Terbayangkah kehilangan orang yang sangat dicintai : anak, pasangan, orangtua?

Rasanya tak sanggup membayangkan.

Apalagi, bila kehilangan itu begitu tiba-tiba.

Saya ingat, ketika bapak meninggal tahu 1992. Mama begitu tegar mengurusi beliau saat sakitnya, wira wiri ke rumah sakit. Saat itu belum ada ojek online seperti sekarang, jadi mama mengantar bapak ke rumah sakit naik dokar dulu, baru naik bemo. Belum lagi wira wiri RS-rumah. Meski lelah lahir batin ketika bapak wafat, mama tetap merasa kehilangan. Meski sudah menduga bapak akan wafat karena beliau menderita sakit komplikasi, mama tetap terpukul.

Ya, meski bapak sakit lama, ketika beliau wafat, rasa kehilangan tetap sangat menyiksa. Bapak yang sudah sakit lama, yang sudah memberitakan kabar kematiannya jauh-jauh hari, tetap meninggalkan jejak menyakitkan ketika beliau pergi. Apatah lagi kepergian orang –orang tercinta yang mendadak.

 

Pertemuan Tak Dikira

 

Saya mengenal bu Indira tak terduga. Ketika mengisi acara parenting di Ukhuwah Banjarmasin  Sabtu 16 November 2019, esoknya saya dijadwalkan mengisi di Banjarbaru 17 November. Saya dijemput sepasang suami istri yang luar biasa. Kami mengobrol sepanjang jalan dengan hangat dan penuh gurauan.

Lalu tiba-tiba muncul percakapan yang membuat jantung seperti tercerabut dari rongganya.

“Mbak Sinta tahu siswa Husnul Khatimah yang wafat tempo hari?”

Ya, saya ingat.

Beberapa waktu lalu, tersebar kabar demikian ramai di grup whatsapp & telegram (6/7 September 2019), tentang wafatnya seorang santri Husnul Khatimah dengan cara di luar kebiasaan : ia meninggal tertikam seorang preman.

“Itu putra saya,” kata bu Indira.

Rozien, almarhum.png
Almarhum ananda Rozien

Saya nyaris tak bisa berkata-kata. Lutut lemas.

Saya berhadapan dengan seorang ayah dan ibu yang kehilangan anaknya dengan cara tiba-tiba!

Saya harus bilang apa? “Sabar ya.” Alangkah klise kata-kata itu. Bahkan ketika saya berucap “sabar”, belum tentu mampu sabar seperti mereka.

Saya hanya bisa berulang-ulang mengucapkan dzikrullah, terkaget-kaget atas pertemuan serba tak terduga. Dan cerita dari sang ibunda, mengalir demikian indahnya.

 

Ananda yang Luarbiasa

Ia adalah seroang pemuda yang luarbiasa. Menempuh studi di HK karena ingin jadi penghafal Quran. Menjelang kelulusan, ia ingin masuk fakultas kedokteran di luarnegeri. Tak ada firasat apapun ketika umminya di Banjarbaru hari itu ingin menjenguk putranya, Rozien.

Anehnya, Rozien mengatakan hal-hal yang ketika itu terasa biasa saja, namun ketika tiada tampak seperti sebuah isyarat.

“Ummi, hari ini entah mengapa aku bahagia sekali.”

Umminya tentu tak merasa apapun. Hanya saja, wajah Rozien tampak demikian bercahaya dan berseri-seri ketika mereka berkomunikasi via video call.

“Ummi, hari ini aku mau pulang sama Ummi, ya.”

Padahal saat itu belum jadwal libur santri, sang ummi tentu menganggap itu sebagai kelakar.

Rozien syahid insyaallah setelah mengalami luka-luka akibat ditikam senjata tajam oleh seorang preman. Sang ummi yang tegar luar biasa, di hari kematiannya tentu ingin sekali memberikan kabar kepada suaminya, abi Rozien. Qadarullah, abi sedang sibuk sehingga tak terkontak. Pada akhirnya, abi terkontak lewat video call.

“Abi, anak kita…,” kata bu Indira antara sedih dan bingung. “Anak kita sudah tiada.”

Si Abi, yang tak kalah sabarnya berkata : “Ummi , matikan video callnya. Abi akan sholat dulu.”

Abi dan ummi dari Rozien, mendapatkan ujian kesabaran yang langsung ke jantung hati : cepat, tak terduga, tak dapat menawar lagi.

Sang ummi, dengan sangat bijak kemudian berkata pada abi, “Abi nggak perlu ke Jakarta. Rozien akan pulang dengan Ummi. Sebagaimana permintaan Rozien menjelang akhir hayatnya – ‘Rozien ingin pulang bersama ummi –hari ini.’”

Rozien dibawa ke pesantren HK, dan qadarullah, semua santri menyolatkannya tepat jam 3 malam. Hari baik, waktu terbaik. Bahkan yang memandikannya adalah para ustadz-ustadz yang hafidz Quran.

Bunda Indira dan almarhum ananda Rozien.jpg
Beribu pelajaran dari kematian anak sholih : Muhammad Rozien

Surga yang Disegerakan

Quote ini saya ambil dari percakapan dengan  mbak Indira. Sebuah quote yang indah; surga yang dipercepat oleh Allah datangnya. Ia bisa datang lewat tangan orangtua kita yang membutuhkan perawatan, bisa datang lewat orang yang meminta sedekah, bsia datang lewat anak-anak yang membutuhkan uluran tangan dan didikan dari orang tua. Juga bisa datang atas musibah yang tak terduga datangnya.

Bagi orang luar seperti kita, yang tak mengalami pahitnya kehilangan orang yang dicintai, mungkin hanya dapat mengucapkan Innalillahi wa inna ilaihi roji’un. Memeluk saudara kita saat takziyah, mendekapnya erat, membantunya baik materi- non materi. Hati kita ikut merasakan goncangan, hampa, kesedihan dan entahlah lukisan apa yang tergambar di benak dan perasaan.

Namun tetap saja, seberat-berat kesedihan kita; tak ada yang paling berat kecuali yang mengalaminya sendiri.

Saya dikejutkan lagi oleh seorang sahabat, Cahya Naurizza yang kehilangan putranya, Ghaza. Ghaza yang lucu, baru berusia 7 tahun, pergi dengan cara demikian tiba-tiba.

Rasa hati saya sebagai seorang ibu remuk redam, tak bisa membayangkan betapa pedih hati sang bunda. Apapun yang ada di rumah pasti akan mengingatkan pada keberadaan ananda : baju, makanan kesukaan, tempat tidur, sudut-sudut kebersamaan. Meski ikhlas, air mata pastilah tumpah ketika mengenang si buah hati.

Surga yang disegerakan.

Saya tak hendak mengatakan  ‘sabarlah’. Karena kesabaran dalam diri para bunda-bunda luarbiasa ini sudah mencapai implementasi, bukan sekedar teori. Tetapi, segala kepedihan itu selalu selaras dengan hadiah yang disiapkan dengan penuh rahasia. Entah apa rahasia itu. Tapi pasti, sebuah hadiah yang luarbiasa nilainya. Apakah lagi ia  disiapkan oleh Allah  Rabbul Izzati.

Indira & Sinta
Pertemuan tak terduga dengan bu Indira di Banjarmasin & Banjarbaru (dok.pribadi)

Sebetulnya, banyak sekali yang ingin saya tuliskan, utamanya tentang ananda Rozien. Ia adalah permata hati orangtuanya, dan akan selalu demikian. Hanya saja…ah, sulit sekali menuliskannya. Saya butuh upaya dan keberanian untuk menuangkan kalimat demi kalimat; sebab jujur, rasa perih dan kehilangan turut menghantui. Tak terbayangkan bukan, bagaimana sang bunda dan ayahanda menghadapi hari demi hari?

Insyaallah, suatu hari nanti, kita akan bisa membaca kisah Rozien secara lengkap. Ketika hati-hati ini sudah lebih siap untuk menerima kehilangan. Cinta itu memang selalu punya dua sayap; sayap harap dan ragu. Sayap cinta dan luka. Sayap bahagia dan duka.

 

Para bunda sahabat-sahabatku, surga itu telah disegerakan bagimu.

Semoga, hati-hatimu tetap dalam kebahagiaan dan ketenangan dalam bimbingan Ilahi Robbi.

 

#jumatbarakah

#kisahikmah

#anakshalih

#ayahbunda

 

 

 

0 thoughts on “Surga yang Disegerakan : Belajar dari Kepergian Ananda Rozien”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *