Aku pernah bilang ke suami, “Mas, kalau aku nulis tapi penghasilannya sedikit, atau malah nggak ada sama sekali, gimana?”

Suamiku alhamdulillah berkata, “ya nggak papa. Yang wajib cari nafkah itu suami. Tapi dicukup-cukupin, ya. Kalau memang Inta bisa dakwah di situ, semoga barakah.”

Apa aku nggak pernah nangis?

Apa aku nggak pernah kecewa?

Seringlah. Pas sudah nunggu 3 bulan, bahkan 6 bulan, 9 bulan, atau ada yang 12 bulan ternyata royalti yang dihasilkan jauh dari jutaan. Bahkan kadang nggak bisa diambil di ATM. Royalti yang dicadangkan untuk bayar ini itu, bayar sekolah dll, ternyata jauh dari perkiraan.

Apakah lebih baik aku berhenti menulis dan dagang online saja? Begitu banyak temanku dagang online dan jadi kayaraya. Tapi, ah, hati ini sudah terpanggil untuk menulis.

Aku masih ingat penggal sebuah acara dakwah.

Waktu itu, uangku tinggal Rp. 6000. Anak-anakku masih kecil, 4 orang. Aku mengisi acara dan seluruh anggota keluarga menunggu, siapa tahu aku pulang bawa bingkisan. Entah uang, nasi kotak, atau kue. Ternyata, panitia memang pas-pasan. Tak ada sama sekali bingkisan yang kubawa pulang. Bahkan aku harus keluar uang bensin sendiri.

Sepanjang jalan pulang, naik sepeda motor, aku menangis. Menangis membayangkan 4 anakku dan suamiku yang insyaallah jujur sebagai pegawai negeri, menahan lapar.

Hujan saat itu.

Air mataku bercampur derai hujan. Tetapi entah mengapa, hatiku tidak ingin mengucapkan sumpah serapah pada panitia. Apalagi pada Allah dan malaikatNya. Mungkin saat itu imanku sedang bagus. Yang kuingat, di bawah curahan hujan aku berdoa kepada Allah.

“Ya Allah, kalau seorang pegawai saja dibayar oleh perusahaan, apalagi aku. Aku bekerja untukMu ya Allah. Maka bayarlah aku dengan pantas. Tidakada satupun perusahaan pun di muka bumi ini yang bisa menggajiku dengan pantas, kecuali Engkau ya Allah.”

Apakah aku langsung dapat uang?

Tidak.

Tetapi hatiku terasa demikian tenang.

Suamiku juga ikhlas.

Dan anak-anakku dengan wajah teduh berkata, menyambutku yang pulang dengan tangan kosong, “kita lagi harus bersabar ya, Mi?”

Ya.

Kalau kita bekerja untuk Allah, yakinlah suatu saat, Dia akan bayar. Memang kita butuh uang, dan uang itu harus dicari agar kita tidak jatuh pada yang haram. Tetapi ketika telah berupaya keras di jalan kebaikan, yakinlah, Allah yang akan menggaji kita.Pasti banyak kesulitan. Pasti banyak keterhimpitan. Kadang kita harus berhutang, lalu bulan depan gali lobang tutup lobang. Sampai kapan? Sampai kita merasa yakin bahwa rizqi tidak selalu berupa materi.

Prof Koh dan Sinta
Prof. Koh Yung Hun, HUFS

Hingga aku tiba di sini, di kantor Profesor  Koh Yung Hun.

Aku melihat gaji Allah yang terpampang di hadapanku. Sedekah Minus 2016 menghantarkanku ke Seoul Foundation for Arts and Culture. Lalu 2018, ketika aku kembali kemari, aku bertemu profesor Koh Yung Hun  bersama mbak Ummu Hani.

“Bu Sinta sudah tahukan, kalau Sekedah Minus saya masukkan dalam buku wajib untuk mahasiswa di sini?”

Aku hanya berucap alhamdulillah.

“Ohya, apa bu Sinta bisa menulis untuk majalah Korea?”

Aku berucap alhamdulillah lagi.

Sedekah Minus adalah karya yang entah, sudah dibayar atau tidak oleh koran yang memuatnya. Tetapi aku menuliskannya sebagai bentuk perwujudan kegalauan hatiku sendiri akan makna sedekah. Di akhir pertemuan, apa yang profesor Koh katakan sungguh membuatku tercenung.

“Dari Sedekah Minus tersebut, orang-orang yang membacanya belajar tentang makna kebaikan. Saya rasa itu yang penting. Ada 300 orang mahasiswa HUFS   yang belajar di fakultas bahasa Indonesia, kami punya 4 kelas. Dan masih ada 100 orang lagi yang mengambil bahasa Indonesia  untuk major kelas.”

400 orang setiap tahun, yang membaca Sedekah Minus.

Ya Allah, andaikata 400 orang itu tahu makna kehidupan.  Lalu tahun ajaran berikutnya 400 lagi. Lalu tahun berikutnya 400 lagi, lebih atau kurang. Aku melihat buku wajib berjudul Membaca Teks Bahasa Indonesia  :  인도네니아어  읽기연습. Kata-kata yang diterjemahkan secara khusus ke bahasa Korea : kiai, ustadz, santri, jamaah, ibadah, azan, dhuha, rakaat, imam, istighfar, tasbih, tahmid, takbir, infak, waqiah, mulk. Kata-kata itu asing bagi masyarakat Korea tetapi mereka mencoba mencari penjelasannya. Dan  apa aku pernah menduga bahwa tulisanku akan di bawa hingga ke negeri K-Pop?

Cerpenku “Sedekah Minus” yang diterjemahkan ke dalam bahasa Korea & menjadi buku pegangan  mahasiswa HUFS

 

Aku hanya membayangkan, para mahasiswa Korea yang belajar bahasa Indonesia akan mencari tahu apa itu sedekah. Apa itu Tuhan, apa itu agama, dan yang lain-lain. Bagiku, bayaran yang diberikan Allah jauh di luar perkiraan.

Aku bekerja untukMu ya, Allah.

Maka bayarlah aku.

Adakah di atas muka bumi ini perusahaan yang dapat menggaji dengan pantas, saya, anda atau siapapun yang mencoba berbuat kebaikan di jalanNya?

 

0 thoughts on “Ya Allah, Bayarlah Aku!”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *