http://langitshabrina.multiply.com/journal/item/160/Ikonisasi_Bunga_Mawar_dalam_Novel_Rose_Karya_Sinta_Yudisia
Judul Buku: Rose
Penulis: Sinta Yudisia
Ukuran : 13,5 cm x 20,5 cm
Tebal : 320 hlm
Harga : Rp32.000,-
ISBN : 978-602-8277-46-4
Lini : Novel
Novel ini dijuduli Rose yang mewakili Mawar sebagai tokoh utama. Sebenarnya dalam konstruksi budaya Barat dan Timur tentu berbeda antara Rose dan Mawar. Walaupun dalam kamus Rose dan Mawar menunjuk pada konsep yang sama, cara pandang orang Barat terhadap rose dan cara pandang orang Indonesia terhadap bunga mawar tentu berbeda. Tidak akan ada yang sama persis dalam cara kedua suku bangsa memandang sebuah konsep. Nampaknya penggunaan judul Rose berkaitan dengan strategi marketing. Yang paling pasti, konsep yang sama antara Rose dan Mawar adalah bunga merah yang tetap indah walaupun diselimuti duri.
Novel bersampul bunga mawar ini bercerita tentang pembentukan karakter Mawar dalam keluarganya yang taman bunga. Keluarga ini disebut taman bunga karena tokoh-tokoh yang menjadi keluarganya dalam cerita ini diikonkan dengan bunga-bunga: Kusuma, Dahlia, Cempaka, Mawar, Melati, dan Yasmin. Membaca Rose seperti membaca kisah sebuah taman yang ditinggal pergi oleh tukang kebunya. Sosok ayah dalam keluarga Mawar meninggal. Mereka harus menjalani ujian hidup tanpa kepala keluarga. Seperti halnya taman bunga, takada lagi yang menyiram, takada lagi yang memupuk. Ayah sebagai sumber kekuatan mereka meninggal. Perlu banyak penyesuaian, pelipatgandaan kekuatan mental dalam keluarga Mawar. Ujian demi ujian memperlihatkan bagaimana konflik dan tokoh-tokoh di sekitar Mawar membentuk karakternya.
Tidak dapat dielakkan lagi, membaca novel yang menggunakan nama tokoh sebagai judul berarti sedang membaca sajian tentang detail karakter tokoh tersebut. Pertanyaan yang akan muncul: mengapa dia begini? Siapa yang menyebabkan dia mengambil keputusan itu? Apa yang akan dia lakukan menghadapi ini? Akhirnya pembaca akan tertarik pada karakter tokoh utama dan tokoh-tokoh di sekitarnya. Karakter tokoh utama dapat dibaca melalui tuturan pengarang, konflik yang ada dan bagaimana ia menyelesaikannya. Karakter mawar juga dapat dilihat dari bagaimana ia menghadapi tokoh lain dan bagaimana tokoh lain memandangnya.
Bunga Mawar dan Karakter Tokoh Mawar
“Bunga Mawar adalah tanaman semak dari genus Rosa sekaligus nama bunga yang dihasilkan tanaman ini. Mawar liar yang terdiri lebih dari 100 spesies kebanyakan tumbuh di belahan bumi utara yang berudara sejuk. Spesies mawar umumnya merupakan tanaman semak yang berduri atau tanaman memanjat yang tingginya bisa mencapai 2 sampai 5 meter. Walaupun jarang ditemui, tinggi tanaman mawar yang merambat di tanaman lain bisa mencapai 20 meter,” (wikipedia.co.id).
Ikonisasi adalah cara untuk menjelaskan tanda yang bentuk fisiknya memiliki kaitan erat dengan sifat khas dari apa yang diacunya (Sudaryanto, 1989). Ikonisasi kerap dijadikan cara pengarang untuk mengambil inspirasi karakter tokoh-tokoh novelnya. Dalam novel ini bunga mawar dan bagian-bagiannya menandai detail tokoh mawar secara fisik maupun karakter. Tokoh Mawar diikonkan dengan bunga mawar merah. Paling tidak, itulah yang dapat kita lihat pada sampul depannya. Warna merah adalah penanda keberaniannya.
“Terlalu!” umpat Mawar “Dari maghrib gak pulang-pulang. Ngomongin apa sih? Kalau hujan begini tambah malam lagi pulangnya!” (hlm. 13). “Biarin! Biar tahu rasa, tuh, cowok kalau sudah waktunya balik. Dihalusin gak bisa, mending kasarin aja sekalian. Daripada bertele-tele malah bikin perasaan jadi nggak karuan, bikin dosa!” (hlm. 13).
Dua kutipan tersebut memperlihatkan karakter pemberani, tegas, dan keras tokoh Mawar. Saat itu, Cempaka, kakaknya sedang diapeli oleh beberapa laki-laki hingga larut malam. Karena mengganggu kenyamanan di rumah, Mawar membuat keributan agar membuat lelaki-lelaki itu tidak nyaman dan pergi. Karakter tegas dan keras ini juga dikuatkan oleh tokoh lain yaitu mama atau Kusuma,
“Iya, maaf kalau keadaan rumah agak mengganggu,” sahut Mama lembut. “Maklum rata-rata anak mama berwatak keras. Keturunan ayahnya barangkali.” (hlm.14).
Bunga mawar berduri, untuk melindungin dirinya sendiri. Duri ini tidak menghilangkan keindahan yang ada pada bunga mawar. Ia terlihat indah tapi tidak sembarang orang berani memetiknya. Ikonisasi duri pada mawar ini digambarkan dalam maskulinitas yang ia miliki. “Mawar sendiri bukannya tak cantik. Hanya saja, dulu ayah begitu mendambakan anak lelaki. Begitu terobsesinya sehingga putri ketiganya dididik cara laki-laki. Gesit, keras, rasional, berpikir praktis,” (hlm. 21). “Hanya aku yang jika diganggu teman akan membalas dengan lemparan tempat pensil atau sepatu,” (hlm. 31).
Ikonisasi duri pada bunga mawar juga terdapat pada kekuatan karakter tokoh Mawar. Mawar mental dalam menghadapi konflik-konflik dalam kisah ini. Hal ini terdapat dalam percakapan tokoh Rasyid dan Intan. “Mawar orang yang tangguh. Dia pantang menyerah. Sekalipun saat itu tomboy dan metal, dia bisa menjaga diri.” “Aku nggak ngerti bagaimana orang seperti Mawar justru tahan banting terhadap permasalahan.” “Karakter,” Rasyid menambahkan. “Dia seorang pembelajar. Ingin mencari tahu jawaban, jalan keluar dari setiap masalah. Kukira itu yang membuatnya survive.” (hlm. 231).
Selain memiliki duri yang dapat melindungi dirinya sendiri, mawar juga tanaman semak yang memanjat yang tingginya bisa mencapai 2 sampai 5 meter. Walaupun jarang ditemui, tinggi tanaman mawar yang merambat di tanaman lain bisa mencapai 20 meter, (wikipedia.co.id). Ikonisasi pada bagian ini tidak boleh luput dari perhatian kita. Tokoh mawar dalam novel ini diikonkan dengan mawar langka, spesial, dan jarang ditemui. Mawar langka ini merambat di tanaman lain sampai 20 meter dan melindunginya dengan duri-duri yang menempel pada batangnya. Begitupun tokoh Mawar pada novel ini. Ia menanggung beban untuk mengembalikan kehormatan keluarganya. “Membantu Mama, melindungi keluarga, meninggalkan kuliah, bekerja mengurus ayam adalah hal yang dipilihnya sendiri. Ia takmenyesal bersusah payah. Sama sekali tak sempat berpikir pamrih atau menonjolkan diri di hadapan siapapun untuk mengatakan: akulah yang paling berkorban untuk keluarga. Ia menyayangi semuanya termasuk cempaka,” (hlm. 211). Mawar berhenti kuliah, memilih beternak ayam untuk menambah penghasilan keluarga. Ia membiayai kuliah Melati, adik bungsunya dan merelakan Melati mendahuluinya menikah.
Tegar di antara Dua Melati
Mawar adalah pusat. Itulah yang bisa ditangkap dari konflik yang ada pada novel ini. Dari sekian banyak konflik yang dialami tokoh Mawar, sebenarnya novel ini hanya menyuguhkan dua konflik besar. Dua konflik ini berkaitan dengan dua melati: tokoh Melati dan Yasmin. Dua tokoh ini pun diikonkan dengan bunga Melati. Dalam bahasa Indonesia, Yasmin berarti melati. Melati merupakan tanaman bunga hias berupa perdu berbatang tegak yang hidup menahun. Melati putih (Jasminum sambac) yang harum melambangkan kesucian dan kemurnian. Bunga ini merupakan suatu keharusan hiasan rambut pengantin dalam upacara perkawinan berbagai suku di Indonesia, terutama suku Jawa dan Sunda (wikipedia.co.id).
Tentang kesucian dan kemurnian, bunga melati diikonkan pada tokoh Yasmin. Walaupun ia adalah anak yang lahir dari hubungan yang tidak senonoh antara Cempaka dan Fani, Yasmin tetap suci dan tidak bersalah. Tokoh mawar bersikeras meminta Cempaka untuk tidak menggugurkannya. Tentang ini tokoh Mawar berujar, “Ia memberiku firasat aneh. Berkali-kali mbak cempaka berusaha membunuhnya dengan minum jamu dan segala makanan berbahaya. Ingat waktu kita menolongnya ketika terjatuh di kos-kosannya dulu?” Melati mengangguk. “Hingga Mbak Cempaa mengalami pendarahan. Seakan-akan Yasmin ditakdirkan dengan kekuatan Allah untuk bertahan terhadap segaka serangan. Anak ini kuat Mel. Semoga kelak ia kuat menghadapi semua kebusukan hidup,” (hlm. 220-221).
Kekuatan tokoh Yasmin ini memberi kekuatan kepada Mawar untuk bertahan membersarkannya. Ini juga menjadi konstruksi karakter yang dilakukan tokoh lain terhadap tokoh utama. Yang satu menguatkan yang lain, dapat kita istilahkan demikian. Kehadiran Yasmin membuat Mawar yang awalnya tomboy berubah 180% menjadi keibuan. Perubahan ini menjadi bukti bahwa konflik dapat membangun karakter tokoh utama menjadi lebih baik.
Melati kedua adalah Melati, adik bungsu Mawar. Melati diikonkan sebagai suatu keharusan hiasan rambut pengantin dalam upacara perkawinan berbagai suku di Indonesia, terutama suku Jawa. Bunga melati yang kecil menjadi ikon tokoh Melati yang bungsu. Hiasan rambut pengantin menjadi ikon konflik kedua yang menimpa tokoh Mawar. Adik bungsunya, Melati meminta izin untuk menikah lebih awal, mendahuluinya. Kepada ibunya Mawar berujar, “Jujur, awalnya Mawar pun sempat kaget dan nggak percaya. Tapi, setelah berpikir jernih, Mawar ikhlas. Kita akan tenang, kan, Ma, melepas orang yang kita cintai ke tangan laki-laki yang salih dan bertanggung jawab?” (hlm. 251).
Dua konflik utama ini membentuk karakter utama pada tokoh Mawar yaitu ikhlas. Satu demi satu konflik ia hadapi untuk membangun keikhlasan dalam dirinya. Perjalanan kehidupannya menggambarkan bahwa ikhlas itu tidak karbitan. Ikhlas lahir dari kemampuan seseorang untuk mengatasi setiap masalah satu demi satu yang ditakdirkan Tuhan. Ikhlas itu manusiawi dan tidak akan melahirkan kata “mengapa?” pada setiap takdir dan ujian apapun.
“Sejak dahulu, Mawar tidak pernah kecewa dan membenci kehidupan yang memiliki corak beragam. Ia tak pernah iri kepada cempaka yang memiliki kecantikan sempurna, takpernah iri pada Dahlia, takpernah iri pada Melati yang seakan mendapatkan kesempatan hidup jauh lebih baik darinya. Ia takpernah merasakan Yasmin adalah baian penghambat kehidupannya sebagai perempuan,” (hlm.292).
Kepasrahan dan keberserahan dalam menghadapi satu demi satu ujiannya membuat Mawar mereguk kenikmatan ikhlas. Keikhlasan ini yang akhirnya menjadi ikon dari aroma bunga mawar yang harum ketika mekar. Pada episode akhir, Mawar menikah dengan Ito, sahabatnya semasa kuliah. Ujian demi ujian seperti pupuk dan air yang menyirami bunga mawar membuatnya semakin mekar merekah, dan dihinggapi kumbang. Tokoh mawarpun demikian. Pada akhir episode, Rasyid datang untuk mewakili Ito melamarnya. Mawar menikah dengan Ito dan lengkaplah kebahagiaan mereka. Seperti novel-novel FLP lainnya, kisah ini berakhir bahagia.
Yang Agak Mengganggu
Bagian yang agak menggangu dalam novel ini adalah kesibukan pengarang mengenakan satu demi satu tokohnya di awal. Seolah mengenalkan karakter tokoh di awal cerita merupakan fardu ain bagi seorang pengarang. Satu demi satu diary tokoh dideretkan. Seolah diberi tugas, setiap tokoh menceritakan karakter masing-masing atau pandangannya terhadap karakter tokoh lain. Tokoh Dahlia ditugasi bercerita tentang karakternya sendiri. Tokoh Cempaka ditugasi menceritakan dirinya, Ayah, dan Mama. Tokoh Mawar ditugasi menceritakan karakternya dan karakter saudara-saudaranya. Tokoh Melati ditugasi menceritakan kebungsuannya dan apa yang ia rasakan. Padahal semua itu dapat dilihat dari konflik yang membangun kisah.
Khatimah
Setelah membaca lengkap buku ini, saya jadi teringat Dr. Wina Meilinawati, Ketua Program Studi Sastra Kontenporer Pascasarjana FIB Unpad yang mengatakan bahwa setiap karya sastra selalu mengaitkan dirinya pada sesuatu. Sesuatu itu bisa ayat pada kitab suci, mitos, atau apapun. Pesan terdalam dari perjalanan hidup tokoh Mawar merangkup makna ayat Al Quran: Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman,” sedang mereka tidak diuji lagi? (Al Ankabut: 2). Novel ini relatif tipis, hanya 318 halaman. Untuk pembaca yang tidak terlalu akrab dengan novel, Rose tidak terlalu menyesakkan dada. Ia relatif ringan dibandingkan dengan karya-karya Sinta Yudisia yang mayoritas bernuansa sejarah. Selain itu, novel ini sangat berpihak pada perempuan yang memiliki segudang aktivitas. Tokoh-tokohnya yang tidak terlalu banyak dan mudah diingat membuat mahasiswa, ibu rumah tangga, atau para perempuan yang sibuk di kantor dapat membacanya pada satu waktu, menyelanya dengan pekerjaan, lalu melanjutkannya di waktu lain tanpa takut lupa alur ceritanya. Seperti kata Roland Barthes, setelah karya lahir, pengarang telah mati. Dengan demikian pembaca bebas memaknai karya berdasarkan pembacaannya masing-masing. Selamat membaca.
bismillah…
ijin koment ya mbak..:)
baru sempet sowan di rumah mbak ini..
entah kenpa ya mbak..membaca bebrapa karya mbak..
ada bebrapa hal yang menjadi pusat perhatian ku,.apakh itu?
ini adalah subyektifitas aku sebgai orang awam atau penikmat “bacaan ” saja tapi setidaknya aku ingin mengungkapkan..
1. rose , reinkarnasi , bhkan existire itu memang sengaja mengangkat tema perempuan sebgai obyek ya mbak..
kesamaan antara cerita reinkarnasi dan rose yaitu menceritakan “salah satu dari anggota keluarga yang jadi ‘public figure ‘(artis.red)” apa memang ini ya kharakter kepenulisannya mbak 🙂
-tapi kesannya “obsesi orang” yang jadi public figure itu “kurang baik” di proses maupun akhirnya..hehe ini hanay cara pandangku saja mbak..sekali lagi saya menyampaikan..
2. trouble maker sering hadir pada pilihan anak tengah..seingatku di reinkarnasi juga anak tengah yang sering bikin gara-gara (lebih tepatnya tokoh antagonis), terlepas dari ragil..(cara pandangnya dari sudut pandang ceweknya) , begitu pula rose. Insya Alloh ndak jauh beda.
3. pengambilan setting apa “kebetulan atau entah sengaja ” , Jogja seakan-akan sudah sangat mbak kenal..hingga sudut jalan pun mbak bisa menceritakannya..subhanalloh..(lagi-lagi) jika ndak salah ingat ..dua novel mbak berlatar jogja..(mang jogja keren euyy) hehhe..
Tapi . dari semua yang aku tulis di atas . Sesungguhnya hanya “koment” orang awam..semoga bisa menjadi media pembelajaran bagi yang koment ini…
maturnuwun atas segala bentuk pembelajran yang mbak berikan ya mbak..seneng dan beruntung pernah kenal orang ‘hebat’ seperti mbak Sinta..
ukhibukfillah mbak..:D
best regard,
anak didikmu,
HaMim
Pingback: Membincang buku kita : best seller, very fast moving, write off, dan gagal pasar | Journey of Sinta Yudisia