Puluhan tahun yang lalu, ketika masih anak-anak, saya sering bermain di luar rumah hanya mengenakan celana dalam dan singlet. Saya berlari-lari, main petak umpet keliling rumah, menyeberangi kali atau kuburan. Bermain di dekat stasiun, melihat gerbong kereta api tua. Berangkat dan pulang sekolah jalan kaki, naik bemo atau berepeda. Seringkali ketika Ayah tak bisa menjemput dengan vespa tuanya, saya menjadi murid satu-satunya yang dijemput sore.
Tak ada takut.
Padahal, ketika SMP saya melewati gudang kereta api yang sangat sepi. Kantor-kantor tua bekas zaman Belanda tanpa penghuni. Ketika orangtua tinggal di Denpasar Bali dan mengirimkan saya untuk sekolah di Yogya, tak ada kekhawatiran sama sekali. Selain nasehat ,”baik-baik ya kamu tinggal sama Nenek. Jadi anak perempuan yang bisa ngeladeni Simbah!”
Mama dan bapak khawatir kalau sebagai cucu perempuan, saya malas-malasan di rumah nenek. Tidak tanggap nyuci piring, nyuci baju, beres-beres. Takut kalau saya hanya baca Kho Ping Ho seharian atau mendengarkan sandiwara radio Saur Sepuh.
Kalau libur, saya akan segera pulang ke Bali, naik bis. Bis turun di beberapa perhentian. Mamah dan bapak terkejut tiba-tiba ketika melihat saya di depan pintu : lho kok kamu pulang….
Sebagai pelajar saat itu , tak ada yang membebani pikiran selain : uang jajan, beli buku, belajar kelompok, naik gunung, malam Minggu main ke rumah teman yang sama-sama merantau.Akhir SMA, saya bahkan masih sering pulang malam karena harus hunting soal UMPTN kesana kemari, sampai malam fotokopi, belajar kelompok.
Satu-satunya peristiwa berdarah yang pernah saya lalui (ohya, dua persitiwa) adalah ketika SMP naik sepeda dan tidak sengaja terserempet bis. Saya ditolong orang-orang. Kali kedua, ketika belajar naik sepeda motor dan belum bisa mengerem ketika naik tanjakan.
Bertemu orang asing, menyenangkan. Saya senang naik bis kota, berbincang dengan tukang jamu, tukang sayur, tukang becak, tukang batu. Bertemu orang baru, menyenangkan, ketika sama-sama bertemu pendaki gunung atau orang baru di bengkel sepeda atau tukang tambal ban motor. Bertemu teman baru menyenangkan, saya senang kenalan dengan anak-anak dari SMP SMA lain. Apalagi ketika menjelang UMPTN, saling berbagi info dan ilmu dengan anak-anak sekolah lain.
Bertemu dengan sebanyak-banyaknya orang, sungguh memperkaya wawasan.
Itu pula nasehat seorang Doktor berkebangsaan Korea yang memberi wejangan di Wisuda S1 saya, bagaimana menajdi orang yang unggul : getting out, meet more and more people.
Bergaulah dengan sebanyak mungkin orang.
Bertemu dengan sebanyak mungkin manusia.
Bercakap, berdiskusi, berguru, berbagi dengan sebanyak mungkin individu yang mungkin memiliki kepandaian dan pengalaman jauh lebih banyak, lebih hebat dari kita.
Namun, beranikah sekarang saya, anda dan para guru sekalian untuk memberikan wacana ini pada anak-anak dan murid-murid : meet more and more people?
Bengis & Kejam
Itukah watak orang di masa sekarang?
Yang miskin, membenci orang kaya karena memamerkan kekayaannya. Mengendarai mobil, main klakson seenaknya padahal cuaca sangat panas dan kita pengendara motor sedang bersabar di bawah terik matahari. Yang kaya, benci pada yang miskin karena mereka sangat tidak kompeten dalam beragam pekerjaan : malas, penipu, hanya jadi polisi cepek, selalu meminta dan seterusnya. Yang bodoh, membenci orang pintar apalagi berkedudukan. Mereka yang di atas hanya akan memangsa yang lemah dan hanya akan memanfaatkan. Yang pintar, membenci yang bodoh sebab karena angka kebodohanlah bangsa ini makin terpuruk dan terpuruk.
Itukah kita?
Yang akhir-akhir ini selalu curiga, penuh prasangka, membenci orang dan ingin sekejam mungkin menghakimi siapapun yang berseberangan?
Betapa mudah kita membenci.
Mencaci maki orang lain di media social maupun di dunia nyata.
Ketika ucapan tak cukup mewakili kebencian hati, maka apapun jadi senjata : facebook, blog, twitter, instagram. Ketika itu masih belum cukup melampiaskan kebencian, adakah cara lain untuk melampiaskan dendam?
Ya.
Lakukan saja yang demikian cepat terlintas pikiran.
Kalau bisa babat, babat saja. Kalau bisa pukul, pukul saja. Kalau bisa tikam, kenapa tidak? Kalau bisa ditembak, kenapa tidak didor?
Seolah, di masa ini, kita kembali ke zaman pra sejarah.
Kembali ke zaman dinosauraus , hutan-hutan, bejana perunggu, tombak besi dan kapak batu.
Hutan-hutan pepohonan sekarang berganti hutan beton apartemen dan mall. Tombak besi dapat diperkecil menjadi pisau atau silet. Kapak batu diubah menjadi senapan atau pistol. Tak da Dinosaurus seperti Velociraptor atau T-Rex, tapi manusia sekarang dapat lebih kejam memangsa orang lain. Velociraptor tak pernah berpikir memperkosa orang. T Rex tak pernah berpikir menyiksa psikis manusia dengan terror.
Mari, hidup kembali di zaman Primitif
Dulu, orang melengkapi diri dengan senjata agar sewaktu-waktu hewan buas menyerang, kita dapat balik menikam.
Apakah itu yang harus kita lakukan sekarang? Melengkapi anak-anak kita dengan pisau dan senjata tajam?
“Nak, selain pena dan pulpen di tasmu, apa kamu sudah bawa clurit? Apa kamu bawa cutter dan silet? Atau, apa kamu bawa pistol? Jangan lupa isi peluru!”
Dapatkah sebagai orangtua kita membayangkan anak-anak sekolah membawa persenjataan, mencurigai teman-teman mereka sebagai pemerkosa dan menganggap guru atau dosen yang bersikap keras kepala (dari dulu selalu ada istilah guru dan dosen killer) sebagai pihak yang harus dihabisi?
Kemana institusi pendidikan yang melahirkan para pemikir, orang-orang cendeikia, manusia unggul berwawasan luas yang memiliki hati nurani?
Kemana insituti hukum yang melindungi masyarakat sebagaimana dulu Al Ayyubi melindungi perempuan dari orang yang melecehkannya?
Kemana insitusi pemerintah yang mencoba mengayomi segala entitas : di tengah masyarakat akan selalu ada kaya miskin, pandai bodoh, tinggi rendah, pejabat rakyat, petinggi pesuruh, orang dari beragam etnis, orang dari beragam golongan. Apakah perbedaan ini akan menjadi dasar pertentangan sehingga kita memandang setiap orang yang berbeda dengan mata curiga dan akan menghakiminya setiap ada kesempatan? Menghajarnya, memukulnya, menikam dan menyiletnya?
Apakah ketika melihat perempuan tak berdaya, lantas ia boleh diperkosa ? Mungkin sebagai lelaki nafsu birahi telah membumbung tinggi, arousal telah demikian memanaskan ubun-ubun, pornografi telah demikian intens hingga menyalakan instink paling dasar : lalu semua dilampiaskan pada seorang perempuan dan harus pula mengkahiri hidupnya?
Apakah ketika kemiskinan menghimpit, maka seseorang yang terlihat dalam posisi lebih berada karena dia mahasiswa, guru atau dosen, maka ia berhak untuk dihabisi?
Apakah karena seseorang bersalah karena mulutnya, maka senjata lebih tepat untuk membalasnya?
Demikian pula, wahai aku, kamu, kita dan kalian yang sedang berada dengan segala kelebihan baik pandai, kaya, berkelapangan : apakah menjadi jalan kita untuk tidak peduli dan memamerkan semua hal disaat yang lain nestapa memerangi segala kekurangan?
Zaman Primitif telah Lewat
Zaman Primitif telah lewat. Zaman pra sejarah telah usai. Zaman batu telah lalu. Zaman jahiliyah telah punah. Bersyukurlah hidup di abad modern yang memudahkan sekian ragam aktivitas.
Tidakkah kita ingin hidup di masa dimana peradaban memimpin dunia, setiap individu merasa bebas dan terhormat?
Para orangtua ingin mengirimkan anak laki dan perempuan untuk sekolah setinggi tingginya. Para guru dan dosen ingin mengajar. Para pejalan kaki ingin beraktivitas. Para pengguna angkutan ingin tetap berkendaraan , dalam keterbatasan ekonomi menggunakan bis, kereta, angkot , sebab tak mungkin setiap manusia di negeri ini memiliki mobil.
Maka, ayolah kita mulai dari diri sendiri.
Bagi anda yang pemarah, ingatlah untuk beristighfar. Sehingga tak timbul penyesalan dengan mengayunkan pisau, silet, parang ke sembarang leher orang. Yakinlah, bahwa usai membunuh satu orang, hanya tersisa penyesalan akan hari depan yang suram. Kemarahan yang merusak hanya dapat dilawan dengan banyak-banyak mengingatNya.Sebagain masyarakat mungkin akan memaafkan, namun bagaimana dengan keluarga korban?
Bagi anda penikmat pornografi, ingatlah bahwa melihat hubungan sexual yang terkspos membuat frontal lobe rusak, hingga anda akan menjadi orang yang mudah memangsa segala : anak sendiri, cucu sendiri, keponkana sendiri, tetangga, murid, ataupun perempuan di jalan. Menyukai pornografi bukan hanya meningkatkan rangsang seksual tapi juga perilaku agresif. Hasrat seksual yang tak terlampiaskan bukan hanya mendesak keinginan untuk memperkosa seseorang, tapi juga membunuh dan menyiksa. Ingatlah, bahwa keperkasaan anda sebagai laki-laki suatu saat akan mendapatkan hukuman yang tak terbayangkan , bila anda melampiaskan nafsu dengan cara yang tak manusiawi.
Bagi anda pengumbar materi, sadarlah. Begitu banyak orang yang mudah terbakar emosi karena situasi ekonomi, social yang memang belum stabil dewasa ini. Melihat sebagian orang dalam kondisi mapan, dalam hati terbersit cemburu dan kecurigaan. Perbanyak infaq sedekah, perbanyak senyum dan berbagi, perbanyak membantu orang agar jembatan kesenjangan terbangun.
Para orangtua, berhati-hatilah memiliki anak. Camkan pada anak-anak kita untuk waspada dan senantiasa Dzikrullah. Usahakan telepon selular dalam kondisi terkontak agar selalu dapat terhubungi dalam situasi kritis. Selalulah berdoa dalam segala kesempatan, agar terlindungi anak-anak kita, anak-anak bangsa, anak-anak ummat ini.
Para guru, dosen dan pengajar, berlapang dadalah. Anak-anak pelajar dan mahasiswa berada dalam kondisi serba terhimpit : mata pelajaran, mata kuliah, biaya transportasi, biaya kuliah, biaya praktikum, biaya skripsi, SPP dan segala macam biaya yang bila dibayangkan tak tertanggungkan bagi para pelajar. Belum lagi perilaku menyimpang, pornografi, kecemburuan social, tindak kekerasan mengungkung. Sedikit perilaku impulsive dapat membuat orang lupa diri.
Para pemimpin, pejabat, penegak hukum. Ingatlah dalam setiap kebijakan bahwa anda terlibat di dalamnya, terlibat dalam penegakkan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Institusi hukum yang bersih dan berdedikasi sangat diharapkan, segala benda yang membahayakan seperti senjata, minuman keras, minuman beralkhohol, pornografi harus ditindak tegas. Bila membutuhkan waktu untuk membereskannya maka bersegeralah untuk membatasinya.
Perkosa, tikan, bunuh, hajar, silet, sayat; rasanya kata itu sudah tak kuasa lagi masuk dalam kamus kehidupan kita.
Tentu sebagai anak bangsa kita tak ingin menambah daftar kata kerja negative, bukan?
Kita tak ingin ada kata massa, bakar, jarah, rampas, rampok atau kata negatif apapun yang akan muncul dalam berita-berita.
Para pejabat, penegak hukum, pemimpin; anda harus mempertanggung jawabkan sekian banyak korban yang berjatuhan. Siapapun anda, haruslah waspada. Bukan hanya waspada akan kejahatan oranglain. Namun juga waspada, jangan sampai diri kita menyumbangkan kejahatan baik langsung atau tak langsung.
Yuyun, Feby, bu Dosen Nur Ain Lubis ; beristirahatlah dengan tenang. Cinta dan doa kami untukmu. Semoga kematian ini tidak sia-sia. Membuat kami ingat Allah, ingat masih banyak tugas bagi masyarakat untuk menjadi manusia yang lebih beradab.
Mei 2016
Makasih tag nya mbak … iya aku jaman sekolah … berani2nya abis nontin jam 11 malam dr blok m pulang naik bis. Turun di mh thamrin, lanjut ke rmh jalan kaki .. ga ada rasa tkt … aman2 aja alhamdulillah.
Rindu masa2 dulu lagi ….
Betul Mbak Intan.
Semoga Allah Swt memberkahi negeri kita hingga masyarakat aman adil makmur tercapai. Aamiin yaa Robbal alamiin.
Aku, jadi kuatir ama anak gadisku…pengen nemani mereka kalo kemana2
Mbak Milda, anak-anak juga harus diberikan pemahaman bahwa mereka harus ekstra hati-hati
Setuju. Semua pihak termasuk diri sendiri memang seharusnya bertanggung jawab dalam membangun peradaban yang baik. Dimulai dari diri, kemudian membangun ketahanan keluarga, dan selanjutnya peduli terhadap penyimpangan sosial di luar pagar rumah kita.
Betul, Pak. Kita juga harus saling mendoakan 🙂
Iya, Mbak Noni. Mau mengurung diri di rumah, jelas nggak mungkin. Makin waspada dan banyak doa aja 🙁
Begitu berbedanya dulu dengan sekarang ya Mba? Atau mungkin salah satunya karena dulu ngga ada sosmed yang membuat semua kelakuan diduplikasi secara lansung kali ya mba?
Terima kasih Mbk telah mengingatkan, semakin waspada kerena aku punya juga anak-anak yang masih kecil.