Remaja : diperlakukan seperti anak kecil, diharapkan bisa bersikap dewasa.
Begitu bunyi salah satu quote tentang remaja, manusia yang berada di rentang usia antara 12-18 tahun. Virginia Satir, pakar family therapy berkata, berbicara dan mencoba memahami remaja tak akan pernah cepat dan mudah. Mereka memiliki ciri khas menentang, lebih suka percaya teman, suka menyembunyikan sesuatu dari orangtua, mood swing dan sulit berkomunikasi dengan orang dewasa.
Aku suka menyelami dunia remaja.
Bagiku, remaja adalah makhluk rentan yang rapuh dengan potensi luarbiasa. Anak-anak pintar yang pemberontakannya sering dianggap sebagai kedurhakaan dan pembangkangan, padahal mereka sedang belajar menapaki jalan hidup kedewasaan. Mendekati dunia mereka, salah satu cara yang kutempuh. Musik, film, drama, komik, animasi, novel dan sejenisnya. Termasuk mencoba menulis di platform menulis online.
Kadang capeeee.
Ya, iyalah.
Dunia remaja sangat dinamis.
Rasanya jantung ini ikut berdegup-degup mengikuti alur dunia remaja. Misal, menelusuri jejak KPop. Ikut “ngenes” lihat para boyband atau girlband yang diperlakukan mistreatment oleh manager mereka. Duh, kasihan banget GOT7, Pristine, Stellar, 2PM dan sejenisnya. Duh, kasihan banget mereka yang masih muda-muda sudah harus diet superketat sebagai idol; belum lagi menjadi sasaran haters lantaran kiprah di dunia entertainment.
Terhenyak jika menyaksikan akhir-akhir ini mendengar beberapa anggota boyband girlband mengalami gangguan psikologis cukup parah karena kejamnya industri hiburan. Pingin rasanya bisa memberi layanan konseling ke mereka, para idol yang rata-rata usianya belasan tahun! Anggota boyband girlband yang masih remaja, termasuk remaja kita, rawan mengalami gangguan psikologis karena berbagai factor : perseteruan dengan orangtua (keluarga), tekanan akademis, lingkungan, sosial media dan factor internal diri remaja yang memang sedang gelisah dengan lifecrisis.
Dunia remaja sangat dinamis.
Memfollow akun-akun IG dan twitter mereka, kadang geli dan tegang juga dengan berbagai macam kalimat-kalimat berseliweran. Abaikan EYD/PUEBI! Sudah tidak ada panduan huruf kapital, titik koma, batasan akronim. Kadang-kadang berseliweran kata-kata tak pantas dan menyaksikan para akun itu saling perang sendiri.
Dunia remaja sangat dinamis.
Yang lucu-lucu nyeleneh macam Istaka, atau lucu informatif macam Bintang Emon dan Hirotada Radifan. Kalau aku sedang mengamati anime, maka kubuka akun youtube Senior Anime atau Abdi Kos. Di IG sendiri, banyak akun informatif yang bagus-bagus kalau kita ingin mendalami jejepangan atau hallyu.
Apa bagusnya mengikuti dunia remaja yang dinamis?
Pertama, suasana riang dan lucu.
Terus terang, dunia orang dewasa kadang begitu berat, jenuh dan penuh pertikaian. Mengamati berita politik, ekonomi, pandemic; belum lagi saat mengurusi klien-klien sangat menguras tenaga. Mengikuti dunia remaja yang riang dan ringan, bisa membawa suasana hati ikutan happy. Akhirnya, jiwa kita kembali gembira dan bisa menghadapi persoalan-persoalan berat lagi.
Kedua, kreatifitas.
“Ngasih nasehat jangan overdosis dong, Mi,” celetuk anakku.
Rasanya mangkel dengarnya. Tapi apa benar orangtua overdosis?
Setelah mengamati akun-akun anak muda, mereka sering buat postingan infografis yang ringan tapi bermakna. Tentang makna kebebasan dikaitkan dengan anime, tentang kehidupan sekolah dikaitkan dengan anime. Aku jadi belajar : oh, kenapa gak begitu cara kita menyampaikan kebaikan? Simple, singkat, santai. Tapi maknanya dalam.
Berarti, gayaku memberi nasehat kadang-kadang overdosis ya?
Maka, kalau anak-anakku bersitegang sering kusampaikan.
“Inget nasehat Levi buat Eren Jeager!” kataku.
Simple, singkat, santai. Selesai. Nggak perlu nasehat panjang-panjang yang overdosis.
“Diih, Ummi! Apa-apa dikaitkan AoT! Emang kenapa segitunya?”
“Kalau berkesempatan ke Jepang dan bisa ketemu; Ummi pingin tahu deh berapa IQ nya Hajime Isayama, Hiroyuki Sawano sama Linked Horizon. Pingin tau proses kreatif mereka juga.”
Karena lumayan intens mengamati Korea Jepang, beberapa orang menganggapku pengamat budaya pop culture. Kadang aku diundang untuk mengisi kajian parenting, atau kepenulisan, atau psikologi, atau motivasi; dalam kaitannya dengan budaya pop culture. Cukup banyak orangtua yang pada akhirnya tersadar, kami sama-sama overdosis ketika melakukan pendekatan ke anak-anak. Nasehat ini, perintah itu, ancaman begitu, petunjuk begini.
Syukurlah, beberapa orangtua mulai mencoba gaya pendekatan berbeda untuk anak mereka. Anakku cerita.
“Ummi, temanku cerita. Mamanya keranjingan anime kayak Ummi!”
Hahahaha.
Aku mencontohkan pada anakku bagaimana mengatur waktu untuk menonton anime dan baca manga. Semua harus diatur. Kalau gak, habis waktu kita buat hiburan.
“Nak, Ummi jatah dari jam sekian sampai jam sekian buat baca komik online. Kalau gak dibatasi, maunya berjam-jam buka situs manga!”
Setelah pendekatan demi pendekatan, komunikasi yang terbangun, kedisiplinan masyarakat Jepang dan Korea yang bisa dijadikan contoh; anak-anakku mencoba untuk menjadwal pola sekeharian hidup mereka. Buat apa gandrung Jepang Korea kalau gak mengambil manfaatnya? Kutekankan : “Lihat tuh anggota KPop, berapa jam sehari latihan? Bangchan (leader – Stray Kids) hanya 3 jam sehari tidur.”
Kedispilinan dan kerja keras Jepang dan Korea ini harus menjadi salah satu nilai yang perlu dicontoh oleh remaja kita. Semoga, dengan semakin harmonisnya hubungan orangtua-remaja; anak-anak merasakan kehangatan rumah dan mereka berkenan untuk curhat apapun kepada orangtua.
“Kita butuh 4 pelukan sehari untuk bertahan hidup. Kita butuh 8 pelukan sehari untuk menjalani hidup. Kita butuh 12 pelukan sehari untuk tumbuh berkembang.” ~ Virginia Satir
Strategi berkomunikasi dengan remaja :
- Banyak menghabiskan waktu bersama mereka
- Ubah gaya pendekatan
- Humor
- Beri nasehat, tapi jangan overdosis
*Catatan singkat berbagai perjumpaan mengisi acara parenting terkait komunikasi remaja & pop culture