Kita akan menciptakan super child, si anak super yang akan menghadapi dunia 50 tahun ke depan. Anak impian kita yang merupakan gabungan Jenderal perang Qutuz, Shalahuddin al Ayyubi, Muhammad al Fatih. Anak yang mampu menggabungkan teknologi dan wirausaha ala Bill Gates dan Steve Jobs. Anak yang memiliki pengalaman kenegaraan seperti Mahathma Gandhi dan Nelson Mandela. Anak yang memiliki kefahaman ilmu agama seperti Syaikh Yusuf Qardhawi dan Syaikh Aidh al Qarni. Anak yang mampu berkomunikasi dengan fasih, menjalin hubungan interpersonal yang baik, diterima di tengah khalayak dengan terbuka.

Kalau bisa, bukan hanya 1 atau 2 anak kita yang seperti itu. Tapi semuanya!

chidren-image

Dunia tanpa Dinding

Kita dibesarkan dalam dunia yang memilki kesenjangan bagai tanpa limit antara realitas dan idealita.

Dalam dunia yang serba mengabaikan norma, kita ingin anak-anak teguh memahami prinsip agama, maka orangtua mengirimkan anak-anak ke sekolah Islam terbaik. Pesantren, boarding school, sekolah Islam plus, sekolah Islam terpadu, sekolah internasional, homeschooling. Kita memilih mana sekolah (yang dianggap) terbaik, berapapun biayanya.

Biaya sekolah Islam mulai dengan kisaran 500 ribu perbulan, hingga 5 juta per bulan. Uang masuk mulai 5 juta hingga ada pula yang 50 juta. Sungguh kita berharap, dengan upaya banting tulang peras keringat mencari uang halal, anak-anak pun masuk sekolah dan keluar dari sekolah dengan produk unggul berkualitas.

Tidak cukup hanya itu.

Segala fasilitas kita coba kerahkan untuk membentuk anak-anak menjadi Super Child.

Ensiklopedi, VCD, kaset, TV kabel, supercamp, pelatihan,  kursus, seminar motivasi; apapun yang dapat mengasah kemampuan anak, kita lakukan.

Anak-anak kita, buah cinta dengan pasangan, perhiasan mata dan harapan kehidupan mulia di dunia akhirat tumbuh dari waktu ke waktu. TK, SD, SMP, SMA, kuliah. Lalu semua bagai noktah merah yang saling terhubung. Mungkin kita telah meramalkan sesuatu, atau kita justru terkaget-kaget menghadapi anak sendiri.

Kecewakah kita sebagai orangtua?

 

Rezeki : selalu ada yang bertolak belakang.

Di dunia ini selalu ada yang bertolak belakang.

Kaya miskin.

Maka kita sering mendengar pepatah : rezeki sudah dibagi. Memang ada orang yang diberikan Allah Swt kehidupan demikian mudah, sehingga usaha apapun jadi uang. Tapi ada juga orang yagn diberikan kesulitan ekonomi, usaha apapun selalu terhalang. Meski tak boleh berputus asa dan harus tetap berjuang demi perbaikan ekonomi, bahkan memperbesar factor X seperti tahajjud, tilawah, sedekah, silaturrahim dan lain-lain; nyatanya kita tetap percaya bahwa ada orang yang diberikan keberlimpahan rezeki lebih oleh Allah Swt.

Tak mungkin rakyat Indonesia 280 juta,semuanya terdiri atas orang-orang seperti Chairul Tanjung, Aburizal Bakrie, Jusul Kalla bukan? Tak mungkin pula semua rakyat Indonesia terdiri dari Yusuf Mansur, Arifin Ilham, Mario Teguh. Ada orang-orang seperti kita yang mungkin ‘biasa-biasa’ saja dan belum menemukan potensi sebenarnya.

Pintar bodoh. Cepat lambat. Cerdas kurang cerdas.

“Ya ampun, senengnya ya Bu! Anaknya berkali-kali lolos olimpiade sains, sampai dikirim ke luarnegeri!”

“Yah, memang dari kecil sudah senang matematika, kok!”

“Rahasinya apa? Punya anak pinter begitu? Makan ikan atau omega 3 banyak-banyak kali ya pas di kandungan…?”

“Oh, nggak juga kok. Kali aja karena bapak ibunya pinter ya?”

Hehehe …

Sementara anak-anak kita jangankan olimpiade sains. Mata pelajaran matematika saja harus bolak balik belajar!

“Ya Allah, senangnya ya…anaknya hafidz Quran semua. Apa rahasianya, Bunda?”

“Alhamdulillah sejak SD memang saya masukkan pesantren, Bu.”

“Wah, sedih dong pisah sama anak sejak kecil…”

“Memang sih, tapi saya bertekad anak-anak jadi penghafal Quran semua.”

Alhamdulillah.

Saya sendiri bahagia mendengar keluarga penghafal Quran. Meski tak semua keluarga muslim dapat mewujudkannya, karena berbagai alasan. Karena biaya, karena jarak, karena kesehatan, karena pertimbangan A, B, C yang seringkali hanya diketahui keluarga yang bersangkutan.

Pintar. Penghafal Quran. Unggul di pelajaran.

Demikianlah gambaran rezeki anak-anak yang sangat membanggakan.

Lalu adakah anak yang tidak pintar? Yang bukan penghafal Quran? Yang berada di urutan bawah ranking kelas?

Ya.childs-imagination

Mungkin itu anak-anak kita. Dan mereka rezeki dari Allah.

Mereka belum menghafalkan Quran bukan karena meninggalkan Quran, tapi karena proses yang ditempuh masih panjang. Anak-anak kita yang ‘terpaksa’ sekolah di sekolah negeri kemungkinan sulit mendapatkan tambahan hafalan Quran, kecuali orangtua punya trik-trik jitu. Anak-anak kita yang dianugerahi Allah Swt IQ standar mungkin tak akan mampu menguasai matematika, fisika, kimia dengan cepat. Mereka lebih trampil berjualan, menggambar, atau berkomunikasi dengan teman.

 

Anak yang tak punya arti bagi orangtua

Suatu saat saya marah besar pada si Abang.

Saya bawa ke kamar, ajak bicara berdua. Saya beberkan kelebihannya dan juga kesalahannya yang membuat saya marah. Saya marah sebab ia lebih terlambat ke masjid di banding adiknya. Saya marah sebab ia lebih jarang baca Quran dan lebih sedikit hafalannya. Saya marah sebab ia lebih longgar menjalankan sunnah Nabi dibandingkan adik-adiknya.

Saya jelaskan Muhamamd al Fatih. Saya jelaskan Steve Jobs. Saya paparkan Einstein.

Lalu si abang tertunduk, matanya berkaca-kaca.

“Jadi selama ini , apa yang aku lakukan buat Ummi nggak ada artinya ya?”

“Apa maksud kamu, Mas?” sebagai ibu saya semakin marah ditantang demikian.

“Yang lebih baik dimata Ummi adalah adek yang rajin ke masjid. Iya, adek memang hafalan Qurannya lebih banyak. Lebih nurut. Lebih shalih.”

Saya menahan nafas, menahan diri.

“Kalau aku rajin jemput adek ke sekolah, apa itu nggak ada artinya? Aku selama ini taat sama Ummi, gak mau jalan sama cewek, gak pernah ke bioskop dan mall ; gak mau pacaran; karena taat sama Ummi; apa itu gak ada artinya? Meski teman-temanku rajin ngajak aku hang out, aku berusaha patuh sama Ummi.”

brother-sister-1

 

Aku terdiam.

“Aku sering belikan Ummi oleh-oleh tiap kali aku ke kantin sekolah. Aku senang belikan Ummi lauk pauk biar Ummi gak usah masak.  Kalau di jalan aku mampir Indomaret atau Alfamart, aku telpon Ummi : Ummi butuh apa? Ummi mau minuman apa? Aku tahu susu kesukaan ummi. Aku tahu snack kesukaan Ummi.”

Aku tercekat.

“Aku selalu berusaha menyisihkan uang saku, biar nanti saat Abah Ummi nggak punya uang dan aku butuh beli buku-buku; aku nggak harus minta lagi.”

Tiba-tiba mataku basah.

Abang pun terlihat sedih.

“Aku minta maaf kalau kadang berkata kasar sama Ummi .”

Ahya.

Ia, si abang memang tidak hebat di akademik, seperti kakak sulung dan adiknya. Tapi ia punya banyak teman dan rata-rata teman sekolah menyukainya. Ia, si abang yang memang hafalan Qurannya masih sedikit. Sholatpun masih sering diingatkan untuk ke Masjid. Tetapi,

“Ummi, aku tahu ibadahku kurang. Maka sekarang aku rajin ikut pengajian. Dan aku ngisi pengajian adik-adik SD.”

Ia, si abang yang sering kuprotes karena ibadahnya kurang disana sini. Ternyata Minggu pagi saat waktunya bermalas-malas bagi anak seusia dia,  berusaha siap jam 7 pagi.

“Ngapain kamu, Mas?”

“Mau isi pengajian anak SD, Mi.”

“Nih uang bensin,” aku selipkan beberapa lembar uang.

Lalu si abang berangkat dan pulang tak lama kemudian.

“Lho nggak jadi?” tanyaku.

“Anak-anaknyanya ternyata pada gak bisa.”

“Oh,” aku mengangguk. Kulihat seplastik besar makanan dan minuman. “Apa itu?”

“Makanan dan minuman buat adik-adik pengajian. Biar mereka senang.”

Aku tersenyum. Mengelus kepalanya. Dan ia tidak mutung atau patah semangat meski pengajian kadang-kadang gagal berlangsung.

Tiba-tiba aku ingat semangatnya untuk menjemput kebaikan dan menebarkan kebaikan; meski ia masih banyak kekurangan disana-sini.

Sebagai orangtua aku memang sering menuntut lebih pada anakku.

Mereka harus shalih. Mereka harus pintar. Mereka harus jadi orang hebat. Dan seketika kata-kata si Abang membuatku sedih dan tersadar,

“Apa yang aku lakukan selama ini, nggak ada artinya buat Ummi?”

 

Biarkan proses itu berjalan

Sungguh, kita senang bila mendapatkan anugerah easy child. Bukan hard child. Anak yang dari sononya sudah gampang diapa-apakan. Gampang disuruh, gampang diatur, gampang dibentuk. Susah sekali jadi orangtua yang harus berhadapan dengan anak yang ngeyel, keras kepala, mau menang sendiri, tidak mudah diatur-atur.

Tapi mereka anak-anak kita.

Ada darah kita mengalir di dalamnya, baik ataupun buruk. Mereka shalih, sebab kitapun shalih. Mereka keras kepala, mungkin kita ayah ibunya ada yang keras kepala. Mereka sulit belajar sains, sebab kita pun tidak terlalu menyukai sains. Mereka sedang terbentuk, sebab mereka memang harus ditempa tahap demi tahap.

Bila anak kita belum menjadi pegnhafal Quran saat ini, jangan patah semangat. Mungkin ia bisa jadi penghafal Quran 5 atau 10 tahun ke depan. Bila anak kita belum rajin ke masjid, jangan berhenti mengajaknya. Mungkin suatu saat ia akan tersadar, justru ketika kuliah atau malah sudah berkeluarga.

Mungkin anak kita belum menjadi anak yang kita banggakan.

Tapi, biarkan proses indah itu berlangsung. Waktu demi waktu. Tahap demi tahap. Sebagaimana para Nabi dan orang shalih pun tidak serta merta punya keturunan yang diinginkan. Apalagi kita yang masih banyak tambal sulam dalam segala pengabdian kepadaNya.

Mengapa, tidak bersama anak-anak kita, bergandengan tangan menuju keridhoanNya? Mengapa tidak kita syukuri punya darah keturunan disaat orang-orang lain sangat sulit punya anak kandung? Mengapa ketika kita kesulitan menghadapi anak-anak kita; ayo azzamkan bahwa kita pun harus meningkatkan kualitas diri sebagai orangtua : kualitas belajar, komunikasi, ibadah dan yang lain-lainnya?

Anak-anak itu adalah anak impian kita.

Mereka hanya harus menemukan jati diri. Dan suatu saat, dengan segala kekuarangan yang mereka miliki; mereka akan saling bekerja sama bahu membahu bersama anak-anak lain untuk menciptakan peradaban baru yang lebih unggul dari masa skearang.

 

(Terimakasih, Kak Malik, atas sharingnya malam itu di Depok. Terimakasih anak-anakku, juga murid-murid kelasku yang luarbiasa)

 

 

0 thoughts on “Super Child : Anak tak boleh Salah dan Kalah”
  1. Masya Allah, Mba. Aku nangis baca ini. Meski sekarang anak2ku masih kecil, tapi sadar banget udah sering banding2in si Kakak dengan si Adik.
    Jazakillah remindernya. Barakallahu fiik 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *