Kisah suami istri ini demikian romantis, kebayang menovelkannya.
Sebut namanya Ali. Tinggi, atletis, ganteng. Ditambah pinter, baik hati, posisi bergengsi di instansi terpandang. Berkali-kali short course ke luar negeri. Australia, Swedia dll. Bule2 naksir Ali. Kebayang kan good lookingnya?
Sebut namanya Aisyah. Cantik, pinter, posisi bergengsi, mandiri finansial. Saking cantiknya, pernah 11 orang antri melamar!
Aisyah & Ali berjodoh. Sempurna. Fisik, finansial, karier, kesempatan. Selain beruntung, karib mereka sangat banyak karena Ali si good looking– berhati emas. Julukannya Ali si Baik Hati.
Orang tak tahu apa di belakang.
Orang tak tahu badai di depan.
Beberapa tahun menikah, Ali jatuh sakit. Sakit yang amat jarang diderita orang kebanyakan hingga tubuh atletisnya memudar (dengar jenis sakitnya saja rasanya nyeri). Berat badan menyusut, kesegarannya hilang, ketampanannya lenyap. Ia hidup di kursi roda, tinggal kulit berbalut tulang. Cuci darah, jantungnya juga bermasalah, selalu berbekal oksigen kemana-mana. Ke kantor tertatih, di kantor tersedia oksigen besar. Di taksi selalu bawa oksigen kecil.
Aisyah si Cantik?
Setiap hari, sebelum kerja (dan sepulang kerja) memasak sendiri semua. Termasuk makanan kecil seperti pastel, bakpao. Ali doyan makan tapi makanannya harus amat dijaga.
“Honey, aku pingin ngemil,” begitu pinta Ali.
Aisyah bangun jam tiga pagi, nyaris setiap hari , untuk memasak menu utama dan makanan cemilan.
Terbayang betapa lelahnya Aisyah. Belum lagi ia harus berdedikasi di kantor. Mengingat, pengobatan Ali hanya sebentar ditanggung BPJS. Belum lagi, di belakagn punggung mereka berdua ada keluarga yang harus jgua ditanggung kebutuhan finansialnya. Saking capeknya Aisyah, kadang ia tak sadar tertidur di bawah ranjang masih membawa baskom berisi muntahan suami.
Bukan sekali dua kali Ali meminta Aisyah meninggalkannya, “Honey, kamu boleh kok nikah sama orang lain. Kamu masih muda, cantik.”
Tapi Aisyah menolak. Mereka sering tertidur sambil bergenggaman tangan. Saling memeluk dan menguatkan. Menangis bersamaan. Merasakan bahwa derita ini adalah milik mereka berdua, bukan cuma milik Ali seorang yang tengah diintai Izrail.
“Kita sempurnakan sampai akhirat ya, Mas,” Aisyah tersedu sembari memeluk suaminya.
Aku menangis melihat foto mereka saat Ali masih bugar. Lebih menangis saat melihat Ali sholat di atas kursi roda, bekerja mengetik di laptop di ranjang RS dg berbagai slang menancap di tubuh. Kecerdasannya masih dibutuhkan instansi tempatnya bekerja.
“Kenapa saya sangat mencintai mas Ali ya, Bu?” tangis Aisyah.
Itulah mawaddah. Kau mencintainya karena ia tampan, cantik, pintar, berpangkat, nermartabat. Itulah wa rahmah. Kau iba kepadanya sebab ia lemah, sakit, butuh bantuan, butuh penopang. Rahmah ini seringkali dianggap tak masuk akal. Suami lemah, sakit-sakitan, tak berdaya, tak mampu memberi nafkah lahir batin; mengapa tak ditinggal saja? Toh syariat memperbolehkan. Tapi demikian keajaiban sakinah mawaddah warrahmah. Sekali kita mengikat janji dengan seseorang karena Ilahi Rabbi; tiga elemen itu akan senantiasa mengiringi, insyaallah.
Teori cinta ala Zick Rubin dan Robert Sternberg pupus sudah. Cinta yang seperti bangunan segitiga, dengan sudut commitment, passion, intimacy. Cinta yang kokoh kuat konon kabarnya harus berdasar komitmen, kedekatan hati dan juga hubungan fisik yang intens.
Apa yang didapat Aisyah dari Ali dari segi passion? Nyaris tak ada. 7 tahun Ali terbenam di kursi roda, kepayahan bahkan hanya untuk berdiri sholat. Ali masih bekerja di kantor bukan hanya lantaran ia sangat pintar, tapi bekerja juga menjadi bagian dari semangat hidupnya.
Apa yang didapat Aisyah dari segi intimacy? Sangat minim. Sebab fisik Ali yang telah sedemikian lemah; tak dapat lagi menjadi teman berbagi untuk mendengar keluh kesah seputar kantor, rekan kerja, tuntutan atasan.
Tapi mereka berdua sungguh kuat mengikat diri dalam tali komitmen . Impian “kita sempurnakan hingga ke surga” benar-benar merasuk hingga Ali mencoba menghibur Aisyah untuk ikhlas dan sabar (ketika Aisyah pada akhirnya menolak meninggalkan Ali). Pun Aisyah mencoba ikhlas, bahwa Ali dengan segenap derita yang tertambat di dirinya adalah bagian dari perjalanan panjang mereka berdua.
Rubin dan Sterberg pun mengakui.
Jika ikatan passion mudah lepas, ikatan intimacy lebih kuat untuk terurai, maka ikatan komitmen itu betul-betul bagai rantai baja yang tak mudah teriris derita. Semoga, kisah Aisyah dan Ali yang sekelumit ini, memberi inspirasi cahaya bagi kita –bagiku juga- bahwa komitmen “sempurna hingga ke surga” itu sebuah teori yang mungkin tidak tercantum dalam jurnal ilmiah manapun, tetapi terpatri dalam jiwa sebagai ikatan janji kepada pasangan dan kepada Ilahi Rabbi.