22 Februari 2017, Forum Lingkar Pena tepat berusia 20 tahun.
Organisasi ini di sebut Taufik Ismail sebagai ‘anugerah Tuhan bagi bangsa Indonesia’, sebuah ucapan yang layak direnungkan dan dibanggakan bagi segenap anggota serta pengurus FLP di Indonesia maupun perwakilannya di luar negeri. Dalam angka yang diakhiri dengan imbuhan –an ; anggota FLP mencapai ribuan bahkan belasan ribu dengan buku-buku yang juga mencapai ribuan sejak organisasi ini berdiri di tahun 1997. Jumlah pastinya, haruslah disesuaikan dengan dinamika serta arsip organisasi. Mengingat, menggabungkan anggota yang penuh daya imajinasi dan kreativitas lalu merapikannya dalam struktur organisasi bukannya perkara mudah.
Memandang konstelasi perbukuan dan dunia sastra, dimanakah letak FLP? Apakah penulis-penulis FLP merupakan seniman serta sastrawan yang berkualitas yang karyanya pantas dibanggakan mulai level lokal, nasional hingga internasional? Apakah karya-karya FLP layak menembus pasar global internasional dan menjadi karya sastra yang mewakili wajah Indonesia?
Keberagaman anggota FLP
Salah satu asset luarbiasa dari FLP adalah demikian penuh keragaman corak dari anggota yang tersebar di penjuru Indonesia serta di beberapa titik mancanegara. Usia SD-SMP dikelompokkan sebagai FLP kids, diatas itu bergabung menjadi anggota FLP regular. Setiap cabang dan wilayah punya kekhasan masing-masing yang disesuaikan dengan kultur setempat serta ketersediaan sumber daya. BPP FLP memantau wilayah-wilayah, memberikan masukan serta mengatur seluk beluk keorganisasian.
FLP kids menampung anak-anak SD –SMP yang sangat menyukai dunia tulis menulis. Mengingat buku-buku karya penulis cilik sangat digemari di seantero Indonesia, penerbit sangat membutuhkan karya-karya bermutu. Lini PECI (penulis cilik Indonesia) dari penerbit Indiva, KKPK (kecil-kecil punya karya) dari Mizan; adalah beberapa yang sangat giat menerbitkan karya para penulis cilik. Tentu, penerbit memiliki cara tersendiri dalam menyaring tulisan berkualitas yang disukai pasar; namun, FLP pun turut membantu menyuburkan semangat berkarya di kalangan anak-anak Indonesia.
FLP Jombang, FLP Padang, FLP Lampung
Bagi remaja, untuk usia SMA dan mahasiswa, FLP menjadi organisasi kepenulisan yang diperhitungkan. Betapa banyak orangtua yang menginginkan anaknya mengembangkan bakat minat dibidang kepenulisan, mengontak FLP pusat atau wilayah dan meminta narahubung dari FLP yang terdekat. Remaja-remaja ini yang memang memiliki hobby membaca pada awalnya, lama-lama ingin mengembangkan diri dengan menulis. Apalagi, pekerjaan menulis sekarang bukan hanya terbatas membuat buku, menerbitkan cerpen, menulis puisi. Penulis sekarang lebih berkembang lagi profesinya mencakup penulis scenario, blogger, penulis lagu, hingga penyedia konten dari media-media online. Remaja-remaja berbakat menemukan FLP sebagai salah satu wadah yang memahami kebutuan mereka, menjadi organisasi yang asyik dan seru untuk membahas seputar dunia sastra terkini. Bukan itu saja, dari ranah kepenulisan, bahasan yang didiskusikan di media sosial dapat berkembang mulai film, music hingga politik. Anak-anak muda di FLP belajar untuk menuliskan opini mereka sendiri, bukan hanya sekedar copy paste, potong-salin. Bukan hanya sekedar broadcast. Anak-anak muda di FLP berusaha menilai sesuatu dari sudut pandang pribadi, dari perenungan dan penafsiran versi sendiri.
Terkadang, di WAG atau whatsapp grup FLP timbul ketegangan ketika membahas politik. Namun uniknya, anak-anak muda ini berusaha untuk terus menajamkan tulisan dengan bersumber pada fakta dan data; serta mencoba untuk berargumentasi dengan tagline sastra santun. Apa yang kita pikirkan, apa yang kita rasakan, apa yang kita lakukan dan katakan serta tulisan; haruslah dengan kesantunan. Ketika menyerang satu pihak atau mengkritik satu golongan; tidaklah perlu menggunakan kata-kata yang tidak pantas. Anak-anak muda di FLP tumbuh menjadi generasi yang suka membaca, suka menulis. Maka bila kita membaca tulisan mereka diblog atau facebook, terasa sekali bahwa penulis FLP membawa nuansa yang berbeda. Konyol lucu, menghibur, namun bukan tong kosong.
Kalangan dewasa FLP, terdiri dari lebih banyak ragam elemen. Dosen, guru, karyawan, peneliti, sastrawan, PNS, pengusaha, editor, mahasiswa, maupun kalangan professional lain. Ada pula kalangan pekerja istimewa yang dikenal sebagai tenaga kerja Indonesia, yang bekerja di Hong Kong dan Taiwan. Karya-karya mereka telah diakui secara lokal, nasional bahkan internasional. Bagi guru, nama Gegge Mappangewa dari Makassar, Umi Kulsum dari Jombang, dan Khairani dari Banjarmasin adalah beberapa nama FLP yang karyanya berulang-ulang meraih penghargaan. Bukan hanya karya, namun juga kiprahnya di dunia belajar mengajar menjadi teladan bagi sesame guru mupun menjadi motivator bagi siswa. Agaknya, kemampuan mereka menulis menjadi salah satu point tersendiri untuk menjadikan para guru dan anggota FLP ini sebagai sosok teladan.
Di kalangan dosen dan penulis, FLP memiliki nama-nama Helvy Tiana Rosa, Irfan Hidayatullah; keduanya mantan ketua FLP terdahulu. Topik Mulyana, juga salah satu dosen dan pengurus FLP yang tulisannya tersebar di media massa sebagai sastrawan atau kritikus. Dari kalangan peneliti, muncul nama Maimon Herawati dan Ganjar Widhiyoga. Dua orang ini bak suhu kungfu yang akan turun gunung ketika dunia gonjang ganjing dengan segala hiruk pikuk berita hoax. Setiap kali tulisannya diunggah ke media massa, Maimon Herawati dan Ganjar Widhiyoga akan menuai banyak likers (juga haters) dan dishare ke banyak mungkin pembaca. Dari kalangan professional, nama-nama Intan Savitri sebagai ilmuwan psikologi, Yeni Mulati (Afifah Afra) sebagai CEO ; menjadi referensi berharga bagi pembaca tiap kali mereka menelurkan tulisan baik buku atau sebuah catatan di media sosial. Di kalangan selebritas sendiri, tentu tak asing nama Habiburrahman el Shirazy dan Asma Nadia sebagai penulis-penulis kondang yang memberikan warna luarbiasa bagi dunia perfilman Indonesia.
Adakah kalangan istimewa dari FLP?
Tentu saja, kalangan ibu-ibu. Para ibu disini adalah ibu-ibu yang luarbiasa. Ditengah kesibukan dan tingkah polah mereka yang sangat spesifik sebagai kaum ibu yang cerewet, suka belanja, suka mengomel; para ibu menelurkan karya-karya yang sangat membanggakan. Selain buku-buku, penulis perempuan FLP banyak aktif sebagai blogger dan meraih banyak keuntungan baik financial maupun immaterial. Sebut saja Pipiet Senja, Naqiyyah Syam, Gesang Sari, Risalah Husna, Sri Widiyastuti, Puspitasari, Fauziah Rachmawati, Lina Astuti dan masih banyak lagi.
Blogger laki-laki?
Wah kalau ini jangan ditanya, jumlahnya menjamur di FLP!
Ali Muakhir, Koko Nata, Bang Aswi, Rafif Amir, Sokat Rahman, Bang Syaiha, Billy Antoro, Ilham Anugrah yang bila ditotal jumlah blogger FLP, mencapai puluhan bahkan ratusan. Mengapa demikian? Sebab rata-rata penulis FLP memiliki blog yang rutin dipelihara dengan tulisan dan laporan pandangan mata. Para blogger ini bukan hanya sibuk mengejar prestasi di dunia blogging, namun juga aktif dalam profesi masing-masing di dunia nyata.
Selain kelompok di atas, masih ada beberapa golongan di FLP yang demikian unik. Dua di antaranyanya adalah para pekerja serta mahasiswa perantauan di luar negeri.
BMI Hong Kong dan pekerja di Taiwan adalah wilayah FLP yang sering menuai kekaguman akibat sepak terjang mereka yang luarbiasa. Bukan hanya mereka hidup di negeri orang, bekerja sebagai karyawan pabrik atau rumah tangga; hidup di level marginal, terpinggirkan dan kadang tidak dihargai secara layak; pada kenyataannya para pekerja Hong Kong dan Taiwan ini merupakan penulis-penulis yang luarbiasa. Sebut saja di antaranyanya Rihanu Alifa, Anna Ilham, Enda Soedjono, Shanna Azzahra, Indira, Ssy Laili. Mereka bukan hanya aktif di media sosial namun juga menulis di koran-koran lokal yang beredar di Hong Kong dan sekitarnya.
Mahasiwa perantauan di luar negeri, pun memberikan contoh luarbiasa bagaimana para pelajar harus membagi dengan bijak antara keuangan untuk mengelola organisasi, membeli buku, dan hidup cukup di perantauan. Bagaimana harus membagi waktu antara belajar, membaca jurnal (tentu dalam bahasa asing!), membaca referensi dan menelurkan buku-buku. FLP Mesir, FLP Yaman , FLP Turki, Maroko, Arab Saudi, Malaysia yang namanya terlalu panjang untuk disebutkan satu persatu. Anggota FLP yang pulang ke tanah air pun terus bergiat menyelesaikan karya seperti Awy Qolawwun yang merupakan jebolan FLP Arab Saudi, Adly el Fadly yang merupakan jebolan FLP Yaman, Irja NAshrullah yang masih aktif di FLP Mesir.
Demikian beragamnya anggota FLP hingga satu sama lain saling memberikan informasi berharga terkait dunia literasi yang tengah berkembang, issue-issue kekinian, berbagi ilmu sesuai dengan kapasitasnya, berbagi informasi lomba dan saling mendorong untuk meraih prestasi. Keragaman anggota FLP ini memperkaya para anggota untuk terus memacu masing-masing individu terus dan terus belajar.
Karya-karya yang terus berkembang
Karya FLP pernah dianggap karya kacangan.
Mengingat karya-karya tersebut begitu sederhana, begitu seragam dengan karya-karya sebagian besar anggota FLP, tidak menimbulkan makna yang dalam serta tidak layak untuk disejajarkan dengan karya-karya besar HAMKA atau Pramoedya.
Mengapa dianggap kacangan?
Memang karya FLP banyak yang seragam. Mengingat salah satu pilar FLP adalah keIslaman; banyak anggota FLP yang masih memahami karya Islami haruslah memiliki alur pesantren, masjid, tokoh berjilbab dan berjenggot. Kisahnya seputar mendapat hidayah saat menjadi mahasiswa kampus yang aktif di rohis, menjadi suka al Quran ketika di pesantren, atau mendapat kesempatan studi ke Timur Tengah.
Karya FLP dianggap minim kekayaan diksi serta mudah ditebak alurnya. Awalnya susah, lalu happy ending. Akhir yang mudah sekali diprediksi : menikah dengan sesama orang sholih, berhasil mendapatkan akhwat cantik idaman, lulus beasiswa dengan gilang gemilang, menjadi dosen dan disukai banyak mahasiswa.
Sesungguhnya, karya FLP tidaklah bisa disebut karya ‘kacangan’.
Siapakah HAMKA dan Pramoedya? Adalah orang-orang yang kenyang makan asam garam kehidupan. Hidup dalam situasi sosial dan politik yang panas, merasakan peperangan dan penjara yang pedih. Sebagaimana kata Nietzche : hanya peperangan yang dapat membuktikan siapa manusia sesungguhnya, siapa binatang sesungguhnya.
Anggota FLP yang masih SMA dan mahasiswa, ibarat anak yang belajar berjalan, masih tertatih-tatih meraba-raba. Mereka seringkali harus menyisihkan uang untuk membeli buku sendiri yang bagi kantong Indonesia relative mahal, mereka juga tidak duduk di bangku fakultas FIB atau jurusan sastra. Mereka adalah anak-anak yang senang membaca, menulis, membaca, menulis. Karya-karya mereka adalah latihan yang sesunggunya. Sejak awal, mereka harus kenyang dengan kritikan pedas dan Alhamdulillah, mereka pantang mundur, terus menulis dan terus belajar. Perubahan-perubahan itu terlihat pasti merayap. Satu demi satu adik-adik FLP meraih penghargaan di tingkat lokal. Baik lokal sekolah, lokal kampus, lokal regional di koran kota. Lalu mulai muncul di koran nasional, di media online nasional, memenangkan lomba yang ringan persaingannya hingga lomba-lomba yang berat persaingannya serta level jurinya.
Adalah tokoh-tokoh FLP seperti Habiburrahman el Shirazy, Asma Nadia, Benny Arnas yang level ketokohannya diakui dunia. Mereka tidak lagi hanya memberikan pelatihan di tingkat Indonesia, namun diminta mengisi acara-acara di berbagai event di mancanegara. Ada banyak potensi di FLP yang insyaallah siap mengekor keberhasilan para pendahulunya seperti Asma Nadia, kang Abik dan Benny Arnas. Mashdar Zainal, salah satu anggota FLP Jawa Timur yang karya-karyanya tembus secara fantastis di koran ‘sulit’ seperti Jawa Pos dan Kompas.
Karya-karya kacangan FLP, akan terasa kacangan bila dikunyah oleh orang-orang dewasa yang level bacaannya sekelas para peraih nobel, pullitzer, dan penghagaan dunia lain : Najib Mahfudz, Amin Malouf, Rudyard Kipling, Orhan Pamuk, Serdar Ozkan, Nicholas Carr. Namun karya-karya ‘kacangan’ FLP akan menjadi kue lezat bagi sesama remaja yang butuh asupan bacaan ringan. Dan, mereka membutuhkan bacaan sejenis yang banyak jumlahnya.
Seorang gadis yang ingin memakai jilbab; akan terinspriasi oleh novel-novel tentang jilbab sekalipun alurnya kacangan, bombastis, tidak masuk akal, tidak relevan bahkan terlalu mengada-ada. Bila ia membaca 5, 10, 20 novel serupa yang menceritakan pengalaman memakai jilbab; bukan tidak mungkin ia pun pada akhirnya mantap berkerudung.
Seorang pemuda yang maju mundur untuk studi di pesantren; ketika membaca buku-buku yang mirip dan terkesan ‘sastra abal-abal’ ; sesuai level usianya yang masih suka menelan hal yang renyah dan ringan; pada akhirnya terdorong masuk ke pesantren dan membuka pintu kesadarannya untuk berjuang mengenyam pendidikan serius serta memangsa kitab-kitab yang jauh lebih berat dari sekedar naskah kacangan.
Anak-anak SD, yang masih suka berimajinasi dan membaca perkara ringan tentang dunia peri, dunia fantasi, kehidupan ala istana dan putri-pangeran; terdorong banyak menbaca buku ‘kacangan’ yang mungkin tidak sekelas Little Women (Louisa May Alcott) , Secret Garden (Burnett), Kim (Rudyard Kipling) atau bahkan Toto Chan. Namun, ketersediaan buku-buku ringan ini akan mendorong mereka memangsa buku level lebih tinggi dan pada akhirnya mereka suka mengunyah buku berat dan suatu ketika, menghasilkan karya sastra yang lebih mumpuni di waktu-waktu yang berikut.
Belajar menulis membutuhkan perjuangan panjang.
Tidak hanya dibatasi oleh bangku kuliah 4 tahun untuk S1, 2 tahun untuk S2. Belum tentu mahasiswa FIB atau sastra mampu menuliskan buku berkualitas bila mereka tidak mau belajar dengan susah payah. Sebagaimana belum tentu mahasiswa S2, S3 dan peneliti dapat menulis karya ilmiah dengan luwes dan dapat diterima oleh masyarakat luas. Menulis karya ‘kacangan’ kadang merupakan stimulant awal bagi penulis untuk belajar bagaimana menyesuiakan ritme kesibukan dengan target menulis : berapa buku setahun, berapa bulan selesai 1 buku, berapa bab harus dikerjakan 1 minggu, berapa halaman dalam 1 hari dan berapa jam untuk menulis. Ketika ritme menulis ‘kacangan’ ini terbentuk; lambat laun dengan dorongan individu dan organsisasi akan tercapai karya-karya yang semakin berbobot dari waktu ke waktu.
FLP, memang dikenal sebagai pabrik penulis.
Terkesan sebagai organisasi yang mengeluarkan penulis-penulis karbitan, penulis kuantitas bukan penulis kualitas, penulis kualitas pabrik bukan kualitas butik. Meski demikian; segala kritik tentu berharga bagi tumbuh kembang sosok individu dan organisasi. Mereka yang telah bertahun-tahun menulis, tentu harus berupaya meningkatkan kapasitas diri agar karya tulis tidak selamanya kacangan. Bolehlah karya-karya ‘kacangan’ dihasilkan oleh anggota pemula; semakin tinggi level anggota FLP di tingkat madya dan andal; maka proses kreativitasnya harus terus bejalan. Karya yang dihasilkan pun harus semakin berat bobot kualitas, keilmuan, logika berpikir, maupun maknanya.
Proses, adalah bagian yang diakui di FLP.
Tidak ada proses sekali jadi.
Tidak ada proses yang singkat.
Tidak ada proses yang hanya seminggu.
Semua proses, bahkan penciptaan langit dan bumi melalui 7 tahapan di ‘tangan’ Allah Swt . Apalagi proses manusia, mungkin melalui puluhan, ratusan, ribuan tahapan.
FLP dan pasar lokal-global
FLP cukup berhasil menyasar pasar lokal. Terbukti, walau dunia penerbitan pasang surut, penulis-penulis baru di FLP bermunculan mengeluarkan novel dan karya non fiksi.
Anggota FLP yang memiliki basic ilmu syariah seperti Irja Nashrullah, Awy Qolawun, Adly el Fadly suskes menggarap pasar nasional yang membutuhkan buku-buku kajian keIslaman dengan bahasa ringan; bukan bahasa referensial yang cendeung berat. Afifah Afra, Naqiyyah Syam; sukses menggarap pasar remaja putri dan ibu-ibu. Ali Muakhir, Koko Nata, Sri Widiyastuti sukses menggarap pasar anak-anak. Habiburrahman, Asma Nadia sukses menggarap pembaca perempuan; sementara Benny Arnas dan Mashdar Zainal sukses memanfaatkan ceruk sastra yang jarang digeluti penulis karena effortnya yang cukup besar. Rafif Amir, Gesang Sari, Sokat Rahman, Billy, Aprillia, dkk dan blogger FLP sukses menggarap pasar online yang celahnya sangat terbuka dan ramai.
Dalam era digital, FLP mencoba beradaptasi.
Kertas-kertas berimbas pada penebangan kayu yang mengancam paru-paru dunia. Disisi lain, orang-orang masih belum terbiasa menggunakan perangkat elektronik untuk membaca buku. E-book sebuah keniscayaan, namun juga cepat memunculkan kelelahan. Apalagi, orang cenderung membuka media sosial ketika berinteraksi dengan gawai dan cepat teralihkan dari niat semula yang ingin membaca buku elektronik. Buku-buku berhana baku kertas masih diminati, walaupun juga, manusia harus dibiasakan semakin efektif efisien dalam bertingkah laku.
Bekerja sama dengan beberapa media online seperti beetalk, bitread dan UC News; merupakan satu langkah FLP memasuki pasar lebih luas. Anggota FLP tidak hanya harus belajar menulis fiksi – non fiksi; tapi juga belajar menulis materi-materi up to date yang diminati masyarakat luas mulai bahasan Donald Trump-Melania, hingga bagaimana hidup awet muda.
Apa yang Diberikan FLP pada Indonesia?
Jawabannya adalah Sumber Daya Manusia.
SDM adalah asset sangat mahal yang menghabiskan modal luarbiasa besar. Dalam sebuah perpustakaan di Seoul, terpahat reader is leader. Pembaca adalah pemimpin. Begitupun pemimpin adalah seorang pembaca. Negarawan kita adalah pembaca, penulis dan orang yang tiada berhenti belajar. Bung Karno, bung Hatta, Mohammad Natsir, HAMKA, Ki Hajar Dewantara, adalah para pembaca yang luarbiasa. HAMKA bahkan mewajibkan dirinya membaca buku dalam beragam bahasa untuk menajamkan otak. Pantas saja, Indonesia berhasil melawan kekuatan asing yang luarbiasa tangguh. Mereka memiliki senajta, kita memiliki daya juang.
FLP memberikan pada Indonesia sekian ribu manusia yang suka membaca dan menulis. Mereka bukan hanya orang-orang yang duduk di bangku akedemis; namun juga para buruh dan tenaga kerja marginal. Mereka bukan hanya orang yang terbiasa duduk di belakang meja mengerjakan laporan keuangan, namun juga para ibu yang bergelut dengan harga cabai. Mereka bukan hanya para dosen dan guru, tapi juga para pelajar SD hingga mahasiswa.
FLP memberikan kesempatan berproses. FLP memberikan lingkungan yang nyaman bagi para pembaca dan (calon) penulis. FLP mengasah kemampuan di luar bakat minat yang paling dasar. FLP memberikan para penulis informasi dan jaringan berharga yang harus dimiliki penulis untuk go local, go national, go international. Dalam ranah global dewasa ini, tidak ada seseorang yang dapat berhasil hanya secara individual. Ia butuh dukungan, butuh kelompok, butuh orang-orang di belakang layar.
Di belakang layar FLP; tersebar ribuan anak muda yang namanya tidak tercantum sebagi penulis atau blogger. Mereka adalah para buzzer dan reviewer yang rela mem-boost buku, agenda literasi, kegiatan kepenulisan agar sukses. Mereka adalah pengurus-pengurus FLP Pusat, wilayah, cabang, hingga ranting yang bersedia berpayah-payah menjalankan roda organisasi agar tercipta harmonisasi antara penulis, dunia perbukuan, kalangan media dan penerbitan yang harus terus bersinergi untuk menghasilkan karya-karya spektakuler. Orang-orang di belakang layar inilah yang membantu munculnya penulis-penulis tenar dan popular.
FLP Wilayah Jawa Barat, FLP Wilayah Jawa Timur, FLP Wilayah Riau
Bersama FLP, hadir wajah-wajah muda, wajah-wajah baru penulis; maupun hadir wajah-wajah penulis yang terus bermetamorfosa menjadi HAMKA dan Pramoedya yang berikutnya.
Selamat ulangtahun ke 20, FLP.
Berarti, berkarya, berbagi.
Teruslah berjuang dengan pena!
FLP. Membersamaimu aku mendapat ilmu. Dengan penulis-penulis hebat pun aku bertemu. Karya-karya mereka memenuhi rak buku. Semoga begitu dengan jiwaku. Terikut santun seperti mereka yang berada dalam rumahmu.
Selamat ulang tahun untukmu.
Teruslah berbakti, berkarya, berarti di sekian-sekian umurmu.
Terima kasih juga mbak Sinta. Semoga saya bisa berulang lagi ikut berfoto di Munas mendatang seperti di Pantai Jerman, Munas 3 FLP yang silam. Hehe
Ikut Milad di Bandung dek? Kalau enggak…persiapkan ke Munas November di Bandung ya…
datang ke acara Milad dek? Kalau hadir di Munas November 2017 di Bandung insyaAllah, kita bisa foto lagi hehehe
kenal FLP 2007 dan gabung bersama FLP Bekasi, 10 tahun membersamai.alhamdulillah bisa berbagi karya baik buku anak, non fiksi remaja, dan.dunia perbloggingan. Terima kasih FLP terutama suhu sakti wibowo, cikgu Ali Muakhir yg memberikan ilmunya kepada saya, si introvert sejati “putri malu” dari FLP Bekasi.
Putri malu yang sudah menjelma menjadi blogger kereeennn!
Tidak ada kata selain doa untuk FLP dan orang-orang di dalamnya. Semoga mengamalkan iqro dan menyempurnakannya dalam kalam menjadikan setiap yang terlibat di dalamnya berlimpah berkah. Amin ya Allah 🙂
Saya merasa beruntung bisa gabung organisasi kece ini..
Terimakasih Mbak Sinta . Tulisannya menginspirasi sekali
Terimakasih tulisan indahnya, Mbak. Mungkin saya bacanya pakai hati yang mendalam jadinya mewek. Semoga FLP tetap istiqomah menjadi trend setter dakwah literasi. Yang kemudian patut diperhitungkan secara kualitas dan kuantitas di seluruh pelosok Indonesia dan luar negeri. Teruslah berjuang!
Indah sekali, Semoga Allah menjadikan FLP salah satu wadah yang mengantarkan penggiatnya pada ridhoNya dan surgaNya.
Muda 12 FLP Bekasi. Masih belum menelurkan karya. Moga-moga segera
Qadarullah. Dari pendiam dan pemalu, saya menjadi “cerewet” :-).
FLP bagi saya tempat menikmati proses.
Assalamu alaikum.
Untuk bisa bergabung dengan FLP gimana ya?
Saya ingin sekali bergabung dan belajar di FLP.
Waalaykumsalamwrwb. Silakan buka flp.or.id ya…