Sebut namanya Ali. Bertubuh kecil, kurus, dan imut-imut. Tidak terlihat seperti guru atau ustadz, karena ia memang bukan salah satu dari keduanya. Ia mentor anak-anak SMA yang sering disebut sebagai Murobbi.
Sekilas tidak ada yang istimewa pada Ali selain bahasanya yang gaul dan santai.
Tapi Ali, perlahan membawa adik-adik binaannya menjadi tertarik untuk mengamalkan Islam. Bukan sekedar mengenal Islam. Sebut saja Happy, cowok SMA yang semula malas-malasan pengajian. Tak jarang, tiap kali Happy mau berangkat pengajian, yang terjadi adalah perang adu mulut dengan ayah ibunya. Yah, tidak sampai Bharatayudha, tapi cukup membuat ketegangan yang menyebalkan. Dan berlangsung berulang-ulang pula setiap pekan!

Suatu saat cuaca berubah.
Happy senang mendapatkan guru ngaji seperti Ali.
Apa pasal?

teacher

Awalnya, sang ibu lah yang sering menegur Happy.
“Kamu nggak pengajian bareng kelompokmu?”
“Nunggu di SMS temanku,” jawab Happy santai.
“Lho, kamu dong yang SMS,” protes ibu.
“Pulsaku habis.”
“Pakai HP ibu.”
Beberapa saat, “ sudah nih! Gak dijawab kan?”
“SMS guru ngajimu.”
“….gak dibalas, Ibu!”
“Ditelpon kalau gitu!”
Semakin tak terhubung dering telepon, semakin kuat azzam untuk gagal pengajian.
Dan, agenda pengajian berantakan . Entah anak-anak yang sibuk, guru ngaji yang sibuk, atau keduanya tak punya waktu dan agenda yang klop.
Happy melewati begitu saja pengajiannya, entah ia hadir atau lebih banyak bolosnya.

******

Ali ternyata punya siasat lain.
Ali yang meng SMS adik-adik binaan.
Tak menjawab?
Ali menelepon.
Tak bisa berangkat?
Ali yang menghampiri, menjemput.
Tak ada sepeda motor?
Ali yang akan mengantarkan pulang.
Hm, Happy tak punya alasan malas pengajian sekarang.
Suatu saat, Happy sakit demam tinggi, bertepatan jadwal pengajian. Ia minta izin kepada Ali.

Alakazam!
Ali mengizinkan Happy tidak berangkat pengajian, namun malam hari, sembari menggandeng teman Happy, Ali menengok Happy dan membawakan….susu UHT kardus besar dua buah! So sweet. Happy pun tersipu.
Happy semakin tak punya alasan menghindar dari pengajian. Sekarang, ia malah sungkans endiri bila tak mengontak teman atau Ali.
Suatu ketika, kejadian ala remaja lainnya. Hari itu akhir pekan.

“Ibu, aku nggak bisa pengajian.”
“Kenapa?”
“Ada lomba sekolah, bareng teman-teman, di mall X.”
“Eh? Trus pengajianmu bagaimana?”
“Aku izin laaaah…habis gimana? Masa aku ninggalin teman-teman? Gak ikut lomba? Gak jadi supporter?”

Happy pun izin tak pengajian.
Seharian di luar rumah, hingga malam. Ibu dan ayah hanya bisa uring-uringan tiap kali menelepon, latar belakang hingar bingar mall menjadi original soundtrack.
Tiap kali telepon menyambung,
“Kamu sudah makaaaan?”
“Sudaaah Buuu!!’
“Kamu sudah sholaaaat??”
“Sudaaaah Buuu!!”

Malam hari, meski lega, ibu dan ayah senewen juga. Lebih memilih mall, lebih memilih lomba, daripada pengajian? Meski kasihan melihat muka lelah Happy, rasanya ibu ingin menyemprot dengan kalimat pedas saat melihatnya tiba di rumah.
Tapi…
“Ibu, tadi mas Ali menengok tim-ku di Mall. Ia ngasih semangat ke aku. Mas Ali cuma bisa sebentar sih…”

#Glek.
#Jleb.
Ibu menyimpan kemarahan. Merasakan keharuan sangat.
Bukan terhadap Happy.
Tapi terhadap Ali.

**********

Lagi-lagi interogasi.
“Kamu nggak pengajian?”
“Ya ampun Bu…aku ini mau UAS,” papar Happy cemberut. “Tapi aku mau ngaji kok. Aku sudah kontak mas Ali dan teman-teman. Rencana mau jalan-jalan refreshing.”
Sampai siang, agennda pengajian itu ternyata gagal.
Ibu senewen.
“Kamu nggak ngaji lagi?”
“Lha mas Ali membatalkan. Katanya biar adik-adik belajar UAS.”

Oh,baiklah, pikir ibu. Mungkin Ali benar.
Dan senja itu, Happy mendapatkan kiriman manis dari Ali, beserta seluruh teman-teman pengajiannya : satu batang coklat Van Houten, dikirimkan langsung oleh Ali ke rumah-rumah adik binaannya.
Happy berseri-seri.
Ibu terpana.
“Apa kata Ali?” tanya ibu #kepo.
“Katanya, ini coklat buat temanku ngelembur belajar, Bu! Buat teman-teman yang lagi pada UAS, dikirimi juga!”

*******

Murobbi muda.
Kejahatan, keburukan, senantiasa ber –evolusi, ber-revolusi; kebaikan juga harus berpacu untuk dapat memikat sebagaimana dunia hedonisme demikian memukau anak-anak muda. Para ustadz yang berceramah di mimbar-mimbar tak akan menarik pemuda seperti Happy yang kreatif, kritis dan selalu ingin bertanya kenapa ia harus begini dan dilarang begitu.

Murobbi muda seperti Ali mungkin belum banyak, tapi harus terus dipupuk.
Tanpa sadar, Ali telah membantu Happy mengokohkan jati dirinya.
Ketika ibu menegur keras,” kamu kok nggak ngaji lagi???”
Happy tersenyum dan berkata, “ Bu, aku tadi terlambat pengajian dan sepertinya mas Ali sudah keburu pergi. Tapi aku meng iqob diriku karena kehilangan pengajian ini, dengan membaca al Quran lebih banyak.”
Mengapa Ali dapat mengubah Happy sedikit demi sedikit?

Mungkin puisi dari catatan perjalanan para pemuda Ikram dalam buku Travelog Tarbawi Kami dapat mewakili hubungan Ali dan Happy serta teman-temannya

Untuk mencintai, mengasihi serta menyantuni itu
Lebih meninggalkan kesan tarbiyah yang mendalam
Daripada sekadar berceramah dan
Menasehati tanpa memahami

Ali.
Murobbi muda.
Tetaplah lucu, gaul, dekat dihati adik-adikmu.
Perhatian yang kau berikan, membuat adik-adikmu memahami ukhuwah Islamiyah, lebih dari sekedar catatan.
freundschaft-moslemische-kinder-7945862

0 thoughts on “Murobbi Muda (1)”
  1. Iya Mba… Bener… Sekarang harus dengan pendekatan yang lembut suapaya kaum muslim mau belajar islam lagi… nga cuma sekadar halal, haram, dosa dan pahala sorga dan neraka aja kan yaa

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *