Aneh rasanya, jika saya pada akhirnya tidak memperkenalkan sosok yang satu ini, setelah saya menuliskan tentang Lutfi Hakim alias Adam Muhmmad. Sungguh, bukan kampanye premature atau penggalanganmassa. Saya sering merasa sangat berterima kasih kepada para Maskulin di FLP : ustadz Fathoni, ustadz Syukur Mirhan, Aferu Fajar, Faishal, Syahrizal, Faris Khoirul Anam, Mashdar Zainal, Lukman Hadi, Muhsin, mas Bahtiar, mas Haikal…(mohon maaf jika ada yg lupa). Kalau kaum Feminin di FLP sangat banyak, bahkan FLP sempat dijuluki Forum Lingkar Perempuan. Maka kaum Maskulin di FLP ibarat penguat sendi2 FLP alias masih ada tenaga untuk dimintai angkut-angkut barang atau antar jemput kesana kemari 😀

            Suatu saat, ada acara ke yogya.

            Seorang teman muslimah pernah bertanya bertahun lalu : ”…suami mbak gakpapa mbak pergi jauh tanpa anak-anak sama sekali?” begitulah kira-kira.

            Tanpa diminta, sang muslimah tersebut bercerita bla-bla-bla tentang suaminya.

Enaknyaaaaa….

            “Wah, pak Agus tuh setia banget ya, nganter jemput bu Sinta.”

            “Aku mau juga punya suami kayak gitu!”

            Itu ungkapan beberapa temanku ketika mereka tak sengaja mengetahui suami sering mengantar jemputku ke tempat acara dan tahu, suamiku suka dan pandai memasak.

Dengan sepeda motor, jika jarak masih memungkinkan, suami akan mengantarkanku ke acara FLP Surabaya yg terletak di Ketintang, dekat kampus UNESA atau mengisi acara2 seminar lainnya. Ia memanfaatkan waktu yg sedikit untuk bisa bertukar pikiran, mengobrol, diskusi di atas sadel sepeda motor. Itulah yang mungkin ditangkap teman-teman  tentang ‘kesetiaan’suamiku. Waktu yg tersisa di tengah kesibukan sebisa mungkin kami habiskan untuk menjaga hubungan baik dengan bercerita hal-hal kecil atau lucu baik terkait anak-anak, sekolah, kegiatan kantor atau lainnya. Suamiku mengantarku ke acara di FLP Bondowoso, FLP Jombang, FLP Pamekasan, FLP Probolinggo, FLP Malang. Suamiku mengantarku ke acara bedah buku di Jakarta dll.

            Suamiku dan masak memasak

            Pernah suatu ketika aku sakit, suami ke warung terdekat membeli sayur mayur. Dengan tangkas suami memesan ini itu, ia ingin memasak sup.

            “Lho Pak,” bu Dul, penjaga warung sayur tersenyum geli,” masak sup kok pakai kayu manis?”

            “Kalau sup iga sapi pakai cengkeh, kayu manis, pala, lada, Bu,” suamiku menjawab yakin.

            Ibu-ibu bengong. Beberapa hari berikutnya ketika aku kembali belanja, bu Dul bercerita bahwa resep sup suamiku enak sekali dan bertanya dimana mendapatkan resep macam itu. Kujawab, suamiku senang mencari-cari resep baru baik di internet, buku, majalah, tabloid atau dimana saja. Ia bercita-cita suatu saat punya restoran sendiri.

            Suamki pintar memasak aneka nasi goreng, olahan mie, teriyaki, olahan daging; pendek kata ia suka maincourse. Sering kali malah aku yang bertanya : kalau bikin resep X yang enak bumbunya apa ya Mas? Terus terang, aku trampil masakan dasar seperti sup daging, lodeh, dll hingga lauk bacem. Tapi untuk masakan-masakan jenis baru, suamiku lebih trampil. Hal ini yang menyebabkan anak-anak tidak rewel ketika aku harus bepergian ke luar kota beberapa hari untuk acara FLP dan suamiku tidak mengantar, sebab anak-anak sangat dimanjakan perihal menu masakan.

            “Abah masak puyunghai enak, Mii..”

            ”Abah masak udang asam manis.”

            ”Teriyaki juga! Semur lada hitam.”

            Selama 3 hari acara Up Grading Nasional di Yogya  awal ferbuari 2011, suamiku memasak bersama anak-anak. Inayah membantu berbelanja, Ayyasy membantu mengiris-iris bawang, Ahmad dan Nis biasanya membantu membelikan ini itu ke warung terdekat saat garam, merica, atau cabe habis.

Suamiku dan FLP

            Suamiku bukan anggota FLP atau pengurus.

            Tapi kesibukannya mengurus FLP kadang lumayan ribet. Selain membantu urusan belakang saat aku tak ada, saat kekurangan tenaga panitia aku akan meminta bantuannya membawakan ini itu.

            “Mas, biar cepat, boncengin aku ya ke Puskot untuk memasang spanduk dan backdrop.”

            Terkadang untuk suatu acara ia membawakan kue-kue, atau mencarikan alat transportasi. Urusan keuangan terkait FLP, sesekali suami mengusik.

            ”Kalau diundang ke luar kota, minta bantuan akomodasi ya Mi,” hanya itu pesannya.

            Ia tak meminta honor lebih, yang penting ada uang untuk transport, ia mengizinkan. Seringkali bahkan, panitia yang memang telah berjuang susah payah tapi tak memiliki dana cukup hanya membayar separuh biaya transport, suamiku merelakan. Memang, jika perempuan harus keluar rumah, ongkos yang ditanggung berlipat ganda. Tapi kami berdua yakin, selama uang dan kekayaan kami digunakan untuk kepentingan da’wah insyaAllah hasilnya akan berlipat ganda.

Suamiku dan da’wahku

            Seringkali, suami yang telah lelah mencari nafkah dan berda’wah di luar menginginkan istri berdiam di rumah. Suamiku sesekali juga beranggapan demikian. Ia tak ingin aku sering keluar rumah, apalagi mengisi acara talkshow/seminar seringkali di hari libur. Tetapi suamiku bukan orang yang tidak dapat diajak berdiskusi.

            ”Mas, kalau suatu saat semua lelaki menahan istrinya gak boleh keluar, karena alasannya harus taat pada suami, terus da’wah perempuan bagaimana?” aku mencoba berpendapat. ”Aku sendiri enak di rumah, masak, belanja, mencoba resep baru. Mengeloni anak-anak. Tapi kalau setiap kita sibuk sama urusan rumahnya sendiri, siapa yang membantu orang di rumah susun? Atau adik-adik mahasiswa yang butuh asupan ilmu?”

            Tidak mudah memang meyakinkan suami bahwa kita mampu menangani 2 kubu. Aku mencoba sebaik-baiknya, meski ada yang luput. Tak urung, suami juga yang akhirnya turun tangan jika kami mengalami masalah terkait hal-hal teknis. Ahya, kami sudah pernah sepakat untuk berjuang di jalan da’wah yang mestinya tak akan lepas dari kesulitan.

            Saat cukup berat adalah ketika BSMI memintaku mendampingi tim ke Gaza. Sudah bisa dipastikan apa jawaban suami.

            ”Nggak ada orang lain, Mi?”

            Aku berkata, izinkan aku berjuang hingga di titik dimana aku benar-benar terbentur  alias tak ada lagi peluang untuk terus. Itu juga prinsipku ketika mengurus segala pernak pernik FLP.

            “Izinkan ya Mas….”

Suamiku dan anak-anak

            Suamiku dekat dengan anak-anak.

            Sanggup ngobrol lama dengan mereka. Dengan Inayah, suamiku membahas politik, tekonologi, negara-negara maju dan kisah para ulama. Dengan Ayyasy dan Ahmad membahas dinosaurus, beragam ikan dan reptil; pokoknya yang berbau hewan. Dengan Nis, suami banyak bercanda menggoda.

            Satu yang tak bisa terbantahkan, suamiku adalah orang yang sangat keras terkait masalah sholat. Ia tak menerima excuse ketika Ayyasy dan Ahmad lelet ke masjid, atau Inayah yang menunda-nunda Isya. Kemarahannya bisa meledak dahsyat.

            15 bulan ketika suami dimutasi ke Jakarta, rumah sepi. Suamiku punya  1001 joke yang diperolehnya dari internet atau dari manapun yang membuat kami terbahak. Joke yang ia pakai untuk mengusili anak-anaknya, terutama Inayah dan Ayyasy. Seringkali aku terlambat menangkap makna joke nya sehingga Inayah dan Ayyasy serempak bilang:

            ”…….ah, Ummi nih gak asyik!”

Suamiku di antara  Takudar, Existere , dan buku-bukuku yang lain….

            “Aku ke Dolly ya Mas?”

            “Ngapain sih, Mi?”

            “Untuk melihat dari dekat.”

            “Nggak usah!”

            Tetapi pada akhirnya ia menjemputku pulang dari Putat Jaya, berkenalan dengan pak Kartono, menyusuri gang-gang ‘erotis’ bersamaku sembari menyapa mbak-mbak yang tengah menatap kami,

            “……nyuwun sewu nggih,” ucapnya sopan sembari menuntun sepeda motor dan berjalan terbungkuk-bungkuk menyimpan pandangan mata. Soalnya betis-betis itu terbuka hingga ke paha!

            Jadilah novel Existere.

            Suatu saat Lafaz Cinta best seller. Mizan memintaku membuat novel sejenis, tapi saat itu aku tengah sibuk dengan Takudar. Untuk menuliskan Takudar, aku meminta izin suami.

            Suamiku PNS biasa. Memang, ia bekerja di kantor pajak yang dikenal dengan kasus sogok menyogok terlebih ketika kasus Gayus mencuat. Tetapi suamiku bukan Gayus. Ia seperti ribuan pegawai pajak lainnya yang masih memiliki jiwa kejujuran dan nasionalisme : uang rakyat ini untuk membangun fasilitas negara. Uang rakyat ini haram dimakan. Maka begitulah PNS, gajinya cukup….Alhamdulillah. Yang penting anak-anak sehat-sekolah, insyaAllah cukup. Maka dari itu, ketika kami menyusun LHKPN (laporan kekayaan penyelenggara negara) aku terharu men list daftar kekayaan kami.

            ”Mas, anak-anak gak boleh diuangkan?” kelakarku.

            Kalau hanya benda mati, kekayaan suamiku yang belasan tahun bekerja di kantor pajak tak sepadan. Tapi kalau benda hidup, aku punya suami dan anak-anak yang luarbiasa.

            Jadi, royalti bukuku Alhamdulillah untuk beragam keperluan yang sudah terbagi pos-posnya. Jangan berpikir untuk membeli blackberry atau mobil, apa yang ada di tangah sudah cukup.

            Maka, aku menyampaikan sesuatu.

            ”Mas, aku pingin nulis pahlawan Islam. Salah satunya Takudar. Tapi mungkin ini gak akan se booming Lafaz Cinta. Mungkin juga ditolak, mungkin juga gak laku. Gakpapa? Gakpapa aku nulis buku yang royaltinya sedikit , jadi gak bisa menyumbang banyak buat perekonomian kita?”

            Ringan suamiku menjawab

            ”…ya sudah, kalau itu da’wah yang dipilih Ummi, gakpapa. InsyaAllah akan dicukupkan Allah.”

            Dorongan suami agar aku menulis yang berkualitas tanpa menomorsatukan royalti, membuatku merasa tak terbebani. Ia membelikan buku-buku seperti Jenghiz Khan, meminjamkan VCD serial Jenghiz Khan. Mendown load film-film heroik bersettingChinadan Asia Timur sebagai bahan referensi. Ia menyisihkan artikel yang “berbau”Mongoliadan yang berkaitan dengannya.

            Dan yang sungguh bermakna,

            suamiku menemani aku mengetik malam hari sembari ia menggelar kasur di samping, tertidur. Aku mengetik biasanya jam 00.00 ke atas, saat yang tenang dan sunyi untuk menulis. Seringkali ia membuatkan coklat panas, atau kopi susu atau teh panas. Seringkali ia pulang dari agenda da’wah di malam hari menenteng coklat, sebab ia tahu aku butuh mengemut atau mengunyah sesuatu sebagai penghilang kantuk.

            Sepanjang aku berkiprah di FLP, terutama sebagai ketua FLP Jawa Timur, ialah tulang punggungku mengerjakan segala sesuatu. Tak pernah kudengar ia mengeluh waktuku tersita untuk FLP, atau royaltiku banyak berkurang untuk mengurus FLP. Perdebatan, perselisihan, ketidakcocokan kami berdua dalam memandang sesuatu hal tentu ada. Tetapi kurasa, porsinya jauh lebih kecil daripada dukungannya terhadap diriku pribadi yang saat ini tengah menyelesaikan kuliah psikologi dan sibuk dengan da’wah kepenulisan.

            Ahya.

            Behind the great man, standing a great woman.

            Di belakang para presiden, berdiri istri-istri yang kuat.

            Di belakangku, berdiri seorang suami anugrah Allah SWT yang membantuku dalam kerja-kerja perempuan hingga kerja-kerja da’wah.

            Untukmu suamiku,

dan semua lelaki di atas muka bumi ini yang mendukung dan membantu istrinya berkiprah daam ranah kebaikan semoga Allah SWT limpahkan ampunan, perlindungan, barakah, rahmat, rizqi terbaik.

Suamiku bernama Agus Sofyan. Tak dikenal, tetapi ia sungguh membantuku menyelesaikan karya-karyaku.

2 thoughts on “Siapakah Agus Sofyan, di balik FLP Jawa Timur?”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *