Setiap orang pernah mengalami hal ini.
Menyisihkan uang setengah mati, kebutuhan primer dikesampingkan, hasrat membeli pun ditekan, demi keinginan untuk memberikan sesuatu pada orang lain. Ketika barang tersebut berada di tangan, kita pun berperang dengan diri sendiri : diberikan atau tidak ya? Mengingat kebutuhan pribadipun mendesak. Ketika hati kecil memutuskan lebih baik berkorban demi orang lain, maka barang yang ingin kita infaq kan berpindah tangan pada pihak yang membutuhkan.
Kejadian berikutnya?
Sebagaimana saya pernah memberi kepada orang lain, berusaha ikhlas dan si penerima –alih-alih berucap terimakasih –
“…aduh, kalau yang begini mending buat anakmu saja deh!”
“Kalau ngasih jangan cuma begini dong.”
Dua kali lipat. Atau, tiga kali. Atau malah beratus kali lipat ujian keikhlasan yang menampar kemudian, tidak hanya di awal niat. Ketika menjalankan, bahkan usai melakukan. Tanggapan orang, sungguh tak kira-kira.
Bila dibuat footnote, kebaikan yang kita lakukan, belum tentu berbuah penghargaan.
Lho, katanya harus ikhlas, dan ikhlas ukurannya hanya ridho Allah SWT?
Memang, tetapi jujur, bila dibenturkan pada sikap orang lain; kadangkala perih hati ini hingga sajadah dibuat basah kuyup menerima pengaduan. Kebaikan dalam skala kecil –individual- maupun skala besar –komunal- pastilah menemui duri-duri yang menoreh daging hati.
Ungkapan,
“partai dakwah sama saja!”
“Mencampurkan yang halal dengan yang haram, maka semuanya haram!”
“Saya selamanya tak berpolitik, lebih memilih membesarkan pesantren dan jauh dari unsure-unsur perebutan kekuasaan, hal-hal kotor.”
Ups,
Sesekali emosi meletup, dan ujung-ujungnya sebagai perempuan, airmata lumayan meredakan gejolak hati.
Wajah Unik
Tapi dakwah tak selamanya menyesakkan dada.
Malah sebaliknya, sepanjang menyusuri jalan berliku ini, kebahagiaan-kebahagiaan rasanya tak pernah absen menghampiri. Sekian banyak tuduhan atas dakwah yang kita usung, tetap saja hadir perkara-perkara yang menghibur.
Saya pribadi, untuk hal-hal tertentu tak pernah menyatakan berada dalam barisan satu partai X. Tapi, seringkali ketika tengah mengisi satu acara baik acara motivasi, kepenulisan atau parenting,
“Anda itu aktif di partai X sebagai pengurus apa mbak?”
Saya bengong, sebab situasinya sangat tidak homogen sehingga terpaksa saya jawab, “ maaf, saya simpatisan dek.”
Suatu saat di atas podium, saat tengah membawakan acara parenting dan hambatan-hambatan yang muncul, seorang audiens bertanya dengan keras, menyerang motif ideology yang saya bawa. Saya sempat terdiam dan tidak ingin membawa suasana memanas, anehnya seseorang justru berdiri dan membela,
“…anda tidak bisa bertanya demikian pada Bu Sinta. Ini acara parenting.”
Di lain waktu, ketika seorang teman akan mengadakan penelitian tentang perempuan dan kosmetika, dosen pakar klinis saya berkata,
“…kamu teliti saja tuh Sinta sama partainya. Saya salut sama perempuan-perempuannya yang berprestasi dan tidak tergerus zaman, mengikuti arus mode dan tren kosmetik.”
Saya bengong asli, untuk yang kesekian kali.
Ujung-ujungnya, saya bertanya pada seseorang, yang pernah membela saya mati-matian dari serangan.
“Apa sih yang menyebabkan orang mengaitkan saya dengan partai X? Padahal belum tentu kan? Saya nggak pernah lho bilang kalau saya berafiliasi ke partai X.”
Sertamerta, perempuan itu –sebut saya namanya bu Ayu- tertawa.
“Mbak Sinta itu pasti partai X.”
“Lho, koq anda menuduh begitu?”
“Sudah kelihatan koq dari wajahnya.”
Memang wajah saya seperti apa? Rok, blus, jilbab, bros, sepatu, sama seperti orang kebanyakan. Sesekali saya memakai lipglos, bila diperlukan.
“Wajah orang-orang partai X nggak bisa disembunyikan mbak,” kata bu Ayu. “Wajahnya ramah dan teduh.”
Ohya?
Saya jadi teringat kejadian belasan tahun silam, ketika berada di Medan. Kami biasa mengadakan pengajian dari rumah ke rumah. Semula, memang ada kecurigaan pengajian kami adalah aliran sesat tapi lama kelamaan, penduduk sekitar memahami bahkan menyayangi kami seperti saudara. Waktu itu, saya baru memiliki putri 1 orang ; teman-teman ada yang sudah berputra 3, 4 atau lebih. Yang membuat tetangga memuji pengajian kami dan malah ingin bergabung adalah perkara…..wajah!
“Aku mau ah ikut pengajiannya bu Sinta,” usul seorang ibu.
Alasannya sederhana.
“Muka ibu-ibunya sabar ‘kali, padahal anaknya banyak-banyak. Tak pernah aku dengar mereka marah-marah. Anak aku baru satu, aku sudah merepet seharian. Kayak mana sih, pengajian bu Sinta, bisa buat orang sabar?”
Wajah, muka, senyum kita.
Yang selama ini tak pernah terpikirkan, adalah hiburan untuk orang lain.
The Hapiness Family
Anda pasti dapat meraba “dapur”nya para pekerja dakwah.
Segalanya dimaknai Alhamdulillah. Gaji seratus ribu,sejuta, atau berapapun adalah Alhamdulillah wa syukurillah. Rumah ngontrak, baru bisa beli nyicil, Alhamdulillah. Sepeda motor, sepeda onthel, Alhamdulillah.
Anak-anak? Hm, bukan termasuk jajaran keluarga berencana. Dua anak (tidak) cukup. Keluarga kami hanya terdiri dari 4 orang anak. Ketika suatu saat putri kami, Inayah, bersekolah di SMP negeri, temannya bertanya
“Adik kamu berapa, In?”
“Tiga orang.”
Teman-temannya terpekik, “banyak bangeeeeet!!”
Inayah tertawa ketika menceritakan hal tersebut kepadaku,” gimana kalau teman-temanku tahu, temen Ummi ada yang anaknya 7, 9, bahkan 11 ya Mi?”
Keluarga dakwah adalah keluarga yang menjadi panutan. Orang-orang seringkali terkesima memandang ini : para suami sibuk tetapi masih sempat menggendong anak, menyuapi anak, antar jemput anak, mengajak anak-anak ke masjid. Para istri –sekalipun berprofesi di rumah- tak kurang sibuk mulai mengurusi arisan RT, berkiprah di yayasan dan organisasi, hingga aktif membina pengajian di mana-mana.
Sesekali memang, beberapa keluarga dakwah mengalami masalah, baik dalam hal financial atau hubungan interpersonal. Tetapi sebagian besar melihat, bahwa keluarga dakwah adalah milliu yang tidak didirikan dengan main-main. Lelaki dan perempuan diikat dalam cita-cita dakwah, membangun rumah dakwah step by step, memiliki anak dalam kerangka dakwah dan begitu seterusnya.
Tidak hanya di tengah masyarakat, dalam keluarga besar, seringkali keluarga dakwah menjadi panutan dan tempat keluarga besar merujuk bila terjadi masalah keluarga yang pelik.
Saya tak enak hati, mendengar pujian seorang tetangga yang senantiasa mengacungkan jempolnya tiap kali melihat kami sekeluarga ke masjid. Saya hanya bertanya dalam hati, apa yang ada dalam benak beliau, bahwa dalam barisan dakwah ini terdapat ribuan keluarga dakwah yang sama-sama pantas diacungi ibu jari?
Inayah, mulai dapat menyaring kejadian sehari-hari. Seringkali , lontaran ucapannya membutuhkan diskusi panjang.
“Apa yang membuat Abah Ummi tidak terpikir bercerai? Apa yang membuat Abah Ummi tidak selingkuh?”
Mungkin, ia menemukan kasus-kasus tersebut dalam dunia nyata maupun entertainment.
Penelitian tentang family therapy, romantic love yang mendasari hubungan lelaki perempuan memang tak usai di jelajah. Yang pasti, ketika keluarga kehilangan visi misi, pasti terombang-ambing. Sebuah keluarga muda masih punya visi misi membangun rumah, punya mobil, meniti karir, punya anak. Bila tercapai, what next?
“Kalau Ummi gak terlibat dakwah, gak tau deh,” ucapku jujur. “Pasti percakapan sehari-hari berkisar masalah financial, urusan cinta, kemungkinan WIL PIL. Hal yang terlalu kecil untuk dibicarakan, bila sebuah keluarga sudah mapan/settled. Tetapi pembicaraan dakwah tiada habisnya. Kita bicara masalah orientasi,masalah cita-cita besar, langkah hari ini dan seterusnya.”
Banyak sekali keluarga senior dakwah yang masih tetap romantic hingga sekarang, memiliki cucu, dan mereka tetap merasa sebagai pasangan tujuhbelas tahun. Barakah, bisa dikatakan demikian. Di sisi lain, dua orang lelaki perempuan yang masih merasa dalam satu ikatan demi mencapai visi misi ke depan, akan relative mampu bertahan sekalipun fitnah harta, wanita, tahta menghampiri.
Memiliki keluarga bahagia berbasis dakwah dan kebaikan, adalah harta mahal yang tak akan pernah anda dapatkan hanya dengan ikut bersesi-sesi smart parenting atau family therapy.
The Great Life
Pernah ikut acara motivasi oleh motivator paling representative?
Apa yang anda dapatkan?
Keinginan menggebu untuk berubah, punya perusahanaan multinasional, berpenghasilan M setiap bulan, punya karyawan ribuan dan seterusnya. Sepekan, sebulan, lalu perlahan cita-cita besar itu surut ke belakang didera banyak hambatan.
Bila anda, saat ini berada dalam kapal dan bahtera kebaikan dakwah, anda telah membayar Rp. O kepada ustadz/ustadzah juga kepada dakwah yang mendampingi, membimbing hingga ;
• Dari tak punya ambisi pribadi, memiliki ambisi (mendapat IP terbaik demi dakwah, memiliki perusahanaan dengan finansial kuat demi dakwah, memiliki pribadi cemerlang agar dapat mengorbitkan dakwah, memiliki keluarga kuat sebagai penopang dakwah)
• Memiliki time schedule mulai tahun pertama hingga tahun ke sepuluh, duapuluh, tigapuluh, dst
• Memiliki komunitas yang akan memantau langkah progress atau malah step backward
• Senantiasa termotivasi untuk berpetualang, menjelajah daerah baru
• Selalu termotivasi untuk bersaing dengan yang lain hingga kita selalu mengasah, meng up grade diri
• Memiliki network, jaringan yang luarbiasa
• Memiliki teman-teman yang memang “teman” bukan serigala berbulu domba; mereka selalu mengingatkan bila kita salah, membantu bila butuh
• Dari tak tahu apa-apa menjadi harus belajar banyak : pengusaha, orangtua yang hebat, pendidik spektakuler, pendobrak stagnansi, politisi dst.
• Sebutkan saja, apa yang sudah anda peroleh selama dalam kebaikan ini
Bila, anda berani membayar mahal untuk seroang motivator yang hanya bisa membimbing 2 hari; berapa sudah yang kita bayarkan dan juga dapatkan dari dakwah? Kitalah yang lebih menjulang, mengorbit ke angkasa bersama kebaikan
Fitnah Dakwah
Anda, telah menjadi seorang pengusaha penting.
Dan masih bermimpi hanya akan menghadapi pesaing ketika masih menjadi ritel atau membuka toko kelontong?
Dulu, kita hanya pegawai kecil, gaji ngepas, yang hanya cukup untuk makan anak istri. Lalu kita berdoa, supaya dibukakan pintu rezeki dan penjadi orang yang lebih “ diatas” sebab orang “dibawah” lebih tak mampu berbuat banyak. Menjadi pelaksana dan kepala seksi; beda imbalannya, beda tantangannya. Menjadi penonton bola dan pemain bola, beda imbalannya, beda tantangan dan cemoohannya. Menjadi pengusaha yang hanya punya karyawan 2 (satu anda, satunya lagi istri/suami), berbeda dengan pengusaha yang memiliki karyawan 100,1000 orang; berbeda imbalan dan juga tantangan-resikonya.
Berdakwah kepada anak kecil, mengajarinya mengaji di TPA, memiliki tantangan.
Berdakwah kepada tetangga untuk menambahi acara arisan dengan sedikit sharing pengethuan, ketrampilan dan agama; memiliki tantangan.
Berdakwah kepada guru-guru sekolah negeri agar mencontohkan disiplin dan mencintai pengetahuan, memiliki tantangan.
Berdakwah kepada pegawai negeri agar tak korupsi dan tak menyalahgunakan wewenang jabatan, memiliki tantangan.
Berdakwah kepada pelaku bisnis agar memiliki etika, memiliki tantangan.
Berdakwah kepada para pengelola negara agar menyelamatkan asset, memberikan layanan kepada rakyat banyak; memiliki tantangan.
Manakah yang lebih ringan atau sebaliknya, lebih liat tantangannya?
Karena tak memiliki ketrampilan, kapabilitas, keberanian, juga ambisi besar; kita akan merasa lebih baik berdakwah di ranah kecil. Kecil resikonya, kecil fitnahnya, kecil cemoohannya, kecil kemungkinan dipersalahkan ; meski kecil pula dampak kebaikannya. Was-was, sakit hati, tak siap mental maka banyak yang tak mau mengambil ranah-ranah besar sebagai kekuatan dakwah. Membiarkan peluang diambil alih oleh asing, biarkan anak keturunan kita merana mengemis, dan kita tak punya harga diri.
Tergelincir Dakwah
Tak makshum seseorang, kecuali Nabi.
Kita pasti bisa berbuat salah, begitupun pelaku dakwah. Kalau begitu, apa yang menjamin jalan ini tak salah?
Berpikir salah benar, berpikir hitam putih. Aku baik, kamu jahat. Kami surga, mereka neraka. Tak ada ambisi : mengapa kita tak masuk surga bersama-sama?
Dakwah mungkin akan menuai salah. Beberapa perhitungan tak tepat, beberapa pelaku ternodai. Lalu kita berhenti, mencela, sementara orang-orang salah tetap berambisi melangkah maju. Memang, kenapa kalau kita salah? Apa harga mati, bahwa kita tak bisa mencoba lagi?
Seorang anak, sama sekali tak boleh main internet, dengan alasan takut game online dan pronografi. Selamnya, orangtuanya mengatakan internet haram. Ia, memang terlindungi dari kecanduan. Tetapi alangkah sayangnya, bahwa bersama internet bukan hanya sekedar pornografi dan game online : ilmu pengetahuan yang luarbiasa bisa diakses, berita terkini, belajar membuat blog, bisnis online, dll.
Dalam dakwah, kita harus mencoba hal-hal baru dipandu para ahli syariat.
Dakwah dan politik, mustahil disatukan. Sebab politik selama ini selalu terangkai dengan feminism korupsi, birokrasi yang bisa dibeli, laporan keuangan yang tidak accountable, belum lagi gratifikasi sex. Selamanya , bila politik dirangkaian dengan domain keburukan, maka ia adalah cela.
Tetapi bagaimana bila politik adalah seperti saat kepemimpinan Umar bin Khathab, Umar bin Abdul Aziz, Harun Al Rasyid?
Bahwa politik adalah layanan pendidikan hingga memunculkan ribuan ulama dan kaum cerdik cendikia. Bahwa politik adalah pengelolaan harta rakyat dan pemerintahan, hingga di masa paceklik masa Umar ra, kas punya simpanan dan tak harus impor apalagi mengemis! Bahwa politik adalah kekuatan militer hingga bersatunya Quthuz dan Baybar menaklukan Mongolia. Bahwa politik adalah perlindungan anak dan perempuan, terjaminnya masa depan bangsa.
Apakah untuk hal sepenting itu, dakwah tidak pantas memperjuangkannya?
Fitnah boleh muncul, tetapi bukan berarti berhenti di satu titik.
Atas barakah Allah SWT yang telah melimpahkan keluarga yang kuat, anak-anak yang banyak dan sehat, wajah yang senantiasa tersenyum (meski sekian banyak masalah menghadang). Atas barakah allah SWT bahwa kita tak ciut hanya di tempat ini tapi tetap memiliki ambisi-ambisi besar untuk kepentingan transcendental dan horizontal.
Mari.
Simak puisi Iqbal yang selalu menggentarkan.
“Abad ini adalah malaikat kematian untuk kalian
Dengan merawat ala pencari nafkah ia cekik jiwamu
Hatimu gemetar tatkala memikirkan perjuangan
Hidup adalah kematian bila ruh jihad tlah menghilang
Pendidikan membuatmu asing dari kegairahan bangsawan
Yang mendorong cendekiawan bersikap berani tak kenal gentar
Alam menganugerahimu ketajaman mata elang
Tapi perbudakan memberimu penglihatan seekor kelelawar.”