Lihat berita tentang bu Khofifah dan bu Risma belakangan ini, jadi geli sendiri. Dua-duanya tokoh yang punya banyak kiprah di tanah air. Kita tahu bu Khofifah dan bu Risma punya kapabilitas untuk mengelola jabatan publik. Akhir-akhir ini, dengan adanya covid 19 dan berbagai kondisi yang mengiringi (PSBB, rapid test, dlsb); di rumah jadi sibuk berdiskusi. Maklum anak-anak kami terdiri dari lelaki dan perempuan, jadi mereka punya pendapat sendiri-sendiri. Di situlah sebagai orangtua kita harus menjembatani, bila ada yang perlu diluruskan dari pola pikir anak-anak kita.
👨🦰 Begitulah kalau perempuan memimpin, ya. Pasti ada baper-bapernya. Jadi susah kita. Apa perempuan pada akhirnya gak bisa menduduki jabatan tertentu? Karena pasti perasaannya akan kebawa-bawa?
👱♀️Eh, ini gak terkait perempuan atau gender tertentu ya. Margaret Tatcher dan Jacinda Arden juga mampu mengelola kursi Perdana Menteri
👨🦰Iya, tapi coba lihat pertikaian ini. Ala emak-emak banget. Ada yang ngamuk-ngamuk, ada yang sindir-sindir
👱♀️Karena kali ini permasalahannya kompleks, ya kita gak bisa menilai sekilas.
👨🦰Lihat, ya. Beberapa pemimpin yang kebetulan perempuan, bertikai kayak anak kecil
👱♀️Memang gak semua perempuan bisa memimpin. Tapi ada lho perempuan yang “tough” banget, dan dia bisa memimpin dengan baik tanpa dicampur perasaan.
Asyik kalau dengar anak-anak berdebat.
Lucu dan mengesankan.
Ciri Khas Perempuan
Perempuan memang punya sumber daya emosi yang besar.
Untuk itulah cocok dengan pekerjaan-pekerjaan pengasuhan : guru, dosen, dokter, perawat, petugas sosial dan sejenisnya. Di zaman ini, banyak perempuan yang semakin terlatih dan pintar sehingga tidak lagi hanya berkutat di pekerjaan pengasuhan. Pekerjaan yang membutuhkan resiko besar seperti tentara dan polisi, juga bisa. Yang membutuhkan tantangan besar seperti pengusaha dan politikus, juga oke. Yang penuh masalah dan rintangan seperti kepala daerah, juga hebat.
Masalahnya : jangan bandingkan perempuan dan lelaki dalam perilaku.
Wong cara berpikirnya beda, anatomi tubuhnya beda, anatomi otaknya beda. Jadi perilakunya pun beda ( baca : Kitab Cinta & Patah Hati; juga Seksologi Pernikahan Islami, hehe).
Termasuk dalam pola kepemimpinan, pasti juga beda.
Bukan cuma bu Khofifah dan bu Risma lho, kalau berseteru model emak-emak. Ada perempuan-perempuan di posisi jabatan tertentu sangat terlihat ciri khas keperempuanannya. Semisal, ketika bersaing dengan rekan kerja yang sama-sama perempuan, tidak berani bersikap fair. Perempuan suka merasa nggak enak hati, malu berterus terang, dan enggan konfrontasi secara frontal.
Beda dengan laki-laki yang bisa main gebrak, main labrak, hantam kromo. Berkelahi terang-terangan, tapi segera baik kembali kalau masalah selesai.
Perempuan?
Tentu beda. Memendam perasaan tak enak, susah mengungkapkan.
Kalau usia anak sekolah SD- SMA, tentu masalahnya tak rumit-rumit amat. Paling masalah persaingan akademis, persaingan cinta, persaingan perhatian guru. Semakin dewasa dan banyak tanggung jawab, tentu banyak pula yang dipertimbangkan.
Misal, seorang atasan perempuan. Ia akan mempertimbangkan anak buahnya, kadang sampai hal yang sekecil-kecilnya. Rumahnya di mana? Transportasinyanya bagaimana? Cukup gak penghasilannya? Nyaman gak dia di tempat kerja? Gimana kalau dia hamil dan sakit? Ciri pengasuhan perempuan tetap menempel di manapun ia berada. Ciri seorang istri, ciri seorang ibu. Karenanya, kadang atasan perempuan lebih cerewet dari atasan lelaki. Karena ciri pengasuhannya memang tampak sekali.
Ia akan memikirkan hal-hal sepele yang bagi atasan lelaki kayaknya gak banget deh. Misal, ada atasan perempuan saat rapat memikirkan menu makan rapatnya apa? Saat family gathering, apa saja menu yang dihidangkan untuk keluarga para bawahannya? Atasan lelaki tentu gak seperti itu. Tinggal nyewa gedung, hotel, plus menu makanan. Beres deh. Mau enak gak enak, yang penting bayar. Selesai.
Bu Khofifah emak yang mau mengayomi se Jawa Timur. Bu Risma emak yang mau mengayomi Surabaya. Waktu masalah mobil PCR, kelihatan kan ciri khas perempuannya?
Perempuan : Maksimal Level Berapa?
Kalau perempuan selalu punya ciri pengasuhan kayak gitu, bisa gak sih sampai level tinggi?
Misalnya orang nomer 1 di perusahaan. Orang nomer 1 di kementrian. Atau orang nomer 1 sebagai kepala daerah, atau kepala negara? Wah, pernyataan itu bisa mengundang polemik yang panjang. Tapi, saya lebih mau ngebahas ke pendekatan psikologi ya. Karena emang tahunya basic ilmu psikologi.
Kepribadian atau personality sangat berpengaruh pada pola pikir dan perilaku seseorang (baca lagi deh Seksologi Pernikahan Islami dan Kitab Cinta Patah Hati 😊). Personality ini panjang banget prosesnya. Intinya, gak ada lho orang yang tahu-tahu lahir jadi pemimpin. Baik lelaki or perempuan.
Ada perempuan yang awalnya gak bagus jadi pemimpin karena sedikit-sedikit baper. Lalu dia mau dikasih kritik, dikasih saran. Dia mau berkembang dan belajar. Nah, dia akan bisa terus melaju mencapai posisi tinggi. Tapi, proses dia mau “mendengarkan saran” itu juga perlu kedewasaan. Dan kadang kedewasaan itu juga bersumber dari personality.
Ada orang yang sepanjang hidupnya gak bisa dewasa. Sampai usia 30, 40, 50 tetap aja kayak anak-anak. Mau lelaki atau perempuan kalau kayak gini emang bikin senewen. Kalau perempuan masih kekanakan di usia dewasa, ya ia akan rewel. Gak peduli apapun posisinya. Kalau lelaki masih kekanakan di usia dewasa, ia akan adiksi sama perhatian. Eeeh, berarti sama-sama adiksi dong : adiksi perhatian. Cuma modelnya beda.
Perempuan yang hamil, punya anak banyak, kalau dia dewasa dan memiliki personality yang matang; dia akan siap menerima beban berat. Jadi pemimpin perusahaan, kepala kantor, kepala daerah , kepala departemen, dst. Meski dia lagi repot dengan kondisi dirinya yang hamil, yang rempong sama anak dan suami; dia bisa me-manage masalahnya sendiri. Me-manage emosinya sendiri sehingga nggak merembet ke mana-mana.
Tapi perempuan meski anaknya cuma 1, atau bahkan memilih single karena ingin fokus karir, kalau nggak dewasa ya gak akan siap menerima amanah apapun.
So, kalau saya melihat bu Khofifah dan bu Risma, bukan sekedar : ah, emak-enak, baperan! Gak bisa mimpin daerah. Perempuan gak bagus kalau pegang jabatan tinggi! Enggak bisa se-simple itu. Kalau ada konflik, semua pihak pasti akan bersiaga dan waspada. Memanas. Sampai klimaks.
Masalahnya, kita emang belum pernah punya Gubernur dan Walikota perempuan bersamaan. Periode lalu, pakde Karwo yang jadi gubernur Jawa Timur. Jadi kalau konflik antara perempuan – lelaki, kayaknya bakal ada yang ngalah. Bakal ada yang adem. Tapi karena konflik kali ini antar perempuan, mungkin sensitifitasnya meningkat.
Sebagai perempuan saya ngerti kenapa bu Risma ngamuk-ngamuk pas taman Bungkul rusak berantakan. Lha, emak-emak kalau habis ngepel dan anaknya nginjak dengan kaki kotor aja bisa ngamuk! Perihal mobil PCR kelihatan banget kalau pola komunikasi perempuan yang seringkali by symbol dan berharap orang lain memahami, terjadi. Masalahnya, pola komunikasi perempuan di jajaran atas itu akan jadi tontonan nggak enak kalau dikonsumsi anak-anak bangsa dari berbagai latar belakang usia dan status. Semoga ibu-ibu kita tercinta itu segera berkomunikasi dengan baik lalu cari titik temu, ya.
Bagaimana pendapat anda?
Bunda, di pengalaman saya, lebih sering klasifikasi gender kurang berlaku. Perempuan dan laki-laki, yang saya temukan, sama kompleksnya seiring dengan berkembangnya konteks yang mereka hadapi. Batas-batas antara maskulinitas dan feminitas menjadi buram. Pada saat tertentu, laki-laki bisa menjadi seperti yang digambarkan sebagai feminin, dan perempuan pada saat tertentu bertindak seperti yang digambarkan sebagai maskulin. Pendapat saya, mungkin karena “karakter individu”-lah yang menjadi ordinat, yang dibentuk oleh lingkungannya. Menurut Bunda bagaimana?
Betul, batasan gender sudah lebih samar.
Kualitas perempuan lelaki sekarang lebih ditentukan pola asuh, pola pikir.
Walau kadang ciri khas lelaki atau perempuan muncul, tapi gak mendominasi ya.
Misal, perempuan aslinya kan gampang nangis. Dengan perkembangan zaman, perempuan diharap lebih tangguh dan gak cengeng. Walau sesekali nangis wajar sih.
Mungkin kepemimpinan perempuan terasa rempong karena system yang mengatur negara juga rasanya bersifat ‘lelaki’. Diciptakan oleh lelaki, dijalankan sekian lama oleh mayoritas laki-laki, dengan cara yang khas laki-laki:-)
Mba Sinta udah nonton Drakor yg judulnya SEARCH: WWW?
Tokoh utamanya tuh para PEREMPUAN yg jadi ladyboss di industri digital gitu
SERU DEH 😀
Waaah, noted. Harus aku donlot nih