Raja Shehadeh, penulis Walk on the Vanishing Land menceritakan, kebiasaan yang ditanamkan orang-orang Palestina pada para pemuda : Sarha. Sarha adalah pengembaraan seorang diri, menelusuri padang pasir dan jalan-jalan bebatuan untuk berkunjung ke rumah salah seorang kerabat. Kakek, nenek, paman, bibi atau seorang kenalan dari keluarga. Bukan destinasi yang menjadi patokan, tapi untaian kekayaan yang dirangkum sepanjang perjalanan.

Ayah dan anak di tepi laut Mediterrania, Gaza
Ayah dan anak di tepi laut Mediterrania

Melintasi padang pasir, sebuah perjalanan berbahaya menghadapi ular atau kalajengking. Selain ketrampilan teknis yang dibutuhkan untuk survival, Sarha membantu para pengembara mengamati apa yang selama ini lewat dari indera . Suara angin, butir-butir pasir yang beterbangan, gerakan binatang melata. Belajar menangkap gerakan alam yang paling halus, berarti belajar mendengarkan apa yang mungkin terlewatkan.

Kata “panas” dapat berarti air mendidih di suhu 100º celcius, demam tubuh, semangkok bakso yang nikmat, atau justru alert emosi sesaat sebelum meledak menjadi agresivitas. Bagaimana panas gurun pasir?

Panas yang membentang antara Cairo- Iskandariah- El Arish -sesaat sebelum memasuki gerbang pendek paling ganas sedunia : Rafah- adalah panas yang mengandung makna perjalanan. 6 jam perjalanan Cairo -El Arish, landscape gurun kuning emas yang membuat isi perut teraduk dan sebagian tim melelehkan darah dari lubang hidung. Tak ada warna lain dari cakrawala selain bentang biru langit, garis hitam pembatas serta daratan sewarna korona matahari. Terguncang dalam mobil yang makin lama makin menghangat oleh cuaca gurun dan ketakutan; hati makin menciut serta dinding keberanian yang makin lama makin runtuh : mampukah tim kecil ini tiba di Gaza? Cukupkah kami memiliki kenekatan untuk menembus Rafah setelah perjalanan panjang yang menguras energi, tenaga, dan mulai memunculkan air di sudut-sudut mata ini?

Tuhan!
Jika mungkin, putar saja mobil ini kembali ke Cairo dan biarkan kami menikmati tidur nyenyak di Wisma Nusantara.

Tapi inilah Sarha.
Terkadang jiwa manusia memiliki rahasia paling tersembunyi.
Seperti apakah kematian?
Seperti apa pedih dan penderitaan?
Dan seberapa jauh manusia mampu mendekati titik didih?

Setelah panas panjang dan rayuan kehidupan yang nyaris tak terelakkan…
Ahya.
Sebelum memasuki Rafah, kota indah yang kami kunjungi adalah El Arish.
Kota mewah, dengan mansion-mansion tepi laut safir meditterania, dinding-dinding warna kelabu mutiara dan bebungaan musim panas yang menjuntai di pagar-pagar. Hidup terlalu nikmat untuk ditukar dengan perjalanan kematian yang melelahkan.

Untunglah, Sarha tak pernah salah meloloskan pelaku.
Semoga.
Sekali lagi, setelah pengurusan visa yang liat, check point demi check point yang menegangkan, Rafah Mesir menjadi tembok terakhir yang menjulang dalam kekejaman, diam dan kepongahan. Tim kami, menjadi kelompok paling akhir yang diizinkan masuk setelah perselisihan yang menegangkan urat leher.
Hari itu, suatu senja yang damai di Palestina, sembari mendorong kopor berdebu dan menyeret langkah kaki yang menyembunyikan jari jemari lecet , Sarha ini menemukan sepetak kecil tanah, yang merupakan irisan surga.

Rafah Gaza Palestina, sangat bertolak belakang dengan Rafah Mesir.
Bagaimana mungkin sebuah wilayah kecil yang terpisah oleh tembok pembatas, memiliki pantulan cermin yang berbeda?

Sarha panjang Indonesia-Singapur-Mesir-Gaza terbayar ketika senja itu, kami disambut oleh kaum lelaki paling tampan sedunia. Berpakaian jas hitam sederhana, berbaris menanti dalam kesabaran dan senyum hangat tulus.
Bercucuran airmata untuk sekian kali.

Jadi inikah, legenda abadi tanah Anbiya, para penghafal Quran yang menjaga kaum muslimin dan setiap jengkal tanah Palestina? Wajah penuh cahaya, kharisma yang menggetarkan lawan bicara.
Jadi inilah mereka, yang menjamu tetamu dengan secangkir shai, ketika mereka berpuasa. Jadi inilah mereka, membiarkan kami tidur terlelap sementara mereka bergerilya dari satu gang ke gang lain , memastikan kaum muslimin aman. Inilah sepetak negeri yang terblokade, hanya memiliki beberapa jam sehari untuk menyalakan listrik, namun semangat untuk tetap hidup dan berbuat bagi ummat terus menyala.

Betapa inginnya kami tetap tinggal.
Betapa inginnya memilih salah satu dari Khan Younis, Deir al Balah atau Jabaliyah.
Tentu, setiap saat rudal atau bom dapat meledak di setiap tempat.
Namun kebahagiaan Sarha ini tak terbayangkan. Aroma zaitun dan tiin. Debur pantai Aizbah. Quran yang menyatu dalam denyut keseharian.

Namun bukan itu tujuan Sarha.
Sarha bukanlah pengembaraan tanpa tepi.

Siluette Kastil di malam hari
Siluette Kastil di malam hari

Perjalanan menikmati Karatsu dan Fukuoka ini adalah sebagian kecil dari Sarha.
Suasana damai dan serba teratur, perpaduan tradisional dan metropolis yang demikian apik. Mobil-mobil berbaris rapi di belakang garis zebra cross, tepat di belakang lampu merah. Pejalan kaki dan pesepeda bak raja. View gedung bertingkat, mall, jembatan kokoh, dengan latar belakang pegunungan hijau dan perbukitan zamrud. Keindahan Nagoya Castle dan Karatsu Castle yang terpelihara seiiring teknologi maju produk pertanian yang dipasarkan di Karatsu Umakamon Ichiba. Sakura yang meranggas dan momiji yang akan beralih warna menjadi saga. Anak-anak kawaaii bertopi kuning yang lincah, menenteng bento , berlarian dalam penjagaan kakak-kakak kelas mereka di sekolah dasar.
Harmoni.

Sarha mungkin berarti pencarian.Mungkin berarti pencerahan. Adventure and pleasure. Namun bukan berarti seseorang tak kembali dari pengembaraan.
Kenikmatan menyepi di gurun pasir, mendengarkan angin dan memuaskan ego tanpa pernah berbenturan dengan masalah; itukah buah dari pengembaraan? Sepertinya bukan. Sarha mendewasakan seorang anak manusia, membuatnya mengetahui tugas-tugas perkembangan yang harus dikuasai, demi menghadapi masa dewasa yang mengharuskannya mengambil alih sebuah peran. Sarha tidak menjadikan seseorang solitaire -hidup menyendiri- sekalipun untuk memahami makna lebih dalam , terkadang memang harus dilakukan dalam kesunyian.

Manusia membutuhkan saat-saat untuk menyendiri. Hal pertama yang harus dilakukannya adalah mencintai dirinya sendiri terlebih dahulu, bukan dalam rangka mencari pleasure atau menancapkan power, tetapi untuk memahami dimana letak dirinya dalam konstelasi alam semesta. Mendengarkan suara-suara dari dalam diri sendiri, dari batin terdalam, memahami harapan dan kecemasan; bahkan mungkin hal-hal paling absurd dan paling ekstrim, mungkin perlu dilakukan. Bila seseorang tak memahami dirinya sendiri, ia akan sulit memahami potensi-potensi luarbiasa yang dititipkan sang Khaliq. Terkadang, jalinan waktu menciptakan kerumitan yang meninggalkan jejak dalam hingga seseorang sulit bernafas.

Percayalah, usai Sarha seseorang seharusnya menemukan kekuatan.
Bila dulu, ia tak menyadari memiliki kekuatan emosi, maka sekarang ia menemukannya. Bila dulu tak memiliki kekuatan fisik, maka sekarang ia harus melatihnya. Bila dulu, ia bahkan tak merasa punya kekuatan apa-apa , maka sekarang ia harus menemukannya.

Seorang penulis, membutuhkan Sarha setelah menyelesaikan sebuah buku. Ia harus berburu referensi, membaca kembali karya-karya canon sastrawan dunia, menemukan titik cahaya seperti yang dikatakan Imam Ghazali, merumuskan outline, menuangkan gagasan, menemukan hikmah, menafsirkan sebuah peristiwa dan meramunya dalam kalimat-kalimat bermakna. Maka Charles Dickens mengingatkan, setelah seseorang lelah dalam setiap pengembaraan kehidupan, yang ia perlukan adalah berjalan-jalan. Hiduplah dalam imajinasi, nikmatilah khayalan, tapi segeralah bergabung dalam kenyataan.

Bila tidak, hidup akan menjadikanmu split personality.
Nikmati Sarha. Resapi kenikmatan sang penyendiri, si solitaire yang berkelana.
Lalu jalani realita yang kaya akan makna.
Mudah?
Tidak juga.

Lalu bagaimana seseorang mampu bangkit dari penderitaan yang panjang?
Kisah Muhammad al Fatih, penakluk Konstantinopel ini mungkin dapat dijadikan acuan. Ketika ia kalah dalam pertempuran laut yang membumi hanguskan armada, nyaris putus asa al Fatih meminta petunjuk syaikh Aq Syamsudin. Sang syaikh memberikan 3 nasehat : pertama, setiap pemberian Allah setara dengan upaya . Kedua, hukum orang-orang yang tak taat dan berbuat kerusakan.
Ketiga?
Nasehat terakhir inilah yang membawa kemenangan al Fatih.
“Pelajari titik kekalahanmu, sebab disitu kunci kemenanganmu.”

Fatih kalah dengan armada laut yang hancur lebur. Di titik itulah, ia bangun armada dengan versi berbeda yang menghantarkan Muhammad II bergelar al Fatih.

Bila, seorang manusia menemukan titik kelemahannya, menjadikannya titik konsentrasi untuk bangkit; maka ia akan menemukan jawaban atas kekalahannya selama ini.

0 thoughts on “Sarha Palestina & Solitaire Fukuoka”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *