Existere : Mainstream Baru Novel Islami ; Sastra Da’wah & Sastra Pembelajaran (rangkuman dari kritik DR. Ahyar Anwar & Rahmawati Latief MSoc.Sc)

Oase

 

Suatu pelajaran berharga yang tidak dapat ditakar dengan uang , hanya kesyukuran dan ucapan hamdallah, ketika karya kita di apresiasi dan dibedah langsung oleh mereka yang memang bergelut di bidang literasi. DR. Ahyar Anwar, dengan kalimat lugas dan cenderung ‘pedas’ memberikan banyak masukan kepada karya-karya FLP secara keseluruhan. Sesuatu yang pantas direnungkan agar para pejuang pena FLP senantiasa istiqomah – teguh di jalan perjuangan, itqon – sempurna menyelesaikan karya-karyanya.

Di bawah ini rangkuman dari pemaparan DR. Ahyar Anwar, yang saya lengkapi dengan penjelasan sesuai referensi yang ada.

• ada beberapa metode untuk menjelaskan sesuatu. Misalnya dunia pelacuran. Prostitusi dapat dibahas dengan kacamata sosiologi, antropologi, sastra dengan salah satu eksponennya berupa novel. Novel dapat melampaui fakta itu sendiri (dalam 9 Jawaban Sastra – Maman S. Mahayana : fiksi sudah mengolah fakta melalui perenungan, penghayatan, hikmah yang diambil dari kacamata si penulis) .

• Di dunia ini banyak sekali yang bersifat paradoks. Hitam vs putih. Yang sangat penting adalah bagaimana menciptakan harmoni antara paradoks tersebut, bukan hanya memelihara fenomena agar tetap paradoks. (Seseorang yang putih yakin bahwa dia satu-satunya yang putih; seseorang yang hitam yakin bahwa dialah yang hitam dan tak mungkin berubah. Seorang dai –pejuang pena, misalnya – harus menciptakan harmoni. Agar yang putih tidak hanya memelihara keputihannya dengan tidak mau membaur sementara yang hitam enggan mencoba ‘titik putih’ dalam dirinya. Harmonisasi adalah bagaimana agar dai menciptakan keseimbangan, kesinambungan; keindahan lewat perilaku, kata , apapun produk si dai agar yang hitam berangsur kelabu dan menyediakan ruang-ruang cahaya dalam dirinya untuk dikembangkan. Sementara sang dai juga harus mengingatkan dirinya dan orang-orang putih agar tidak terbenam dalam ritual dan melupakan sekelilingnya)

• Komposisi paradoks : sebuah kalimat yang cukup menghentak. Seringkali orang memandang rendah dan penuh dosa pada pelacur, pendosa, dsb. “Tidak melacur, apakah sudah berarti telah beribadah?” Dalam pengertian, mereka yang merasa sudah tidak mencuri, berbuat dosa melacur dan perbuatan-perbuatan hitam lainnya merasa sudah ‘aman-aman’ saja padahal mereka sesungguhnya tengah menjerumuskan diri dan orang lain dalam jurang dosa. Contoh, kita merasa sudah cukup baik. Yang penting suami mencukupi, anak-anak sehat, saya juga istri yang baik. Tidak pernah terpikir bagaimana membantu orang? Bagaimana memperbaiki struktur masyarakat yang amburadul? Bagaimana memberikan sumbangsih pada negara yang kacau ini dengan kontribusi paling minimal sekalipun? Kita bahkan tidak peduli : kamu melacur ya melacur aja. Itu dosa-dosa kamu. Miskin ya miskin kamu. Salah siapa kamu lahir di kota kecil, orangtua dan leluhurmu miskin, kamu nggak bisa sekolah, nggak bisa makan. Harusnya kamu tidak melacur, itu dosa! Mudahnya berucap demikian disaat kita berada pada rumah dingin kursi empuk, orangtua yang mencukupi suami yang kaya, dan hidup yang serba mudah…..naudzubillahi mindzalik.

• Existere dianggap beliau keluar pakem dari novel-novel Islami yang ada karena cukup berani membahas dunia pelacuran yang selama ini tabu diungkap.

• DR. Ahyar Anwar berpesan agar kita semakin berhati-hati dengan FLP yang semakin besar. Berbahaya jika karya Islam justru menimbulkan kejenuhan dan kebosanan lantaran tema yang seragam dan kemampuan yang tidak terus menerus diasah.

• Jika saja….suatu saat ada yang bisa menandingi “War & Peace “ Leo Tolstoy, dimana novel ini menginspirasi Mahatma Gandhi. Bisakah kita?

Sastra Da’wah

Ada beberapa catatan penting yang harus diperhatikan. Pendapat pak Ahyar banyak mendapat tanggapan keras dari adik-adik FLP yang giat mengumandangkan Sastra Da’wah. “Apapun pendapat orang, kami tetap yakin bahwa yang kami lakukan adalah tulisan da’wah dan itu jauh lebih berharga daripada sekedar tanggapan atau kritikan.” Apa yang disampaikan pak Ahyar dan adik-adik FLP Unhas bukannya paradoks yang tidak dapat diharmonisasi .

Pak Ahyar menekankan bahwa jangan sampai FLP berbangga dengan jumlah yang besar. Ingat, bangsa Indonesia jumlahnya besar tapi tidak punya nama yang cukup dihargai di manca negara! Apa yang beliau harapkan dari sastra da’wah FLP adalah munculnya karya-karya unik yang tidak hanya berorientasi pada hal-hal yang sedang ‘booming’ saja tetapi kepada tulisan-tulisan yang mampu memberikan sumbangsih pemikiran. Sehingga orang—orang yang membaca karya-karaya FLP “serasa menemukan sesuatu.” Jangan sampai orang bosan membaca karya FLP yang sarat simbol – itu lagi, itu lagi.

Sastra Pembelajaran

Apa yang disampaikan pak Ahyar tentu membuat adik-adik FLP gelisah. “Macam mana kami , Kak? Baru bisa menulis macam tersebut?” Ada yang harus digaris bawahi dari ucapan pak Ahyar. Jika tidak dikritik dan dipuji terus menerus, akan menjadi terlalu gemulai. Terlalu lemah. Itulah tugasnya kritikus, untuk mengkritik karya orang. Saya sendiri sependapat dengan pak Ahyar bahwa jika tak ada kritik sastra, adik-adik FLP akan sangat bangga dengan sastra da’wahnya dan yakin itu adalah tulisan da’wah ( …subhanallah, tidak apa bangga dengan langkah da’wah ya dek…) tetapi jika kebanggaan itu tidak memunculkan semangat untuk mengasah diri, berlapang dada menerima kritik, mau meng evaluasi; akan ada titik kejenuhan, kebosanan dan itu sangat berbahaya!

Adik-adik FLP terbukti cukup tangguh melalui Sastra Pembelajaran, suatu ungkapan yang saya pilih sendiri . Mereka otodidak, berlatih apa adanya, senantiasa mencoba. Jika masih belum mahir berolah diksi seperti Amin Malouf dan Jhon Shors, memilih tema cemerlang seperti Nagouib Mahfoudz, membangun karakter seperti Harper Lee atau mengolah kejutan seperti Dan Brown dan Jhon Grisham ; itu karena adik-adik FLP masih sangat muda dan baru melangkah setapak demi setapak! Para senior FLP sudah tidak diragukan lagi. Meski dikatakan epigon, membosankan, tema yang itu-itu saja menurut para kritikus; hal itu memang pantas diakui.

Karya Lafaz Cinta saya romansa biasa, karya-karya remaja saya juga karya biasa. Coz I Luv U, Gotcha; bukan sesuatu yang pantas dibicarakan oleh para kritikus. Namun, suatu masa, pembanjiran itu perlu untuk merubah paradigma (dalam psikologi kognitif, sensasi & persepsi menjadi sangat penting sebelum orang memutuskan sesuatu. Apa yang biasa didengar dan dilihat, dikombinasikan dengan pengalaman-pengalaman akan mengarahkan seseorang pada keputusan tertentu. ‘Pembanjiran’ hal-hal positif akan membuat orang-orang terbiasa memaknai sesuatu secara positif. Setelah sekian lama dibanjiri oleh hal-hal yang berbau budaya materialistik, perlu pembanjiran budaya literasi dengan karya-karya Islami) FLP tidak hanya bergerak di ranah sastra serius.

Ada tulisan anak-anak. Ada novel remaja. Ada novel cinta. Ada novel sejarah. Satu dua orang mulai mengkhususkan diri di ranah sastra serius yang mungkin bisa diperhitungkan oleh para kritikus sastra. Karya-karya yang masih sangat muda, mentah, tak berbobot dari adik-adik FLP adalah suatu kekayaan metamorfosa sastra bangsa ini. Lihatlah! Sejak FLP Kids mulai terbiasa menggenggam pena, menekuni kertas. SMP dan SMA membuat buku teenlit. Kuliah menghasilkan karya yang lebih spesifik. Dan lambat laun, para anggota FLP semakin menempatkan dirinya di posisi masing-masing sesuai kapasitas, keahlian dan kecenderungannya. Sastra Pembelajaran, bagi FLP adalah proses yang luarbiasa berharga.

Menghasilkan sebuah produk, tidak dapat sehari dua hari. Dibalik rpoduk yang dihasilkan, terjalin keimanan-motivasi-akhlaq- skill- pengorbanan-pengalaman dan ribuan eksponen kekayaan hidup. Karya-karya adik-adik FLP mungkin masih mentah dan sangat ringan, bahkan mengapung. Tetapi sungguh luarbiasa mereka merangkum setahap demi setahap pembelajaran, waktu demi waktu memburu ilmu, mengikuti pelatihan dengan keterbatasan biaya, mencoba membeli buku dengan mengumpulkan uang saku. FLP dengan bangga mempersembahkan nama-nama seperti Benny Arnas dan Mashdar Zainal yang menekuni sastra serius. Kokonata dan Gesang Sari yang menulis cerita anak. Ganjar Widhiyoga dengan cerita fantasi. Ini diluar para senior macam Helvy TR, Asma Nadia, Pipiet Senja, Habiburrahman el Shirazy, Afifah Afra, Muttaqwiati, Irfan Hidayatullah, Ali Muakhir dll Dari daerah masing-masing mulai tumbuh anak-anak daerah yang menuliskan kearifan lokal.

 Dan ratusan bahkan ribuan nama-nama yang bermunculan dengan gaya khas masing-masing menulis. Dibalik sebuah naskah, buku, novel yang muncul; dibelakangnya berdiri rekan-rekan FLP yang memberikan sumbangsih saran berupa editing, endorsment, kritik, semangat, masukan, dukungan moril dan materil. Semoga, apa yang dikhawatirkan sebagian orang bahwa FLP yang besar dalam kuantitas tetapi minim kualitas tidak terbukti. Sudah saatnya masing-masing kita terus meningkatkan kapasitas, merambah da’wah ke penjuru dimensi hingga celah sempit, membekali diri dengan semangat dan keahlian yang mumpuni.

Di bawah ini , kata sambutan Supriadi, ketua FLP Univ. Hasanuddin yang sangat menginspirasi. Kuranglebih demikian :

Dimana ada novel, disitu ada Forum Lingkar Pena

Dimana ada novel FLP, disitu ada nama Tuhan disebut

Dimana ada nama Tuhan disebut, disitu ada malaikat

yang melapor pada Tuhannya bahwa namaNya telah dikumandangkan

0 thoughts on “Existere : Mainstream Baru Novel Islami ; Sastra Da’wah & Sastra Pembelajaran (rangkuman dari kritik DR. Ahyar Anwar & Rahmawati Latief MSoc.Sc)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *