempuan-perempuan penulis di Indonesia. Dalam amatan saya, dimaksudkan untuk menunjukkan angka atau jumlah. Artinya, nama-nama seperti Fatimah Hasan Delais, Suwarsih Djojopuspito, Arianti, Luwarsih Pringgoadisuryo, Hana Rambe, Titi Said dll. belum seberapa banyak jika dibandingkan dengan penulis laki-laki. Yang patut disyukuri adalah bahwa kecenderungnan perempuan untuk menulis, hari demi hari, terus membaik. Demikian pula teknik, pencitraan, serta gagasan yang diusungnya, juga menunjukkan perkembangan yang menyenangkan.
Wiyatmi mencatat ( Kompas, 21/04/1996) dalam hal produktivitas, para perempuan penulis lama cukup bagus. Namun dalam soal pemikiran, pada awalnya novel-novel tentang perempuan, baik yang ditulis laki-laki maupun yang ditulis oleh perempuan sendiri, selalu menuturkan nasib kaum mereka yang tidak beruntung, lemah, dan selalu menjadi korban. Biasanya, hal itu dikaitkan dengan persoalan cinta dan adat. Sitti Nurbaya-walaupun ia disebut roman-merupakan representasi kuat untuk itu.
***************
Novel yang ditulis oleh Sinta Yudisia, The Road to The Empire ( TRTTE ), merupakan salah satu bukti bahwa perkembangan kepengarangan penulis perempuan di tanah air telah jauh lebih maju dan berkembang daripada yang dicatat oleh pendapat di atas. Dalam novel ini, Sinta Yudisia begitu berani mengangkat tema perang/kekuasaan dengan bumbu romantika dalam satu bingkai latar sejarah; suatu hal yang jarang ditemui dalam peta kepengarangan penulis perempuan Indonesia. Novel ini mengandalkan latar cerita yaitu kekaisaran Mongol sejak Tuqluq Timur Khan hingga generasi selanjutnya, Arghun Khan / Albuqa Khan, hingga Baruji atau Takudar.
Buku setebal 560 halaman ini merupakan ramuan kisah taktik, perang, cinta, yang telah diolah campur-aduk dan disuguhkan dalam sebentuk novel berlatar sejarah yang nikmat, tetapi juga berat. Mengapa demikian ? Tradisi bacaan (fiksi prosa) masyarakat selama ini terlalu dimanja oleh bacaan-bacaan kekalahan perempuan, tren dunia remaja metropolitan, kisah cinta segitiga, pemberontakan, yang garis brunya adalah : persoalan cinta asmara semata. Bahkan, belakangan novel-novel tanah air hanya menunjukkan perkembangan dua aliran yang berarti ; yaitu novel-novel bertema cinta-agama-tradisi (seperti Ayat-Ayat Cinta dan sebangsanya) ; kedua, novel-novel kontemporer yang mengedepankan penggarapan di bidang bahasa dan ideology. Novel-novel “lulusan” Dewan Kesenian Jakarta seperti Saman – Ayu Utami, Genijora – Abidah el Khalieqy, Hubbu Mashuri dll merupakan beberapa diantara banyak contoh.
Novel TRTTE tampaknya harus menunggu waktu lebih lama untuk menemukan komunitas pembaca di tanah air. Selera bacaan yang telanjur diciptakan sejak lama oleh novel-novel yang lebih dulu popular sebagaimana disebutan di atas, telah begitu mengakar dan tertanam dalam peta penerbit –pembaca. Novel sejenis TRTTE, di samping tidak menemukan “kawan sebaya –sepermainan” juga karena “muatan” yang ditanggungnya yang tidak sepenuhnya ngepop meskipun disajikan sedemikian renyah sekalipun. Poppish dan seelera pop tetaplah tidak bisa diabaikan dalam menakar nasib sebuah karya, terkhusus dalam persoalan laku tidaknya, meskipun bukan timbangan bermutu tidaknya.
Berikut sedikit catatan pembacaan saya atas novel TRTTE. Karena tidak mungkin saya menulis sebegitu jauh hinggá membahas segala detil unsur/struktur novel, artikel ini saya tulis hanya sebagai “bacaan pendamping” (semacam further reading) bagi rekan-rekan yang hendak / telah membaca TRTTE karya Sinta Yudisia ini :
Pertama, sinopsis tentang Tuqluq Timar Khan yang dikembangkan di awal-awal cerita terasa terlalu sedikit jika dibandingkan dengan keinginan penulis untuk mengantarkan emosi pembaca dan kearah konflik cerita yang sebenarnya. Lebih dari itu , latar belakang penaklukan –penaklukan yang telah dilakukan oleh kaisar Jenghiz Khan, justru lebih sedikit lagi. Dalam anggapan saya, kisah tentang Tuqluq atau Jenghiz kHan harusnya ditulis dalam bab tersendiri. , baik yang mengikut plot lurus ataupun dengan pola plot balik. Hal itu dimaksudkan agar pembaca lebih dulu memiiliki pijakan pemahaman latar sejarah untuk melanjutkan cerita. Banyak pembaca barangkali yang tidak tahu menahu tentang Tuqluq dan Takudar, tetapi hampir semua orang tahu siapa itu Jenghiz Khan.
Kedua, terlampau banyaknya nama dan istilah asing cukup mengganggu. Hal ini mungkin tidak akan berakibat demikian jika nama dan istilah berasal dari bahasa Arab yang nota bene begitu mudah dikenali oleh tradisi dan khazanah masyarakat Melayu/Indonesia. Namun demikian usaha penulis dengan membubuhkan catatan/glosarium di bagian bawah halaman merupakan cara yang tepat untuk meminimalisir kesenjangan tersebut.
Ketiga, saat pertama kali membaca judul The Road to The Empire, saya langsung berburuk sangka dengan cara beringgris-inggris ria ini. Saya tidak tahu, apakah hanya dengan cara serperti ini kita dapat mendapat “baraokah” kesuksesan judul-judul novel luar dengan cara sukses dengan ta’aful, minimal pada gaya penjudulan semisal The Lord of The Ring, misalnya? Ataukah cara ini ditempuh agar lebih mudah ditemukan oleh mesin pencari sejenis Google atau Altavista? Atau , sekali lagi mohon maaf, karena sekedar gagah-gagahan saja. Untuk apa? Pertanyaan ini dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam TRTTE sama sekali tidak ada hubungan penting dengan bahasa manapun kerajaan Inggris J
Masih beruntung, novel ini tidak belepotan dengan kosa kata bahasa Inggris yang diadopsi, diadaptasi, maupun dipakai secara serampangan sebagai mana banyak terjadi dalam banyak genre chicklit dan teenlit yang marak beberapa tahun sila. Terus terang di antara keberatan saya yang terpenting, penamaan judul berbahasa Inggris inilah yang paling mendalam bagi saya selaku orang yang turut membesarkan bahasa Indonesia dengan menjadi warga dan penulis yang menggunakan bahasa ini sebagai medianya.
Keempat, setting /latar merupakan hal mendasar dalam perencanaan sebuah novel terlebih novel yang digali dari kekayaan sejarah. Nah, karena itu terasa janggal jika TRTTE seolah-olah terlalu asyik menggali latar tempat namur terlena pada penggarapan latar waktu. Peristiwa demi peristiwa dalam novel , meskipun diberi label “sangat filmis” sekalipunm nyatanya tidak didukung oleh deskripsi latar waktu yang kuat. Data tahun tanggal baru muncul pada halaman 74, itupun secara sepintas dan sekedar penunjukan tahun hijriyah, tanpa Masehi.
Demikianlah bacaan Sepintas saya, ini merupakan upaya untuk memberikan catatan pendek atas struktur cerita yang panjang. Dan tidak bijak rasanya jika saya, pada akhir catatan ini, jika tidak memberikan tepuk tangan untuk sang penulis, Sinta Yudisia, atas karya tulisnya yang tentunya memakan waktu berbulan-bulan untuk mengumpulkan rujukan dan menata alur ceritanya.
Sekedar tambahan, bahwa seorang penulis yang ingin mendapatkan hasil terbaik, tentu tidak dapat bekerja seorang diri. Ia membutuhkan penyunting, editor, dan kawan diskusi. Bukankah novel War and Piece nya Leo Tolstoi menjadi masterpiece setelah ditulis ulang sebanyak 7 kali. Ini menunjukan bahwa menulis karya tidak dapat sekali jadi. Ia butuh waktu untuk diendapkan, didiskusikan, salah satunya dengan cara didiskusikan seperti forum ini. Wallahu A’lam.
Wa maa min kaatibin illaa yublaawa yabqooddahra maa kassabat yadaahu falaa taktub bikhoththika khoiro syay-in tasurruka fii –l qiyaamati an-mmarooh
(Dznunnun Misro-in)
Setiap penulis akan diberi cobaan sepanjang tulisan itu masih ada.
Maka janganlah kamu menulis kecuali jika tulisan kamu itu dapat membuatmu berbahagia kelak di hari Kiamat.
Catatan berkesan dari acara Romántica Menulis Kreatif & Bedah buku The Road To The Empire di STAIN, Pamekasan :
Alhamdulillah, bedah buku dan diskusi yang dihadiri oleh ratusan peserta dalam situasi yang ‘panas’ berlangsung luarbiasa. Pertanyaan-pertanyaan yang masuk menggugah membangkitkan semangat diskusi, tentunya bukan jidal belaka. Ada beberapa catatan pertanyaan dan pernyataan yang penting untuk disimak :
- Kivi Faizi berkata : tujuan utama kritik sastra adalah supaya sang penulis tidak riya ketika karyanya diterbitkan dan mendapat pujian.
- Hana, Faqih, (pak Rusdi Zaki di DKS) juga bertanya : kenapa judulnya harus The Road to The Empire?
Awalnya, novel ini berjudul Tahta Awan atau Singgasana Halimun. Setelah diskusi dengan penerbit masalah mekanisme pasar, mau tidak mau kita harus obyektif bahwa ketika sebuah karya dilempar ke pasar kita juga berharap karya tersebut diserap dengan baik dan buah pikiran kita mewarnai banyak pembaca. Kita tidak hanya bicara royalty, kita bicara masalah nasyrul fikrah dan bagaimana masyarakat semakin dekat dengan produk karya sastra yang mencerahkan dan berkualitas. Sementara ini, jira sebuah judul ‘masih dapat ditawar’ okelah , sepanjang isi tak banyak diedit. InsyaAllah ke depan, jika pasar lebih menerima dan kita lebih mencintai produk karya sendiri; penerbit akan semakin berani menerbitkan karya-karya yang sangat khas Indonesia.
- Mengenai harga yang 63.000 : kemahalan? Kiai faizi bercerita bahwa ia sangat suka menulis puisi. Ia menulis puisi bertahun-tahun, baru diterbitkan 2007, baru menerima royalty 2009. 9 tahun ia baru bisa merasakan royalty. Beliau berkata, anda (para peserta) tidak adil jira mengatakan novel tabal TRTTE berharga 60-70 ribu kemahalan! Apakah anda tidak berpikir berapa lama sang penulis menulis, meriset, mengedit, mencari ide, menyempurnakan dst? Belum lagi kerja penerbit yang berkseinambungan? Jika masih menganggap karya sebegitu mahal…ya, kapan akan punya karya berkualtias? Jika penulis hanya dihargai murah, ia enggan menulis dengan ide-ide brilian.
- Duh terima kasih sekali kiai Faizi, nasehat anda tentang riya, tentang kata mutiara dari Dzunnun –Nabi Yunus As, dan pembelaan Kiai Faizi tentang ’harga mahal’ tersebut sangat membahagiakan.
- Dalamkesempatan tersebut dan banyak kesempatan saya selalu berkata, bahwa salah satu motivator di belakang saya adalah pak Maman S. Mahayana yang selalu mendorong ”….tidak selamanya penulis harus berorientasi pada royalti. Sudah waktunya anda berpikir tentang menghasilkan karya berkualitas.” Kalimat inilah yang menegaskan kita sebagai penulis, sebagai dai, sama seperti kata kiai Faizi yang menyitir dari Nabi Yunus….sebuah tulisan dapat membuat kita berbahagia, kelak di akhirat. Amiin yaa Robbal ’Alamin
berat, deh, rasanya dipanggil “Kiai” Faizi, he..e… Salam kreatif.
…oke deh saya ga panggil k.faizi la 🙂 cukup panggil “elkaelan” saja ya ki! eh…kiai lagi 🙂
maaf pak hanya guyon. salam hormat selalu
semakin kreatif mbak…
semoga pena mbak makin tajam dan menhasilkan karya yg semamin berkualitas
Assalamu’alaikumwrwb. Wah, senang sekali dikunjungi. Oya dek, mbak Sinta juga punya MP di sintayudisia.multiply.com. Selain di wordpress, kita bisa kontak di MP ya…saling mendoakan semoga semua upaya kita bernilai ibadah di mata Allah SWT. Amiin
…knowledge is power.
jangan mau jadi orang lemah lantaran males beli buku ya ki..
tidak ada yg mahal selama punya keinginan.
salam,
tertarik banget sama buku ini…kapan tuh ada acara di stain pamekasan?ketinggalan kabar nih…..padahal pengen banget ikut acara acara ini….duh…kabarin lah kalo ada acara kayak gni di madura…saya tinggal dulu deh kegiatan lainnya…………………………………………………….