Suatu ketika, putri saya pertama mengalami sakit yang amat sangat saat datang bulan. Adiknya yang masih duduk di kelas 3 SD bertanya banyak hal.
”Mi, apa orang haidh mesti sakit? Aku nanti gimana…”
“Ummi nggak sakit kok kalau haidh. Nis gak usah takut!”
Melihat putri pertama saya, Arina terus meringis, Nis juga terus berkomentar.
”Jangan-jangan Mbak mau melahirkan….”ujarnya serius.
Saya tertawa.
”Mbak nggak melahirkan Nis, kan nggak ada bayi di perutnya. Belum punya suami kan?”
Nis terus mengejar.
”Ada koq orang yang nggak punya suami hamil”
”Nis, hanya bunda Maryam yang hamil tanpa suami.”
”Memang hamil harus punya suami, Ummi?”
”Lho, ya iya….”
”Itu, anak SMP bisa hamil tapi nggak punya suami!”
Hmmm, saya ekstra berpikir. Keterdiaman saya nggak membuat Nis berhenti.
”Kalau pacaran bisa hamil, padahal bukan suaminya, kenapa Mi?”
”Ya karena berdekat-dekatan….,” jawab saya hati-hati.
”Pegangan tangan bisa hamil, Mi?” tanyanya.
”Enggak sih..”
”Kalau ciuman?”
”Enggak juga…”
”Kalau tidurnya dekat-dekat?”
Nah.
Kalau nanti saya jawab iya, cukupkah?
Sementara kami di rumah punya satu ruang tengah tempat agenda bersama : bercanda, nonton tivi, baca buku dimana ada kasur besar di gelar dan kami biasa tidur-tiduran bersama. Kalau nanti kakak adik tidur berjajar dan Nis teriak,”awas jangan tidur dekat-dekat, ntar hamil lho…”; bagaimana?
Jika merujuk pada perkembangan kognitif versi Jean Piaget dimana operational konkret 7-11 tahun dan operational formal 11-15 tahun; wajar bahwa Nis yang masih kelas 3 SD (usia 10 tahun) masih belum mampu berpikir abstrak, mengembangkan pikiran korelasional atau yang berbau idealisme. Tetapi Neo –Piagetian membantah tahapan perkembangan kognitif ini dan mengatakan remaja kadang-kadang belum tuntas berpikir operational konkrit tetapi anak-anak bahkan mulai mampu berpikir abstrak.
Perkembangan zaman setidaknya memacu anak-anak tidak kaku berada dalam tahapan-tahapan perkembangan seperti yang diteliti para pakar sebelumnya. Bahkan, anak-anak kemungkinan mulai meraba ke arah abstrak tentang Tuhan, alam semesta, atau mungkin hubungan seksual. Pengetahuan seksual yang masih minim membuat mereka meng korelasikan hal itu sebagai – ayah ibu, hamil, berdekatan, suami istri.
Lalu, bagaimana menjelaskan?
Untuk tahu tahapan perkembangan anak mungkin butuh studi khusus seperti psikologi. Bagi anda yang cukup sibuk, pegang teguh dua hal ini :
1. Dialog , Lev Vigotsky pakar psikologi yang banyak membahas bahasa, mengatakan salah satu tahap perkembangan yg penting adalah melalui dialog. Bangun terus dialog agar kognisi anak-anak terus berkembang.
2. Pendekatan ilmiah , biasakan menggunaka pendekatan ilmiah dengan bahasa sederhana. Misal, jangan gunakan kata-kata ,” hamil karena adik di perut diterbangkan burung bangau.” Saya pribadi terhadap anak yang cukup besar (6 SD) mengatakan ketika ia bertanya sex : mas belum belajar anatomi tubuh manusia ya? Ntar kalau SMP mulai belajar, mas akan lebih tahu deh. Soalnya memang harus tahu anatomi tubuh…
Semoga berhasil:-)
wah .. memang rumit menghadapi situasi anak yang udah mulai gedhe.. Wih musti banyak2 belajar ilmu parenting nih..
iya mb Fifin..banyak belajar sama ibu-ibu muda yang lain (atau ibu2 yg senior) juga akan membantu 🙂
good