Takudar, The Road to The Empire I&II, Metodologi Penulisan Historical Fiction

Jurnal Harian Karyaku Kepenulisan Oase Perjalanan Menulis Takudar The Road to the Empire

 

            Berapa lama sudah menuliskan tentang Takudar?

            Kalau tidak salah, saya pertama kali menuliskan tokoh ini sekitar tahun 1999-2000, berarti selama sepuluh tahun tanpa henti saya terus mencari dan berusaha menuliskan Takudar. Setelah munculnya 4 novel yang terkait Takudar; ada banyak pujian (Alhamdulillah) dan juga kritik tajam tentang cara saya menuliskan tokoh sejarah yang satu ini.

 

  1. Singa-singa di Padang Kekuasaan – terbit dengan judul Sebuah Janji
  2. Ksatria Syakhrisyabz – terbit dengan judul  The Lost Prince
  3. Singgasana Halimun – terbit dengan judul The Road to The Empire (I)
  4. The Road to The Empire II

 

 

  1. 1.      Singa-singa di Padang Kekuasaan – terbit dengan judul Sebuah Janji

Penerbit GIP mengadakan lomba penulisan novel. Saya ikut dan sejak awal sudah terobsesi untuk menuliskan seorang pahlawan Mongolia.

 

Perkenalan saya dengan Takudar sungguh tak disengaja.

Almarhum ayah tercinta yang meninggal ketika saya 2 SMU meninggalkan warisan buku-buku yang banyak karena beliau bekerja sebagai Dosen di Udayana, Denpasar dan di Depag Denapsar Bali. Buku warisan yang sangat memikat adalah Haulah dan Romanus. Halulah & Romanus sungguh heroic dan romantis, dimana Romanus jatuh cinta pada Haulah (diceritakan sebagai saudari Khalid bin Walid). Haulah seorang muslimah yang cantik, energik, pun terjun ke medan perang. Saat SMA, tentu buku-buku macam Haulah & Romanus menjadi kegemaran saya.

Barulah ketika menikah, saya menyadari buku-buku ayah sangat bagus dan sudah sangat langka. Salah satu yang menjadi referensi saya adalah The Preaching of Islam, karya Thomas Walker Arnold (1864-1930). Ia dosen Anglo-Muhammadan College di Aligarh, India. The Preaching of Islam terbit pertama kali 1896, mengalami revisi 1913 dan cetak ulang 1930. Warna buku ini dapat disimpulkan sesuai pendapat Thomas W.Arnold yang telah menulis 11 buku yang luarbiasa : “Islam adalah agama yang penuh toleransi, disiarkan dnegan penuh damai” .

The Preaching of Islam memuat bagaimana penyebaran da’wah di seantero dunia termasuk ke Indonesia dan tentu saja, Mongolia. Disitulah saya mengenal nama Takudar yang kemudian beralih nama menjadi Muhammad Khan.

Saat menulis tahun 99/00 saya masih tinggal di Tegal.

Referensi sangat terbatas, akses internet belum seperti sekarang. Tetapi Takudar, seorang raja Mongolia yang muslim sungguh menggugah sebab selama ini nama Mongolia hanya dikenal lewat sepak terjang Jenghiz Khan membantai dan membumi hanguskan Herat, Balkh, Samarkand, Bukhara, Baghdad. Dikisahkan penduduk muslim Herat sejumlah 100.000 hanya tersisa 40 orang saja…

Dibalik semua kisah pedih itu, ternyata sejarah mencatat beberapa dinasti Mongolia yang menjadi muslim. Sebut saja Ananda, Baraka Khan, Ghazan dan salah satunya Takudar.

Tahun 99/00 saya sungguh masih sangat awam tentang dunia kepenulisan tetapi hasrat untuk menuliskan Takudar sangat menggebu. Kenapa The Preaching of islam ditulis oleh Thomas W. Arnold yang notabene orang non muslim? Kenapa sejarah muslim yang luarbiasa tidak ditulis oleh tangan-tangan muslimin sendiri? Sekalipun Thomas W. Arnold tampak berusaha se obyektif mungkin, upayanya untuk menghadirkan sebuah sejarah Islam sungguh memukau dan membuat saya merasa kecil : mengapa saya yang muslim tidak melakukannya.

Membuat Takudar sungguh dibayangi kecemasan & ketakutan. Nanti kalau salah bagaimana? Nanti kalau dikritik bagaimana? Saat itu saya berhasil menepis semua kekhawatiran dan meyakini : suatu saat jika salah, toh nama Takudar telah mengorbit. Orang telah mengenal ada satu tokoh muslim bernama Takudar. Semoga, akan ada orang-orang yang menuliskan tentang Takudar , memperbaiki kesalahan saya di kemudian hari.

Maka saya mengikutkan novel Takudar, dengan referensi yang sangat minim, jadilah ia novel berjudul Singa-singa di Padang Kekuasaan yang Alhamdulillah, meraih juara I dan kemudian diterbitkan oleh GIP dengan judul Sebuah Janji.

 

 

  1. 2.      Ksatria Syakhrisyabz – terbit dengan judul  The Lost Prince

Kecintaan terhadap Takudar Muhammad Khan tidak selesai hingga Sebuah Janji. Saya ingin membuat sekuelnya, ingin melanjutkan hingga Takudar terus berjalan menyusuri kemuslimannya. Begitulan, usai Sebuah Janji, saya meneruskan menulis Takudar dengan judul awal Ksatria Syahrisyabz, mengambil tempat madrasah Baabussalaam yang terletak berdekatan dengan Smarkand & Bukhara.

Sekali lagi, referensi masih sangat minim.

Saya bahkan lebih banyak mengambil referensi Cina yang saya anggap sangat berdekatan budayanya dengan Mongolia. The Lost Prince terbit tahun 2007, masih di GIP.

 

 

  1. 3.      Singgasana Halimun – terbit dengan judul The Road to The Empire (I)

Sungguh…obsesi tentang Takudar masih terus membayang. Saya merasa Sebuah Janji dan The Lost Prince masih belum cukup mewakili kehebatan Takudar. Apalagi, sesungguhnya, bertebaran tokoh-tokoh muslim dunia yang sangat menginspirasi : Syaikh Edebali, Ertughrul, Osman Ghazi, Skandarberg…nama-nama yang asing di telinga kita tetapi mereka mewarnai dunia dengan kemuliaan. Saya bahkan kecewa karena belum mampu menghadirkan Takudar sebagaimana seharusnya.

Tokoh-tokoh muslim pastilah luarbiasa. Mereka mengarungi kesulitan, menekan sifat egois, mengasah kecerdasan, menghabiskan malam dengan munajat dan terus bergaul dengan ulama agar tak salah arah.

Sekali lagi…saya ingin menuliskan Takudar dengan warna yang lebih indah, karena setelah sekian tahun menulis, tentu ada perkembangan. Setidaknya, saya lebih luwes memilih dialog, diksi, narasi. Sedikit tahu tentang dunia fiksi.

Di Surabaya, saya menyelesaikan Singgasana Halimun. Saya mencoba mengerahkan semua kemampuan terbaik, naskah itu pada akhirnya sampai ke tangan mbak Asma Nadia, CEO LPPH ketika itu. Mbak Asma memperkenalkan saya dengan pak Maman S.Mahayana, seorang sastrawan yang mengabdikan dirinya di UI. Subhanallah..inilah titik balik Takudar yang sesungguhnya.

Pak Maman S. Mahayana mengkritik Takudar III (TRTE) dan mengatakan saya belum cukup mampu menghadirkan budaya, masyarakat, taste Mongolia. Beliau meminta saya merevisi, jika ingin novel itu tampil prima. MasyaAllah! Padahal novel itu mau naik cetak, saya sudah sangat lelah menyelesaikannya selama bertahun-tahun.

Tetapi ada ungkapan pak Maman yang melecut ,”……Sinta, ada saatnya penulis tidak hanya berorientasi pada royalti. Mengapa tidak berpikir mempersembahkan yang terbaik untuk ummat ini?”

Maka saya mencoba memperbaiki dengan energi baru. Hunting referensi dan Subhanallah…..Allah SWT membukakan mata saya bahwa memang, upaya saya masih jauuuuh dari sempurna. Tak sepantasnya saya menghadirkan Takudar, syaikh Edebali, atau siapapun tokoh Islam yang ingin saya tulis dengan asal-asalan, dengan tidak itqon, dengan tanpa perjuangan maksimal. Takudar telah menyumbangkan kemuslimannya, terbunuh, dan saya hanya menuliskannya sekedar saja? Sungguh tak sepadan.

Alhamdulillah…novel itu saya perbaiki. Bahkan saya merasa begitu mengenal Mongolia. Tarian beilgee. Minuman arak,susu, the. Bagaimana cara mengolah daging. Bagaimana Tumen – Mingghan- Jaghun-Arban , angkatan perang Mongolia membelah dunia…

Alhamdulillah, novel ini menjadi fiksi terbaik IBF award Jakarta 2009.

 

Jika Sebuah Janji dan The Lost Prince hanya menuai pujian, maka TRTE mulai menuai kritik pedas. Wajar saja, Sebuah Janji dan The Lost Prince masih tidak terlalu kental menampakkan fiksi sejarah. Tetapi TRTE mulai dipertanyakan : berapa persen muatan sejarahnya? Mana Time line nya? Mana petanya? Saya kecewa sekali dengan anda karena anda saya anggap sama seperti Kho Ping Ho yang hanya menonjolkan sisi romantisme dan perseteruan dunia kang ouw tetapi mengabaikan sisi sejarah.

Sungguh…saya gemetar dan menangis.

Sekalipun pak Maman S. Mahayana membela saya dengan tulsian-tulisannya, saya sungguh ingin berhenti dari menuliskan fiksi sejarah.

Cukup.

Berhenti sampai disini.

Saya tidak mau lagi menulis fiksi sejarah.

Mending juga fiksi romantis macam Lafaz Cinta yang tidak ada kritiknya , bahkan naik cetak berkali-kali, royalti terus mengalir. Ah, kenapa harus ambil pusing dengan fiksi sejarah? Sudah capek, dianggap salah pula. Dicaci maki.

Selamat tinggal Skandarberg, Armanusa, Syaikh Edebali, dan yang lain-lain. Biar sejarah saja yang mencatat nama kalian. Saya sudah capek terobsesi dengan satu nama : Takudar. Saya tidak mau menulis fiksi sejarah lagi!

 

 

  1. 4.      The Road to The Empire II

Betapa mudahnya manusia menyerah hanya karena satu dua caci makian.

Memangnya, ketika seseorang berupaya melakukan suatu kebaikan semua akan berjalan mulus? Lagi pula, kok kekanak-kanakan sekali! Bukankah seharusnya saya belaar dari kritikan tersebut?

Sungguh, seharusnya saya bersyukur telah dikritik agar lebih lurus niatnya, lebih lurus jalannya, lebih berhati-hati. Dan apa yang selama ini terabaikan, menjadi titik perhatian kemudian.

Apa sih fiksi sejarah?

Bagaimana metodologinya?

Adakah pakem yang harus dipatuhi ketika kita ingin mengungkapkan kehidupan seseorang yang dianggap punya pengaruh di pentas dunia? Selain kembali memantapkan diri…ayo, tulis Takudar lagi. Jika ada kesalahan, mengapa saya tidak berlapang dada untuk mengakui dan memperbaiki? Lagipula…..tidak pantas tokoh-tokoh muslim ditulis oleh orang yang berhati kecil, kerdil, ngambekan, suka menyerah, tak mau berbenah.

 

Maka, selain kembali mengasah diri dan memburu referensi hingga  ratusan – mungkin ribuan- situs, literature, saya kembali menuliskan Takudar. Disamping itu, ada beberapa referensi tentang historical fiction/ historical novel yang perlu dipelajari kembali.

 

Historical fiction tells a story that is set in the past. That setting is usually real and drawn from history, and often contains actual historical persons, but the principal characters tend to be fictional. Writers of stories in this genre, while penning fiction, attempt to capture the manners and social conditions of the persons or time(s) presented in the story, with due attention paid to period detail and fidelity.

Historical fiction presents readers with a story that takes place during a notable period in history, and usually during a significant event in that period. Historical fiction often presents actual events from the point of view of fictional people living in that time period.

In some historical fiction, famous events appear from points of view not recorded in history, with fictional characters either observing or actively participating in these actual events. Historical figures are also often shown dealing with these events while depicting them in a way that has not been previously recorded. Other times, a historical event is used to complement a story’s narrative, occurring in the background while characters deal with situations (personal or otherwise) wholly unrelated to that historical event. Sometimes, the names of people and places have been in some way altered.

 

According to Encyclopædia Britannica, a historical novel is

a novel that has as its setting a period of history and that attempts to convey the spirit, manners, and social conditions of a past age with realistic detail and fidelity (which is in some cases only apparent fidelity) to historical fact. The work may deal with actual historical personages…or it may contain a mixture of fictional and historical characters.

 

Terjemahan bebasnya kuranglebih demikian :

 

 

Fiksi sejarah menceritakan sebuah kisah yang terjadi di masa lalu. Setting biasanya nyata dan diambil dari sejarah, dan sering berisi orang-orang sejarah yang sebenarnya, tetapi karakter pokok cenderung fiksi. Penulis cerita dalam genre ini, sementara menuliskan fiksi, berusaha untuk menangkap sikap dan kondisi sosial dari orang atau waktu yang disajikan dalam cerita, dengan memperhatikan detail periode dan ketepatan.

 Fiksi sejarah menyajikan  kepada pembaca  cerita yang terjadi selama periode penting dalam sejarah, dan peristiwa penting di masa itu. Fiksi sejarah sering menyajikan peristiwa-peristiwa aktual dari sudut pandang pelaku fiktif yang hidup di masa tersebut.
Pada beberapa fiksi sejarah, peristiwa yang terkenal muncul dari sudut pandang tidak tercatat dalam sejarah, dengan karakter fiksi baik mengamati atau secara aktif berpartisipasi dalam peristiwa-peristiwa aktual.

Tokoh historis juga sering dilukiskan terkait dengan suatu peristiwa, digambarkan mereka dengan cara yang belum terekam sebelumnya.

Di sisi lain, suatu peristiwa historis digunakan untuk melengkapi narasi cerita, terjadi sebagai background sementara karakter-karakter yang berurusan dengan situasi tersebut (pribadi atau lainnya) seluruhnya tidak terkait dengan peristiwa sejarah. Terkadang, nama-nama orang dan tempat telah diubah dalam beberapa cara.

Menurut Encyclopædia Britannica, sebuah novel sejarah adalah
“Sebuah novel yang memiliki setting periode sejarah dan yang mencoba untuk menyampaikan semangat, perilaku, dan kondisi sosial waktu lampau dengan detail realistis dan ketepatan ke fakta sejarah. Hal tersebut terkait tokoh sejarah yang sebenarnya … atau mungkin mengandung campuran karakter fiksi dan sejarah. “

 

 

Pendapat Sir Walter Scott (1771 – 1832)

            Sir Walter Scott dianggap sebagai perintis genre novel sejarah. Karyanya antara lain Ivanhoe dan Waverly. Waverly bercerita tentang pemuda Inggris, Edward Waverley, yang melakukan perjalanan ke Skotlandia dan terjebak dalam pemberontakan Yakobit 1745.

Karya Sir Walter Scott banyak dipuji sekaligus dikritik oleh Georg Lukas yang mengatakan bahwa tulisan Scott adalah  “upaya untuk menggambarkan perjuangan dan antagonisme sejarah melalui karakter yang, dalam psikologi dan nasib mereka, selalu merupakan tren sosial dan kekuatan sejarah.

Bagi Scott, untuk menjaga kemurnian sejarah, tokoh-tokoh dan peristiwa sejarah harus menempati kedudukan sekunder sebagai latar belakang, tokoh utama diperankan oleh tokoh fiktif.

 

Pendapat Georg Lukacs (1885- 1971)

            Lukacs berpendapat bahwa novel sejarah merupakan cerminan masa kini dalam suatu masa lampau, atau suatu usaha untuk memahami/menampilkan masa kini melalui masa lalu, yang berarti bahwa tokoh sejarah dapat menduduki tokoh utama tetapi perwatakannya dan peampilannya dalam aksi disesuaikan dengan interpretasi pengarang.

 

Pendapat Apsanti Djokosujatno

            Salah satu pengajar di FIB UI ini menuliskan tentang novel sejarah Indonesia : Konvensi, Bentuk, Warna & Pengarangnya. Beliau mengupas tentang 5 novel yang dianggap mewakili ; Katrologi Bumi Manusia (Toer 2001a, 1986a,1986b, 2001b) Arok Dedes (Toer 1987), Roro Mendut (Mangunwijaya 1994), Subang Zamrud Nurhayati (Kelana 1992), Perlawanan Rakyat Sigi (Samin 1977).

            Bagi saya pribadi, ulasan Apsanti memberikan semangat baru, setidaknya bagi saya pribadi yang ingin menuliskan novel sejarah.

            Subang Zamrud Nurhayati melukiskan kisah fiktif dan fantastic. Dikisahkan adegan diawali dengan sebuah cincin keramat yang sebelumnya merupakan milik Cleopatra dan Marc Anthony, secara ajaib dihibahkan pada para kekasih terkenal di dunia. Novel ini menceritakan kisah cinta panglima utusan Sultan Agung Mataram dengan hulubalang wanita kerajaan Aceh, Nurhayati. Bahkan novel ini diawali dengan sentuhan fantastic : penuturnya dari abad XX dalam keadaan tak sadar masuk ke abad XVII dan menjadi panglima Sultan Agung.

Pendapat Maman S. Mahayana

            fakta dan fiksi sering diperlakukan tumpang tindih. Fakta dianggap kembaran fiksi, fiksi dianggap adik kandung fakta.

            Apakah fakta yang tidak benar dapat dikategorikan sebagai fiksi? Bergantung pada pengolahan fakta; jika tujuannya menipu, maka itu adalah kebohongan. Tetapi jika fakta mengalami pengolahan imajinatif, memasukkan intelektualitas, membangun sebuah dunia yang koheren, menciptakan sebuah kehidupan yang imajiner, menawarkan nilai-nilai kemanusiaan –moral,etika,norma,tradisi, ideologi- maka itu adalah fiksi. Ia sangat mungkin memanfaatkan fakta sebagai bahan dasar; setelah mengalami penghayatan, pemaknaan, penilaian, proses pengolahan dan rekayasa, fakta yang disajikan mungkin taidak sama persis dengan fakta yang terjadi. Ia telah menjalani proses fiksionalisasi, fakta telah berubah menjadi fiksi.

            Fiksi sedikitnya terkandung kebenaran faktual dan kecanggihan fiksional. Ia mestinya mewartakan fakta yang pernah atau mungkin ada dan menjalinnya dengan kesadaran mengangkat problem kemanusiaan lewat bingkai estetika. Ia akan memberikan kontribusi bagi pemerkayaan ruh umat manusia dengan kemanusiaannya.

 

Takudar : Fiksi ataukah Fiksi Sejarah?

            ”Tak ada kejaidan atau peristiwa, sebagai mata rantai sejarah yang bisa direkontruksikan dari novel (baca : sastra), ” demikian  pendapat Taufik Abdullah. Dikatakannya, ada 2 hal penting terkait novel (sastra) :

  1. Sastra memberikan pantulan tertentu tentang perkembangan pemikiran, perasaan, orientasi pengarang.
  2. Sastra dapat pula memperlihatkan bagaimana bekerjanya suatu bentruk struktural dari situsi historis tertentu dari lingkungan penciptanya.

 

Menyitir pendapat Grebstein, yang disitir Sapardi Djoko Damono, bahwa pemahaman karya sastra hanya dapat dilakukan secara lengkap apabila karya tersebut tidak dipisahkan dari lingkungan, kebudayaan ataupun peradaban yang telah menghasilkan.

 

Hm, begitu sulitnyakan untuk memahami metodologi Historical Fiction? Begitu rumitnyakah untuk membaca karya fiksi sejarah, apatah lagi menuliskannya?

Mungkin tidak seperti itu. Saya relatif setuju dengan pendapat Grebstein di atas : memahami Takudar berarti mencoba memahami sudut pandang penulisnya. Mungkin ada yang luput dari The Road to The Empire, sesuatu yang tidak tepat sesuai dengan fakta sejarah. Tetapi sejak awal ketika menuliskan takudar, semangat membangun ruh kemanusiaan (seperti ungkapan pak Maman) itulah yang paling banyak mendominasi.

            Membayangkan seorang bangsawan, di tengah adat istiadat Mongolia yang keras, nomaden, peminum arak, penikmat wanita – disitulah Takudar tumbuh. Ia tetap bertahan dengan kemuslimannya bahkan ketika sejarah mencatat ia harus membayarnya dengan harga mahal –hidupnya sendiri.

            Dan o, betapa saya membayangkan begitu kesepiannya sang tokoh.

            Ia hadir saat dinasti Mamluk pun tengah labil. Panglima Saifuddin Qutuz yang menang melawan Mongolia, dibunuh sendiri oleh Baybars. Dinasti Saljuq di Anatolia, juga baru merintis benih. Dikisahkan memang, Takudar pada akhirnya mendalami buku-buku sufistik, mungkin ia ingin mengobati luka hatinya yang dalam. Berjuang sendirian, di saat saudara-saudara muslimnya juga tak dapat banyak menolong.

            Kehidupan Takudar dalam TRTE mungkin imajiner.

            Tetapi saya yakin, tidak mungkin seorang pangeran seperti dirinya, memahami Islam dengan hanya berpangku tangan, apalagi ia menuliskan surat kepada Sultan Mesir. Surat yang membuat mata ini menitik, betapa dengan segala daya upaya Takudar berusaha menjamin kehidupan rakyatnya.

            Kehidupan Takudar dan para sahabat fiktifnya mungkin hanya rekaan. Tapi dapatkan saya, anda, kita semua membayangkan seperti apa Takudar setelah membaca suratnya yang berikut? Tak cukup TRTE mewakili Takudar yang sesungguhnya. Karya ini hanya percik api pembuka, yang semoga bagai bola salju ada yang membaca, mengkritik, memperbaikinya, menandingi tulisannya…lalu sosok-sosok seperti Takudar, Rasyiduddin yang teguh hati, Almamuchi yang bijak, Karadiza yang rupawan tetapi penuh martabat hadir dalam kehidupan nyata. Suatu saat akan kita harus bisa  tuliskan riwayat hidup syaikh Edebali, Ertughrul dan Osman Ghazi, peletak dasar dinasti Utsmaniyyah yang luarbiasa. Begitupun, kita tulisakan para pahlawan Islam yang lain agar nyala keimanan terus berpendar dalam nurani kita.

 

 

Surat Kaisar Takudar Muhammad Khan

 

            Atas iradat Tuhan Yang Maha Kuasa, surat dari Ahmad kehadapan Sultan Mesir.

            Alhamdulillah, dengan rahmatNya yang dilimpahkanNya kepada kita dan dengan hidayahNya yang menuntun kita, yang telah menunjukkan jalan benar kepada kita sejak masa muda kita untuk mengetahui dan meyakini ke EsaanNya, meyakini bahwa Muhammad Saw adalah Rasul Allah dan Tuhanlah yang memberi petunjuk kepada hamba-hambaNya yang shalih.

            ”Barangsiapa yang Allah kehendaki untuk diberikan petunjuk Dia akan membukakan hatinya untuk menerima Islam.” (QS 6:125)

            Marilah kita terus meningkatkan taqwa kita serta berusaha memajukan Islam dan kaum muslimin, sehingga kita dapat memiliki kembali kejayaan agama seperti zaman nenek moyang kita dengan ridho Tuhan, agar segala cita-cita kita dapat terwujud, dan Tuhan mempercayakan kepada kita kendali kerajaan, sedang ini bagi kita adalah amanah suci.

            Kami telah mengadakan musyawarah yang dihadiri oleh saudara-saudara seagama, putera-putera bangsa terbaik, jenderal-jenderal angkatan perang, komandan-komandan pasukan, dimana mereka semua sepakat untuk mendukung terus cita-cita perjuangan ini dengan memobilisasi segenap pasukan yang jumlahnya  akan membuat bumi ini terlihat kecil dan sempit, dan semangat jihad mereka akan membuat gentar hati musuh, sehingga puncak-puncak gunung pun akan tunduk serta batu-batu keras akan lumer.

            Kami tandaskan di sini kebulatan tekad mereka untuk memperjuangkan cita-cita kita bersama, yaitu memperkokoh berlakunya tertib hukum Islam, selama kekuasaan berada ditangan kita tidak akan terjadi pertumpahan darah, kita singkirkan segala kejahatan manusia dan kita tiupkan ke seluruh permukaan bumi ini perdamaian dan kemakmuran, sehingga raja-raja dan negeri-negeri lain dapat merasakan ketentraman dan berbuat kebajikan, di mana perintah Tuhan dihormati dan ditaati serta kesejahteraan terlimpah bagi seluruh makhluk Tuhan.

            Saatnya kini Tuhan mengilhamkan kepada kita untuk memadamkan api peperangan dan menghentikan segala bencana yang mengerikan, dan menjelaskan kepada mereka yang bersedia mensukseskan ide ini bahwa Tuhan telah mentakdirkan kita untuk berbuat, yaitu dengan segala sarana untuk menyembuhkan segala penyakit dunia untuk selama-lamanya. Karena kita tidak terburu-buru berniat mengangkat senajta sebelum kita pertama-tama menunjukkan jalan yang benar; peperangan hanya dibenarkan untuk mempertahankan kebenaran yang adil.

            Keputusan kami untuk melancarkan segala rencana yang baik dan berguna ini, telah diperkuat dengan dukungan Majelis Syaikhul Islam, sebuah lembaga suci yang telah membantu kami memecahkan berbagai masalah.

            Kami sampaikan berita ini untuk sekedar Paduka Tuan maklumi dan untuk memberitahukan kiranya Tuhan telah menerangi hati kami dan bahwa Islam telah menghapuskan segala dosa kami sebelum masuk Islam dan bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa juga sedang menuntun kami untuk mengikuti jalan kebenaran.

            Bila Paduka Tuan memerlukan bukti-bukti, kami persilakan Paduka Tuan mengirim utusan ke sini agar dapat menyaksikan sendiri apa yang kami perbuat di sini. Dengan rahmat Tuhan, kami telah mengangkat tinggi-tinggi panji-panji agama ini, dan mempraktekkan ajarannya dalam perbuatan sehari-hari, semoga peraturan dan hukum Islam dapat berlaku dengan kokohnya sesuai dengan dasar-dasar keadilan yang dibawa oleh Muhammad Saw. Dengan demikian kami telah menggembirakan hati rakyat, memaafkan mereka yang telah pernah bersalah seraya berkata : ’Semoga Tuhan mengampuni dosa-dosa yang telah lalu.’

            Kami telah mengusahakan perbaikan yang menyangkut maslahat umum kaum muslimin, masjid, perguruan, lembaga-lembaga sosial dan perbaikan perkemahan rakyat, meningkatkan pendapatan mereka yang berhak menerima infaq dan zakat. Kami telah memerintahkan agar jamaah haji mendapatkan pelayanan sebaik-baiknya, persediaan perbekalan dan pengamanan mereka dalam perjalanan pulang pergi ke dan dari tanah suci. Kami memberikan kebebasan kepada para pedagang untuk keluar masuk negeri mana saja yang mereka kehendaki, dan kami  melarang tentara atau polisi untuk mencampuri urusan pedagang atau menghalangi keluar masuknya mereka.

 

            Tertanda,

Takudar Muhammad Khan, Kaisar Mongolia

(salinan surat asli sang kaisar kepada Sultan Mesir)

 

 

 

 

Referensi :

  1. Sir Thomas Walker Arnold, The Preaching of Islam
  2. Maman S.Mahayana, 9 Jawaban Sastra Indonesia
  3. Apsanti Djokosujatno, Makara, Jornal Social Humaniora vol.6 no.1, Juni 2002
  4. Sir Walter Scout, http: //en. wikipedia
  5. Georg Lukacs, http://en.wikipedia

0 thoughts on “Takudar, The Road to The Empire I&II, Metodologi Penulisan Historical Fiction

  1. mbak…
    Saya secara tak sengaja berkenalan dgn tokoh takudar dalam novel ‘sebuah janji’ yang baru-baru ini saya beli di sebuah bazar buku…
    Saya sangat tertarik dengan sekuelnya mb…
    Bisakah memberi informasi dimana saya bisa mendapatkan buku2 ‘the lost prince’, TRTE 1 dan 2 ?
    Saya berdomisili di Palembang dan agak kesulitan menemukan buku2 tsb di toko buku yg ada di kota saya…

    1. The Lost Prince diterbitkan oleh GIP dek…gak tau masih beredar di pasaran atau nggak. Kalau The Road to The Empire I dan TRTE II (Takhta Awan) diterbitkan LPPH insyaAllah ada. MAu dikirim via pos?

  2. boleh mbak…^_^
    kalo ada sih pengennya sama yg ‘the lost prince’ sekalian…
    Kira2 saya bisa kasih alamat lengkap+nmr hape saya (jika diperlukan) via apa ya mb?
    Sekalian nmr rekening mb jg…^_^

  3. bkan tpi novel setelah tahta awan da lagi kan?
    TRTE itu da tiga buku kan?
    aku tinggal dicikarag mba.

  4. Subnanallah… usai saya memaca The Road to the Empire. Saya percaya banget novel itu pasti riset tanpa kenal lelah. iIngga saya merasa begitu “nelongso” kapan ya saya bisa nulis yang seprti itu. Saluut! dan pasti membangkitkan ghiroh juang. Saya dapatkan novel ini dari murid saya yang di rumah tahfizd. benar-benar bacaan bergizi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *